Di laman fesbuk Ustadz Heri Latief , Direktur Eksekutif Nurul Hayat Surabaya, saya membaca informasi  miris. Dua orang kakak beradik, Andre dan Anggi, menandatangani surat pelepasan tanggungjawab merawat ayahnya. Pak Marti’in, ayah keduanya, usia 70-80, selama ini terkena stroke berat.

Kondisi Pak Marti’in sebatangkara. Tetangga-lah yang selama ini mendampinginya. Aparat desa memanggil Andre dan Anggi. Memintanya merawat ayahnya. Keduanya bersikukuh menolak. Akhirnya dibuatlah surat pernyataan bermaterai. Kini, tim Nurul Hayat sudah menjemputnya dan siap merawat Pak Marti’in di Griya Lansia, sebuah program Nurul Hayat yang fokus menyediakan asrama bagi para lansia terlantar dan merawatnya hingga akhir hayatnya.

Saya tidak tahu alasan Andre dan Anggi enggan merawat ayahnya yang kesehatannya sudah lemah itu. Faktor ekonomi? Psikologis? Bosan? Ada trauma? Entah. Yang pasti, mereka lepas tanggungjawab. Beruntung ada Griya Lansia yang siap merawat Pak Marti’in.

Soal merawat orangtua yang sudah sepuh, apalagi lumpuh, pikun, dan secara psikis kembali ke fase “kekanak-kanakan” yang sensitif, memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Tidak ada seorang anakpun yang menghendaki kondisi seperti ini. Tapi jika sudah terjadi, wajib bagi mereka merawatnya. 

Dalam kaitan ini saya teringat sebuah film drama komedi Bollywood. Judulnya “Piku”. Dibintangi Deepika Padukone sebagai Piku Banerjee,  arsitek berjiwa pemberontak, yang harus merawat ayahnya, Bhaskor (Amitabh Bachchan), yang keras kepala, menyebalkan, punya penyakit sembelit dan sedikit pikun. Anak dan ayah sama-sama berkepala batu, sering bertengkar, namun pada akhirnya keduanya saling memahami cara mencintai.

Mendampingi orangtua memang butuh kesabaran karena adanya gap generation, psikologi yang berbeda, juga pola komunikasi. Hanya saja, saya teringat petuah sakral: apa yang kita perbuat kepada orangtua selama hidupnya, itulah yang akan dilakukan buah hati kita kelak kepada orangtuanya. Kalau kita berbakti kepada keduanya, niscaya anak-anak melakukan hal yang sama kepada kita. Jika durhaka, alamat perbuatan sama akan terulang. Falsafah Jawa bilang ngunduh wohing pakarti, mengunduh buah perilaku. Orang lain mungkin menganggapnya hukum karma, ada juga yang menganggapnya sebagai wujud cakramanggilingan, roda kehidupan yang terus berputar sesuai sunnatullah. Terserah bagaimana menyebutnya. 

Sebagai anak, seringkali kita mengejar kedewasaan hingga lupa kalau orangtua semakin sepuh. Sebagai buah hati, acapkali kita sibuk di luar tapi lupa jika ayah-ibu membutuhkan perhatian, bukan berupa materi saja, melainkan sapaan hangat dan canda tawa dari anak-anaknya.

Soal relasi ini, saya jadi teringat sebuah perbincangan dengan pengusaha Tionghoa, menjelang kepulangan saya dari Jakarta ke Surabaya, beberapa tahun silam. Ahong, sebut saja begitu, minimal seminggu sekali pulang ke Surabaya. Semata-mata untuk mengunjungi ayahnya yang sudah lumpuh dan diasuh perawat. Selama kunjungan itu, dia memperlakukannya seperti mengasuh bayi: mengganti pampers, menceboki, memandikan, menyuapi, memijati, dan sebagainya. Alasannya, ingin menemani papanya dengan baik hingga ajal menjemputnya, agar kelak tidak menyesal. 

“Saya hanya percaya, jika kita ingin jadi raja di bisnis kita, maka pertama-tama harus memperlakukan papa-mama sebagai raja.” katanya. Prinsip yang bagus untuk dicontoh. Orang Tionghoa menyebutnya sebagai Hoki. Bule melihatnya sebagai Luck Factor. Ulama menamainya Barokah. Ya, benar, kunci kelancaran rezeki dan karier, antara lain, bisa diraih dengan memuliakan kedua orangtua.

Demikian sakral kedudukan keduanya, dalam beberapa ayat, Allah menyandingkan ketauhidan dengan sikap berbakti kepada ayah ibu. 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS an-Nisa: 36).

Dalam ayat lain, penegasan ini juga diulang. “Dan Tuhanmu memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua.” (Surat Al-Isra ayat 23)

Ketika menjelaskan Birrul Walidain, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, Tarim-Yaman, membaginya menjadi empat kelompok:

Pertama. Mereka yang berbakti kepada orangtua saat hidup, maupun ketika sudah meninggal. Saat masih hidup: membahagiakannya. Saat sudah wafat, memohon ampun untuknya, menziarahi makamnya, menunaikan janjinya, bersedekah atas namanya, mendoakan kebaikan mereka di alam kubur, dan menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman almarhum. Yang terakhir ini seringkali dilupakan anak, padahal Rasulullah bersabda:

Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sungguh sebaik-baik kebaikan adalah seseorang yang (mau) menyambung tali silaturahim dengan sahabat bapaknya.” (HR. At-Tirmidzi)

Kedua. Mereka yang hanya berbakti kepada orangtua saat hidup saja. Tidak berbakti saat kedua orangtuanya sudah wafat. Ini merupakan golongan rugi. Sepeninggal ayah-ibu, kelompok ini tidak mendoakannya, juga enggan berziarah kubur, ataupun berbuat kebaikan atas nama keduanya.

Ketiga. Mereka yang durhaka ketika hidup, tetapi berbakti saat orangtua meninggal. Caranya: mendoakannya, bersedekah atas namanya, memohon ampun untuk keduanya, dan sebagainya.

Keempat. Mereka yang durhaka kepada orangtua ketika masih hidup dan setelah wafat. Ketika orangtua masih ada, mereka menyia-nyiakannya. Ketika sudah wafat, mereka melupakannya. Benar merugi. Menyia-nyiakan kesakralan dan keberkahan berbakti kepada ayah-ibu. Padahal, memuliakan orangtua adalah sarana panjang umur dan rezeki yang melimpah, sebagaimana sabda mulia Rasulullah:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa berharap Allah menambah umur dan rezekinya, hendaklah berbakti pada kedua orang tuanya dan menyambung hubungan sanak famili” (HR al-Baihaqi).

Wallahu A’lam Bishshawab.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *