Categories:

Oleh:  Dhian Salsa Billa*

S  

ebuah novel yang bagus merupakan buah hasil pemikiran si pengarang yang luas. membaca sebuah novel dapat membuat pembacanya berimajinasi seoalah-olah terlibat dalam cerita tersebut, hal tersebut diciptakan oleh pengarang yang cerdas. Tak jarang sebuah novel dapat meraih suatu penghargaan karena alur cerita yang menghipnotis pembacanya.

Begitu juga karya dari seorang pengarang bernama Erni Aladjai, seorang penulis novel yang sudah tak asing lagi bagi peminat novel Indonesia. Karya-karya Erni Aladjai sudah populer bahkan salah satu novelnya telah mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 kategori prosa dengan judul novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga. novel Haniyah dan Ala di Rumah Teruga merupakan novel yang terbit pada Januari 2021 oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan memuat 14 bab disertai prolog dan epilog,sebuah novel yang berisikan tentang kehidupan yang sederhana serta dekat dengan alam, mampu menarik saya untuk membaca novel ini lagi dan lagi.

Haniyah dan Ala merupakan tokoh utama yang ada dalam novel ini, Haniyah berperan sebagai ibu muda yang mempunyai anak bernama Ala yang sedang menempati bangku Sekolah Dasar. Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga mengambil latar belakang kehidupan dipedesaan dimana masih memanfaatkan alam dan juga kebudayaan. Erni Aladjai mencoba mengkombinasikan elemen kebudayaan,alam,dan juga mistis menjadi satu, dalam novel ini pun menurut saya ada beberapa penggalan cerita yang berhasil membuat saya merasa ngeri karena kesadisan yang diceritakan.

Diceritakan sedikit, Ala merupakan seorang anak kecil yang masih mengenyam pendidikan Sekolah Dasar memiliki hidup yang cukup malang, dilahirkan dengan fisik yang kurang sempurna lalu kehidupannya yang sederhana tanpa seorang ayah, namun yang menarik dari kehidupan Ala adalah ia bisa merasakan atau melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. Ala diciptakan memiliki kemampuan khusus seperti indra ke 6, hingga pada akhirnya karena kemampuannya itu Ala mempunyai teman ghaib bernama Ido. Pertemuannya merupakan hal yang tidak disengaja hingga akhirnya mereka menjadi teman baik.

Mata kiri Ala yang juling dan mata kanannya yang normal memandang anak laki-laki itu tanpa berkedip dan dia telah tahu, anak itu arwah. Tetapi arwah siapakah dia? Ala membatin. Hawa dingin terasa. Ala tak merinding. Tak merasakan ketakutan. Dia memanggil anak laki-laki itu, menawarkan air putih yang sudah dimasak dari ketel di atas meja. Tapi si anak menggeleng (hlm.10).

Ala mengambil piring. Dia membawanya ke meja makan, membuka sungkup saji. Masih ada sisa daging lokan yang dimasak kering dan semangkuk nasi. Ala menyilakan Ido makan. Ketika Ido mendekat, aroma cengkih semakin tajam. Ala mendekati Ido lalu mengendusi punggungnya, aroma itu datang dari tubuh Ido. (hlm.10).

Meski terkadang alur ceritanya yang tidak masuk akal seperti seorang arwah yang digambarkan makan dan minum layaknya manusia namun pengarang berhasil membuat cerita yang tidak dapat diterima itu menjadi sesuatu yang bisa dipahami, karena ceritanya yang runtut dan detail membuat pembaca dapat menerima cerita tersebut kedalam pikiran kita. Hal

yang membuat saya heran adalah bagaimana bisa pengarang memikirkan Haniyah dan Ala yang tinggal di sebuah rumah “teteruga”, “teteruga” disini bukan berarti tinggal di sebuah cangkang hewan teteruga. namun Haniyah dan Ala tinggal disebuah rumah yang sudah turun temurun dari nenek moyangnya, tentunya hal itu yang menjadikan mengapa rumah tersebut dinamakan “teteruga” yaitu karena rumah tersebut sangat kuat dihuni berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin beratus tahun.

Dalam novel ini banyak sekali diceritakan kisah-kisah tragedi yang terjadi didalam daerah terebut, kematian-kematian yang menyesakkan dada seringkali digambarkan dalam cerita ini, salah satunya adalah kematian dari seorang gadis yang mati karena menenggelamkan dirinya sendiri laut. Berawal dari sebuah kisah cinta terlarang antara gadis tersebut dan seorang polisi, kisah cinta tersebut menjadi terlarang karena polisi tersebut ternyata mempunyai seorang istri. Akibat hal tersebut sang istri murka dan tak segan-segan menganiaya gadis tersebut yang bahkan tengah mengandung anak dari seorang polisi.

Mereka mengangkat si perempuan hamil ke atas pasir, melucuti sarungnya lalu membuangnya ke laut, hanyut diseret ombak tepian, tersangkut di salah satu batu karang. Di atas pasir putih, perempuan hamil itu meronta, mengerahkan segala daya, berusaha meloloskan diri dari cengkaman lima wanita berseragam merah muda. Seseorang dari mereka kemudian melucuti celana dalam si perempuan hamil, membuangnya ke laut, hanyut dipukul ombak, terdampar ke tepi pantai, lalu hanyut lagi dipukul ombak. Di antara yang lain, perempuan yang melucuti celana dalam si wanita hamil yang tampak paling beringas. Dia menyarungi tangannya, lalu mengeluarkan wadah kecil dari saku roknya. Wadah itu berisi tumbukan cabai padi. Wanita itu melumuri kemaluan si wanita hamil dengan tumbukan cabai (hlm. 25-26).

dalam cerita tersebut sebenarnya menurut saya adalah merupakan suatu sindiran bagi kehidupan realita juga, banyak “oknum” yang memanfaatkan pekerjaannya sebagai ajang tebar pesona kepada banyak perempuan, padahal orang tersebut sudah berkeluarga. Dalam penggalan paragraf di atas dapat dibayangkan betapa sadisnya kecemburuan seseorang yang akan melakukan apasaja sampai melanggar HAM. Bukan hanya cerita tersebut saja yang memuat sebuah tragedi sadis namun ada juga beberapa bab yang menceritakan kematian-kematian warganya.

Dalam novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga berbeda sekali dengan judulnya, bayangan saya dalam judulnya yang menggambarkan seorang anak yang memiliki rumah unik yang hidup dengan kegembiraan bersama rumahnya, namun berbeda dengan isi dalam ceritanya yang tidak terduga. Dalam novel tersebut tidak hanya mengisahkan Ala dan Haniyah, namun juga ada kisah-kisah tokoh lain yang diceritakan dalam novel ini sehingga tidak terkesan monoton, dan pengarang berhasil menggambarkan sebuah kehidupan secara menyeluruh di suatu daerah.

Sebagai pengarang, Erni Aladjai berhasil menarik pembacanya masuk dalam imajinasinya. Sebagai pembaca, saya dapat membayangkan apa yang sedang diceritakan Erni Aladjai. Cerita-cerita perbabnya sangat tidak terduga dan berhasil membuat saya penasaran sehingga terus membaca semua cerita perbabnya, tak heran jika novel ini berhasil meraih Pemenang Ketiga Sayembara Novel DKI pada tahun 2019 dan Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 kategori prosa.

Nama   : Dhian Salsa Billa.

Mahasiswa Universitas Universitas Muhammadiyah Purwokerto, program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 6.

Alamat : Kotayasa RT05/05

Surel    : akunkeduabilla@gmail.com

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *