Menjadi imam salat sebenarnya suatu yang biasa-biasa saja, apalagi bagi orang yang sudah mempunyai syarat dan otoritas seperti urang alim atawa urang saleh yang sering dikenal sebagai Mu’allim, Tuan Guru, Abuya, Surgi, Syekh atau minimal ustadz. Apatah lagi hanya mengimami salat tarawih yang hukumnya hanya sunat yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Namun bagiku yang mungkin belum masuk kriteria di atas, menjadi sesuatu yang luar biasa dan sesuatu banget. Aku menjadi imam tarawih pada hari pertama memasuki bulan Ramadan dan di Langgar Miftahussalam lagi, yang merupakan Langgar Tertua di Teluk Tiram tempat kelahiranku. Berada dekat pasar tua, Pasar Sejumput, dan tepian sungai Martapura yang kelihatan masih sibuk. Langgar ini bagiku banyak mengandung sejuta kenangan manis bahkan nilai sejarah yang kaya, mungkin bagi banyak orang juga. Bisa dikatakan di langgar inilah, pada waktu kecil dan remaja aku ditempa untuk menjadi anak yang memahami ilmu dan praktek ajaran Islam. Di sini, pada waktu yang sangat dini aku mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman sekaligus mempraktekkannya seperti belajar Alifan (Juz Amma), Wudlu, Shalat, membaca Al-Qur’an, Aqidah, Fiqih, Akhlak dan Tasawuf dari guru level Ustadz sampai level Mu’allim.
Untuk pelajaran ilmu dasar Islam, aku memperolehnya dari Sekolah Arab yang sempat ada di sana sebelum ada bangunan khusus yang permanen dengan salah satu gurunya ustadz Abdussalam (adik seayah dari Mu’allim Syukur). Dalam membaca Al-Qur’an di samping belajar dengan ayahku sendiri di rumah, juga lewat semacam kaji sorogan di sudut ruang Langgar termasuk juga kegiatan tadarrus tiap malam Ramadan ba’da tarawih.. Sedangkan ilmu keislaman yang luas aku peroleh dari Kai Talib (Tuan Guru H. Abdul Muttalib M), Guru Sami (Tuan Guru H. Abdussami, ayahku sendiri), Guru Utuh (Tuan Guru Hasbullah), Guru Yusran (Tuan Guru H. Muhammad Yuseran) dan lain-lain, lewat ceramah rutin mereka di langgar ini, seminggu sekali. Adapun dengan Mu’allim Syukur (Tuan Guru H. Abdussyukur bin H. Jamaluddin) dan anak sulung beliau Mu”allim Gafar (Tuan Guru H. Abdul Gaffar bin Tuan Guru H. Abdussyukur), aku sempat belajar ilmu Alat (Nahwu dan Sharf) di rumah beliau yang berada di belakang langgar.
Tak terbayangkan waktu itu, aku akan bisa menjadi salah satu imam di Langgar Miftahussalam yang telah banyak mencetak banyak ulama yang sangat berperan di seputar kota Banjarmasin. Kulihat, sekarang meskipun situasinya sudah jauh berubah, tapi jamaah langgar ini tetap begitu banyak memenuhi shaf-shaf seperti zaman kecilku dahulu dan mungkin aktivitasnya mengkader calon ulama nampaknya masih menggebu-gebu.
No responses yet