Sejarah mencatat bahwa, masyarakat Indonesia mulai mengenal agama Hindu-Buddha yang ditandai dengan muculnya Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda pada abad ke-4 dan ke-7 M (Raffles, 1965). Pada saat agama Hindu-Buddha bertahta di Indonesia tersebut yaitu pada abad ke-7 M, Islam sebenarnya telah masuk di Indonesia. Wheatley dalam The Golden Kersonense: Studies in Historical Geography of The Malay Peninsula Before (1961) mencatat, bahwa:
“Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dibawa oleh saudagar Arab saat membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara. Kehadiran saudagar Arab di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7 M tersebut bertepatan dengan kepemimpinan Ratu Simha. Beliau adalah sosok ratu yang dikenal cukup keras dalam menerapkan hukum Islam termasuk pada anggota keluarganya yaitu putra mahkotanya.”
Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Kepulauan Nusantara Awal (2009) juga menyebutkan bahwa, Islam sudah masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-7 M yang dicatat oleh pengelana China I-Tsing yang menyebutkan bahwa pada saat itu lalu lintas laut antara Arab-Persia-India-Sriwijaya sudah sangat ramai. Dinasti Tang juga menyebutkan bahwa pada abad ke-9 dan 10 M pedagang muslim Arab (Tashih) sudah banyak yang sampai di wilayah Kanton dan Sumatra. Para pedagang Arab tersebut kemudian melakukan Islamisasi salah satunya melalui jalur pernikahan. Yaitu dengan cara melangsungkan pernikahan dengan putri para petinggi dan bangsawan pribumi setempat. Hal tersebut juga diperkuat dengan tulisan pengelana bernama Marcopolo pada tahun 1292 dalam perjalanannya pulang ke Eropa, ia singgah di sebuah kota Islam bernama Perlak yang bertempat di sebelah utara Sumatra. Selain itu juga disebutkan oleh seorang pengelana asal Maroko bernama Ibnu Batutta yang bercerita mengenai kunjungannya ke kesultanan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudra Pasai pada tahun 1345. Selanjutnya bukti Islam telah masuk di Indonesia sejak abad ke-7 M berdasarkan penemuan makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik, Jawa Timur yang bertarikh 1082 M.
Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke-7 M tersebut bukan berarti Islam telah diterima secara luas dan menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia. Sebaliknya Islam pada kurun waktu tersebut masih mendapat penolakan oleh masyarakat pada umumnya. Fakta sejarah tersebut dapat terlihat dari catatan Marcopolo saat singgah di kota Perlak sebelum kembali ke Eropa yang menyebutkan bahwa penduduk Perlak di sebelah utara Sumatra terbagi pada tiga golongan, yaitu (1) golongan masyarakat kaum muslim China, (2) golongan kaum muslim Arab-Persia, dan (3) golongan penduduk pribumi yang masih memuja rohroh leluhur dan hidup kanibal atau memakan sesama manusia (Sunyoto, 2012).
Mengetahui fakta tersebut dalam misi mengislamkan tanah Jawa, Sultan Al-Ghabbah (nama daerah dekat Samarkand) dari Negeri Rum mengirim 4000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa. Namun dikisahkan semua keluarga muslim tersebut tewas dibunuh siluman yang menghuni pulau Jawa. Sultan Al-Ghabbah kembali mengirim 2000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa, namun semuanya kembali tewas. Pada abad ke-14 M, akhirnya Sultan Al-Ghabbah mengutus Syaikh Baqir atau masyhur dengan nama Syaikh Subakir ke tanah Jawa untuk meruqyah tanah Jawa (sebelumnya juga singgah dan meruqyah pulau Bawean) sebagai awal pembuka jalan dakwah, dan menghilangkan anasir-anasir jahat akibat dominasi jin dan siluman yang terkait dengan ritual agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat setempat sebelumnya (Kapitayan-Hindu-Buddha). Selain itu juga untuk membuka hati masyarakat Jawa agar terbuka hatinya terhadap Islam yang akan segera datang di bawah panji Wali Songo (Quswandhi, 2008). Sukri (2011) menyebutkan, bahwa perjalanan Syaikh Subakir di tanah Jawa tertulis dalam manuskrip kuno berjudul Kitab Musarar berbentuk tembang / puisi Jawa.
Baca Juga : Manhaj Walisongo, Dakwah dengan Menaklukkan Hati Penduduk Nusantara
Islamisasi Periode Dakwah Wali Songo
Berdasarkan fakta sejarah di atas, Islam mulai dikenal oleh penduduk pribumi di Indonesia sejak abad ke-7 M mengalami hambatan dan belum diterima sampai pada abad ke-15 M. Hal tersebut berarti sekitar kurun waktu delapan abad lamanya sampai Islam mulai dianut secara menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia yaitu pada pertengahan abad ke-15 M. Setelah Pulau Jawa dan Pulau Bawean yang diruqyah oleh Syaikh Subakir, maka Pulau Jawa disebutkan telah siap menerima dakwah Islam para mubaligh berikutnya yaitu dakwah Wali Songo.
Wali Songo mendakwahkan Islam dengan damai, santun, serta tanpa paksaan. Gerakan damai yang dilakukan oleh Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu sebuah metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik. Di antara anggota Wali Songo yang berdakwah di Jawa pada periode awal yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Islam yang dibawa oleh beliau masuk pada sekitar abad ke-14 M.
Raffles (1965) dalam The History of Java, mencatat cerita penduduk setempat yang menyatakan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang pandita termasyhur berasal dari Arabia, keturunan Zaenal Abidin dan sepupu Raja Chermen yang menetap bersama Mahomedans (orang-orang Islam) di Desa Leran Jenggala. Sementara itu berdasarkan prasasti makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bahwa beliau berasal dari Kashan (bi Kashan), sebuah tempat di Persia (Iran) (Sunyoto, 2012). Selanjutnya, Drewes (1983) dalam “New Light on the Coming of Islam to Indonesia” menyebutkan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim merupakan salah seorang tokoh yang pertama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dan merupakan wali senior di antara wali lainnya. Sebagaimana anggota Wali Songo lainnya, sebelum mendakwahkan ajaran Islam, beliau terlebih dahulu berdakwah secara sosial melalui pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Baca Juga : Walisongo, Pembentuk Kultur Islam Nusantara
Strategi Dakwah Syaikh Maulana Malik Ibrahim melalui Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat
Disebutkan dalam berbagai literatur bahwa, Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan nama Sunan Gresik, merupakan seorang wali yang mumpuni ilmu keislamannya. Selain itu beliau juga menguasai ilmu pertanian, pengobatan, perdagangan, dan pendidikan. Di bidang pertanian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan masyarakat Gresik cara bercocok tanam yang baik, sehingga hasil panen petani meningkat lebih baik. Beliau juga mengajarkan masyarakat irigasi, cara mengaliri air dari pegunungan ke sawah-sawah warga. Sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kekeringan dalam bercocok tanam (Rahimsyah, 2013). Adanya kisah ketika masyarakat Gresik yang saat itu mengalami kekeringan pada saat musim kemarau. Sehingga sawah dan ladang mereka kering dan tidak menghasilkan panen yang baik. Pada saat itu Syaikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan sholat istisqo’ untuk meminta hujan turun (Sofwan dkk., 2004). Melalui penguasaan di bidang pertanian tersebut, beliau meningatkan kesejahteraan hidup masyarakat menjadi lebih baik serta mengenalkan bahwa Allah ada sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta dan segala isinya.
Tidak hanya mumpuni dibidang pertanian, beliau juga mengajarkan masyarakat ilmu pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tanaman-tanaman lokal yang tumbuh di sekitar wilayah Gresik. Tanaman-tanaman tersebut kemudian diolah menjadi obat-obatan yang nantinya menjadi perantara kesembuhan warga yang sedang terkena penyakit (Rahimsyah, 2013). Selain menguasai ilmu pertanian dan pengobatan, Syaikh Maulana Malik Ibrahim juga menguasai ilmu perdagangan. Bahkan disebutkan agar tidak mencolok membawa ajaran agama baru (Islam), ketika masyarakat Gresik masih memeluk agama Hindu-Buddha. Maka Syaikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan kebaikan ajaran Islam melalui peran beliau sebagai pedagang. Ketika berdagang tersebut, Syaikh Maulana Malik Ibrahim justru menunjukkan kemahiran dan kebijaksanaan beliau dalam dunia perdagangan. Beliau juga memiliki kemampuan memberi petunjuk dan nasihat tentang tata cara berdagang di daerah setempat. Beliau juga mampu menaksir harga barang dagangan yang yang dibawa para pedagang serta mampu menentukan besarnya bea cukai yang harus dibayar (Widodo dkk., 2004).
Selain itu, Syaikh Maulana Malik Ibrahim juga dikenal sebagai pedagang yang memiliki sikap arif; bijaksana; cakap; bersih dan wibawa. Beliau mengajarkan ajaran ikhsan (memberi lebih daripada yang diminta) dan ajaran senang memberi (loman / senang bersedekah) saat melakukan transaksi sebagai pedagang. Sehingga hubungan antara satu pedagang dan pedagang lainnya menjadi harmonis, rukun, serta hati mereka diliputi perasaan tenang karena berbuat baik dan jujur dalam berdagang. Terlebih hasil dagang yang diperoleh menjadi lebih banyak daripada sebelumnya. Kecakapan dan sikap baik beliau dalam berdagang itulah yang kemudian mengundang simpati masyarakat sekitar.
Manuskrip Babad Gresik I juga mencatat, Raja Mahajapahit pada akhirnya memberikan kepercayaan pada Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan mengangkat beliau sebagai Syahbandar (Subandar) atau dikenal sebagai kepala pelabuhan dagang Gresik. Selain itu, Raja Majapahit juga memberi beliau sebidang tanah di desa Gapura. Beliau juga diizinkan mendakwahkan ajaran Islam pada masyarakat sekitar Gresik. Hingga pada akhirnya, di desa Gapura itulah Syaikh Maulana Malik Ibrahim membangun pondok pesantren pertama di tanah Jawa dan mengajarkan Islam pada masyarakat sekitar Gresik. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Syaikh Maulana Ibrahim diberi tanah di Gresik oleh Raja Majapahit dan diangkat sebagai Subandar ing Gresik, serta diperbolehkan menyebarkan agama Islam kepada orang yang mau (Soekarman, 1990).”
“Selanjutnya pada saat menetap di desa Sawo tersebut, Syaikh Maulana Malik Ibrahim datang ke Kutaraja Majapahit menghadap pada Raja Majapahit dan berencana mendakwahkan agama Islam pada masyarakat Kerajaan Majapahit. Namun, pada saat itu Raja Majapahit belum berkenan masuk Agama Islam. Akan tetapi Raja Majapahit pada saat itu telah menerimanya dan memberikan sebidang tanah di pinggiran kota Gresik, yang di kenal dengan nama Desa Gapura. Di Desa Gapura inilah Syaikh Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren untuk mendidik kader-kader pemimpin Islam yang diharapkan dapat melanjutkan misinya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapahit yang sedang mengalami kemerosotan akibat perang saudara (Sunyoto, 2012).”
Berdasarkan dua kutipan literatur di atas, dapat diketahui bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim telah mendapat tempat di hati Raja Majapahit dengan diberikannya sebidang tanah di desa Gapura yang kelak menjadi tempat beliau mendirikan pondok pesantren. Selain itu beliau juga diangkat menjadi Syahbandar atau kepala pelabuhan dagang di wilayah Gresik.
Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai ulama’ dan pemimpin yang mengayomi rakyat kecil, terutama masyarakat kalangan sudra. Beliau memiliki sikap welas asih (belas kasihan) pada masyarakat lemah. Beliau juga seorang dengan perangai santun, cerdas, dan selalu memancarkan senyuman ketika sedang menjalankan perannya. Karena kecakapan dan keluhuran akhlak beliau tersebut akhirnya taraf kesejahteraan masyarakat di wilayah Gresik menjadi lebih baik dan masyarakat akhirnya tertarik dan berbondong-bondong ingin mempelajari agama Islam. (Rahimsyah, 2013). Hal tersebut diadaptasi beliau dari sabda Nabi yang menyebutkan bahwa, “kefakiran menjurus pada kekafiran.” Tidak bisa hidup dan beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi.
Baca juga : Prof. Abdurrahman Mas’ud : Dakwah Walisongo, Canggih dan Brilian
Ajaran tersebut juga sejalan dengan ajaran Islam, bahwa ada lima hal yang bisa digunakan untuk tegaknya agama dan kehidupan yaitu: ilmu, harta, kekuasaan / pengaruh, tenaga, dan doa. Sebagaimana analog teko akan mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Jika teko tersebut berisi teh, maka ia akan mengeluarkan teh pada gelas yang diisinya. Demikian juga dengan keberadaan manusia di muka bumi ini, jika memiki ilmu; harta; kekuasaan / pengaruh; tenaga; dan doa maka akan bisa memberikan apa yang dimilikinya tersebut pada orang lain.
Hal tersebut dapat diketahui bahwa, memiliki di sini bukan untuk menguasai dan mengakumulasi untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan golongannya. Namun memiliki di sini bermakna sebagai alat / perantara agar bisa memberi pada sesama. Memiliki agar bisa menegakkan agama dan kehidupan melalui apa yang dititipkan Allah pada diri kita. Baik ilmu, harta, kekuasaan / pengaruh, tenaga, dan doa. Memiliki untuk menegakkan peran sebagai khalifatullah (wakil Tuhan di muka bumi) yang bertugas menyebarkan kabaikan pada sesama di muka bumi ini. Teladan ini sebagaimana yang dilakukan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dalam berdakwah pada masyarakat Gresik. Beliau menggunakan apa yang beliau miliki, baik ilmu, harta, kekuasaan / pengaruh, tenaga, dan doa untuk menegakkan Islam di tanah Gresik dan sekitarnya.
Jasa dan kebaikan Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada rakyat kecil senantiasa terkenang dan tertulis pada nisan beliau:
“Inilah makam almarhum al-Maghfur, yang mengharap rahmat Allah Yang Maha Luhur, Guru kebanggaan para pangeran (mafkharulumara’), Penasihat para raja dan menteri (umdatus-salathin wal-wuzara), Yang santun dan dermawan kepada fakir miskin (wa ghaisul-masakin wal-fuqara’), Yang berbahagia karena syahid (as-sa’id asy-syahid thirazu bahaid-dawlah wad-din), Al-Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kakek Bantal, berasal dari Kashan. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan menempatkannya ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah (Sunyoto, 2012).”
Demikian sepenggal kisah tentang kemuliaan kekasih Allah, Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan nama Sunan Gresik. Beliau dengan keluhuran akhlak dan ketinggian ilmunya memilih berdakwah dengan cara santun, yaitu melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sekitar Gresik sebelum mengenalkan ajaran Islam yang dibawanya dalam misi dakwah di Jawa dan Gresik pada khususnya. Beliau tidak serta merta menyalahkan masyarakat yang pada saat itu masih melakukan kebiasaan-kebiasaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Sebaliknya, beliau justru menebar kebaikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat serta memberi keteladan dengan ajaran kebaikan saat menjalankan perannya. Karena jasa beliau tersebut, sampai saat ini tak terhitung jumlahnya masyarakat akademisi pun juga masyarakat umum yang mengkaji biografi, pemikiran dan jejak dakwah beliau. Tak sedikit pula peziarah yang terus-menerus berdatangan menziarahi makam beliau di Gresik. Berikut keberkahan atas kehadiran dan dakwah beliau yang terus bisa dirasakan oleh masyarakat Gresik dan sekitarnya hingga saat ini. Teladan kami, Kanjeng Wali ingkang Welas Asih lan Trisno Marang Sapodo-podo.
DAFTAR PUSTAKA
- Drewes, G.J.W. 1983. “New Light on the Coming of Islam in Southeast Asia”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
- Ensiklopedia Sejarah dan Budaya (Kepulauan Nusantara Awal). 2009. Jakarta: Penerbit PT Lentera Abadi.
- Quswandhi, Muhammad Dhiyauddin. 2008. Waliyah Zainab Putri Pewaris Syeikh Sitti Jenar-Sejarah Agama dan Peradaban di Pulau Bawean. Bawean: Yayasan Waliyah Zainab Diponggo.
- Raffles, Thomas Stamford. 1965. The History of Java (terj). London: Oxford University Press.
- Rahimsyah. 2013. Jejak-Jejak Wali Songo (Mulai Generasi Pertama). Surabaya: Mutiara Agung.
- Soekarman. 1990. Babad Ing Gresik: Naskah Koleksi Radya Pustaka Surakarta. Gresik.
- Sofwan, Ridin dkk. 2004. Islamisasi di Jawa: Wali Songo Penyebar Islam di Jawa menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Sukri, Mat. 2011. Kitab Musarar Syeikh Subakir (Asal-Muasal Tanah Jawa). Yogyakarta: Haura Pustaka.
- Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Wali Songo (Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah). Depok: Pustaka Iman.
- Wheatley, P. 1961. The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of The Malay Penisula Before A.D. 1500. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
- Widodo, Dukut Imam dkk. 2004. Grissee Tempo Doeloe. Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik.
No responses yet