Jakarta, jaringansantri.com – Salah satu alasan perlunya penulisan sejarah perjuangan ulama dalam proses pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adaah agar generasi Muslim tahu bahwa negara ini didirikan dengan susah payah oleh para ulama sehigga wajib dibela. Beberapa dekade sebelumnya perjuangan para ulama dan umat Islam hampir tidak tertulis dalam buku sejarah. Hal ini dinilai berbahaya karena akan memutus mata rantai sejarah.

Demikian antara lain dalam Diskusi Buku “KH Zainul Arifin Pohan Panglima Santri Ikhlas Membangun Negeri” di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, Ahad (13/5). Kegiatan ini dihadiri oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI). Selain dari keluarga besar KH Zainul Arifin, juga dihadiri perwakilan keluarga KH Wahid Hasyim dan KH Agus Salim.

Mewakili Keluarga KH Wahid Hasyim, Lily Wahid mendorong para sejarawan dan penulis muda Muslim untuk menuliskan sebanyak mungkin buku-buku sejarah perjuangan para ulama dan umat Islam dalam mendirikan NKRI.

“Saya berharap buku perjuangan KH Zainul Arifin diikuti dengan buku-buku yang lain. Kalau kita mengatakan bahwa umat Islam berperan, jangan hanya klaim, harus kita tunjukkan dengan fakta-fakta. Jangan sampai generasi berikutnya tidak tahu,”kata adik kandung Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid ini.

KH As’ad Said Ali yang menjadi keynote speaker dalam diskusi ini membenarkan bahwa sejak lama, perjuangan para santri tidak tertulis dalam buku-buku sejarah atau dokumentasi audio-visual perjuangan NKRI. Misalnya, dalam peritiwa 10 November di Surabaya, bahkan kaum santri tidak disebut.

“Saya pernah mendapatkan kaset berisi dokumen perjuangan. Butuh waktu beberapa hari untuk menyaksikan semuanya. Tapi anehnya tidak ada santri di situ. Padahal Surabaya itu markasnya santri,” kata mantan wakil kepala BIN itu.

Dalam kesempatan itu penulis buku “Laskar Santri dan Resolusi Jihad”, Zainul Milal Bizawie mengungkapkan bahwa dalam peristiwa 10 November para pemimpin laskar perjuangan sedang berada di Yogyakarta, dan pada 12 November baru memilih Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.

Sementara di Surabaya, Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh seorang panglima bernama KH Zainul Arifin sudah sangat solid dan berada di garis terdepan dalam menghalau tentara Sekutu yaang diboncengi Belanda.

“Pihak Sekutu dan Belanda tahu bahwa pada saat merdeka, Indonesia belum punya tentara. Makanya mereka yakin akan bisa menduduki Indonesia kembali pada 18 September. Tapi ternyata ada banyak Laskar, terutama Hizbullah yang melakukan perlawanan dan sangat solid. Hizbullah ini tidak memegang senjata tapi sudah sangat terlatih. Ketika Jepang menyerah, mereka langsung mengambil alih gudang senjata. Ini yang tidak dipikirkan oleh Sekutu,” katanya.

Sebelumnya Penulis buku KH Zainul Arifin Pohan Panglima Santri, Ario Helmy, yang juga cucu dari pahlawan nasional ini memaparkan singkat perjalanan sejarah perjuangan kakeknya, dimulai dari Barus Tapanuli Tengah Sumatera Utara, kemudian merantau ke Jakarta, mengikuti kelaskaran sampai dipilih KH Hasyim Asy’ari sebagai Panglima Hizbullah, masa perjuangan, aktif berpolitik melalui Partai NU sampai menjadi Wakil Perdana Menteri, sampai berakhir pada ketika ia tertembak pada saat menjalankan shalat Idul Adha di samping Presiden Soekarno.

Diskusi dipandu oleh A Khoirul Anam dari redaktur senior NU Online. Dikatakan, buku Panglima Santri yang diterbitkan oleh Pustaka Compass itu merupakan penyempurnaan dari buku yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU pada 2009 oleh penulis yang sama yang diberi kata pengantar oleh KH Abdurrahman Wahid. (*)

A. Khoirul Anam memandu diskusi buku “KH. Zainul Arifin : Panglima Santri Membangun Negeri”