Entjeng Shobirin N. adalah aktivis dan kemudian menjadi tokoh PMII-NU Yogya dan Pusat. Beliau jebolan Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Beliau sejak mahasiswa sudah terlihat cahaya kecendikiawanannya, sangat menonjol dari teman-teman seangkatannya. Beliau dari awal kuliah sampai akhir selalu menjadi mahasiswa teladan selang-seling dengan Sahabat Andi Muarly Sunrawa. Apalagi setelah tamat kuliah beliau tidak tertarik untuk menjadi pegawai negeri, melainkan lebih memilih lembaga swasta, ikut dan bekerja di LP3ES, Jakarta, yang terus mengasah keintelektualan beliau baik dalam teori maupun praktik.
Awal pertemuanku dengan beliau sekitar tahun 1980-an. Beliau salah satu instruktur dan narasumber MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) dan LKD (Latihan Kader Dasar) Cabang PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Yogyakarta. Aku salah satu peserta dari sekian puluh peserta lain yang ikut di dalam pelatihan tersebut. Aku ketika melihat beliau pertama kali langsung sangat terkesan, apalagi saat beliau berbicara, kesan itu semakin mendalam. Beliau dalam bayanganku adalah mahasiswa yang sangat patut diidolakan. Penampilan beliau yang sederhana dengan pakaian sedikit semrawut, tapi nampak pintar, cerdas dan cerdik, membuat hatiku bertekad ingin menjadi seperti beliau. Sejak itu, dalam hati aku berjanji untuk lebih jauh lagi ingin mengenal beliau dan kalau bisa akrab untuk seterusnya. Memang kemudian aku tanpa dinyana, bisa begitu akrab dengan beliau, sudah seperti adik dan kakak. Beliau memperlakukanku seperti saudara kandungnya sendiri tanpa ada rasa risih. Sebaliknya, aku juga menganggap beliau sebagai saudara kandung pula. Lebih dari itu, beliau bisa dikatakan sebagai guruku terutama dalam cara berpikir kritis dan berpikir filosofis.
Ketika aku sudah selesai kuliah di Fakultas Adab Jurusan SKI, beliau sudah semakin mapan di LP3ES, Jakarta, bersama Arief Mudatstsir Mandan. Aku selalu mengikuti sepak terjang beliau dalam wacana pemikiran dan penelitian yang tertuang di majalah Prisma dan majalah Pesantren. Dua majalah ilmiah yang saat itu sangat beken menjadi bacaan para cendiwan baik tua maupun muda. Aku sendiri sangat suka dengan kedua majalah tersebut. Di samping beliau mulai aktif dan sangat serius di NU. Beliau waktu itu, sangat prihatin di dalam NU belum ada kaum akademisi atau kaum cendikiawan yang berperan, padahal itu penting untuk menghadapi kehidupan dunia yang terus berubah. NU tidak cukup kalau hanya dipimpin semata-mata oleh jebolan pesantren. Sudah waktunya kata beliau NU harus merekrut kaum akademisi yang jelas-jelas berlatar belakang kultural NU. Kini NU mempunyai berlimpah kaum akademisi, bahkan bisa dikatakan mengalami panen raya cendikiawan. Kesemua itu, aku kira salah satunya adalah peran beliau yang penuh dedikasi dan loyalitas.
Akhirnya, aku masih terbayang cekikik beliau yang khas dan ngomong beliau yang ceplas ceplos tapi terkontrol tanpa kehilangan bobot yang dibicarakan. Selamat jalan Mas Entjeng, nikmatilah tidur panjangmu bersama para senior yang sudah mendahului.
No responses yet