Tahun 1980 aku baru menjadi mahasiswa semester 1 Fakultas Adab IAIN (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, salah satu dosen yang mengajarku waktu itu Mas Bisri, masih nampak muda, baru lulus dari Fakultas yang sama, tapi jurusan Sastra Arab. Jadi, bisa dikatakan aku secara formal merupakan murid beliau sejak 40 tahun yang lalu, meskipun hanya beberapa kali saja beliau sempat mengajarku, tapi tentu sudah lebih dari satu alif memberikan ilmu beliau kepadaku dan sudah cukup beliau ditahbis sebagai guruku. Sayyidina Ali ra dalam Kitab Ta’lim Muta’allamin menyatakan bahwa siapapun yang telah mengajarkan beliau walau hanya satu alif, dia sudah menjadi guru beliau bahkan beliau akan tunduk patuh kepadanya seperti mayat yang dimandikan sang pemandi.
Tahun 1990, ketika Muktamar NU di Pondok Pesantren Krapyak, aku bertemu lagi dengan beliau setelah 10 tahun berlalu, beliau sudah bekerja sebagai peneliti di LIPI. Aku waktu itu menjadi panitia muktamar bersama-sama beliau. Bedanya beliau panitia pusat dan aku panitia lokal. Kami sekamar dan tidur di atas ambal yang sama bersama panitia yang lain. Tentu saja aku sebagai murid beliau atau adik kelas beliau sesama alumni Fakultas Adab, makin mempererat persahabatan. Apalagi Mas Bisri sosok orang yang mudah akrab kepada siapapun termasuk aku muridnya yang merasa tersanjung bisa menjadi teman raksasa budayawan ini. Bersama beliau menjadi panitia Muktamar NU di Krapyak, menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan sepanjang hayat dikandung badan.
Tahun 2000-an, ketika aku sudah pulang ke Banjarmasin dan sudah menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Antasari Banjarmasin, sekaligus sebagai Direktur Lakpesdam (Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia) PWNU Kalimantan Selatan dan aktif di LK3 (Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan), aku sering di undang dan dilibatkan Mas Bisri dalam kegiatan dan program Desantara, LSM Kebudayaan yang beliau dirikan. Lebih dari itu, Mas Bisri dengan Desantaranya pernah berkerjasama dengan LK3 dalam pembelaan dan pemberdayaan tradisi lokal di Kalimantan Selatan.
Begitulah Mas Bisri memperlakukan aku sebagai muridnya sangat demokratis dan egaliter hampir sudah tiada jarak kelas sosial lagi, sehingga aku yang semestinya memanggil Guru Bisri cukup dengan panggilan Mas Bisri saja. Aku kira beliau bisa dikatakan seorang ulama budayawan yang sangat yakin bahwa agama dan kebudayaan tidak saling bertentangan satu sama lain bahkan saling mengisi dan menghidupi. Keyakinan beliau ini, tidak hanya diwujudkan pada tingkat wacana dan niat baik, tapi juga dalam sikap dan tindakan nyata.
Terakhir tahun 2010 aku bertemu beliau pas dengan isterinya yang aktif memperjuangkan kesetaraan jender. Beliau waktu itu bertanya kepadaku adakah karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang bernuansa kesetaraan jender selain Hukum Waris Perpantangan ? Jawabku ada, walaupun hanya sedikit yakni di kitab Luqthatul Ajlan (Fiqih Wanita), yang salah satunya berisi, kaum isteri boleh pergi tanpa izin suami untuk belajar agama (Islam). Beliau langsung apresiatif dan membeli kitab tersebut untuk dikaji dan sebagai referensi.
Seusai itu, aku tak pernah lagi bersua beliau bahkan mendengar kabarnyapun jarang sekali. Tiba-tiba tanggal 17 Agustus 2020, habis memperingati hari Kemerdekaan layar FBku banyak postingan yang mengabarkan Mas Bisri telah berpulang ke Rahmatullah. Terasa palu godam menghantam dinding hati ini, ada suatu rasa kehilangan yang mendalam. Namun apa hendak dikata kalau Allah sudah menghendaki Mas Bisri harus pergi, aku bisa apa, ya paling hanya bisa mendoa. Selamat jalan Mas Bisri, semoga surgalah di tanganmu dan Tuhanlah di sisimu bersama Gus Dur dan Gus Im serta orang saleh lainnya. Allah Yarham.
No responses yet