Oleh M Rikza Chamami (Dosen UIN Walisongo dan mahasiswa Program Doktor Islamic Studies)

MEMBACA BUKU KARYA ZAINUL MILAL BIZAWIE BERJUDUL “MASTERPIECE ISLAM NUSANTARA: SANAD DAN JEJARING ULAMA-SANTRI (1830-1945)“ TERBITAN PUSTAKA COMPASS MARET 2016 SEAKAN KITA DIAJAK BERKELANA. BUKU DENGAN TEBAL 559 HALAMAN INI BUKAN BUKU BIASA. DI DALAMNYA BANYAK KANDUNGAN KHAZANAH ISLAM LOKAL, JEJARING ULAMA, MODEL KARYA ILMIAH DAN PEWARISAN KEILMUAN. DAN SATU HAL LAGI, ULAMA SANGAT BERPERAN DAN MEWUJUDKAN MENJAGA KEMERDEKAAN INDONESIA.

katalog-buku-pc-04-2016-hrgUlama dan santri, bagi Milal disebut sebagai pejuang bangsa. Laskar ulama santri membela Indonesia tidak hanya dengan emosi, tapi dengan ilmu pengetahuan, spiritual dan strategi. Ilmu yang dimiliki Kiai ditularkan pada santri dengan semangat membela tanah air dengan fatwa jihad. Demikian juga spiritual ditanamkan agar punya daya linuwih dan tidak takut dengan penjajah walau dengan senjata seadanya. Sedangkan strategi diatur sebagaimana ketika Rasulullah menghadang musuh-musuhnya.

Pengalaman yang dimiliki Pangeran Diponegoro dalam menghadang musuh bangsa diteruskan oleh para pengawal setianya dari kalangan santri. Sejumlah nama seperti Kiai Abdus Salam Jombang, Kiai Umar Semarang, Kiai Abdurrouf Magelang, Kiai Muntaha Wonosobo, Kiai Yusuf Purwakarta, Kiai Muta’ad Cirebon, Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo bersama muridnya Kiai Abdul Manan Pacitan adalah sisa pasukan perang Diponegoro yang menjadi jejaring ulama Nusantara baik lokal maupun internasional.

Tidak ada yang instan dan gratis dari proses kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Bahwa setelah perang Diponegoro, masih ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan kalangan pesantren demi bangsa Indonesia. Dan hingga sekarang, para santri tidak pernah meminta dicatat dalam sejarah.

Bahwa kemerdekaan ini merupakan hasil karya seluruh bangsa Indonesia, dan ulama-santri juga ikut andil. Buku inilah yang mengupas secara rinci mengenai andilnya ulama santri dalam meraih kemerdekaan.

Dan hari ini yang begitu penting adalah mempertahankan kemerdekaan dengan semangat kerukunan dan persatuan. Jadi bangsa Indonesia tidak boleh berpecah belah. Salah satu model keagamaan yang patut dan teruji menjaga keutuhan bangsa adalah Islam Nusantara.

Milal menyebutkan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam khas Indonesia yang menggabungkan Islam teologis dengab nilai tradisi lokal, budaya dan adat istiadat Indonesia. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia.

Islam Nusantara tidak ekstrim mengganti adzan dengan bahasa Indonesia sebagaimana pernah terjadi di Turki pada era Mustafa Kemal Attaturk. Islam Nusantara mengikuti gaya Walisongo  dalam membentuk kultur Islam. Para wali yang ahli syariah dan tasawwuf mengembangkan Islam ramah yang bersifat kultural.

Inilah pintu masuk para ulama Nusantara dalam memahami kaidah fiqh (al’adah al muhakkamah, adat menjadi kebiasaan hukum). Dan dari para wali ini lahirlah lembaga pendidikan pesantren dan jejaring ulama Nusantara.

Islam Nusantara menegaskan pentingnya dialektika tradisi dan sejarah. Maka pesantren mengenal sanad ilmu (jalur keilmuan) dengan mencari ilmu lewat guru dan ilmunya bersambung hingga Rasulullah Saw. Islam Nusantara sangat selektif dalam ranah keilmuan dan sangat objektif soal kebudayaan.

Dalam meraih kemerdekaan Indonesia juga demikian, para ulama bersatupadu menata keilmuan dengan membakar santri agar bela negara. Dua tokoh Syarikat Islam yang berdiri 1912 bernama Haji Samanhudi adalah santri Pesantren Buntet Cirebon dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah keturunan Kiai Hasan Besari (Pesantren Tegalsari Ponorogo)

Usaha kemerdekaan Indonesia juga bukan isapan jempol, tapi penuh dengan tirakatan dan riyadlah para Kiai. Kiai Chabullah Said (ayah KH Wahab Chasbullah). Ramalan kemerdekaan sejati sudah ditulis di Menara Masjid Pondok Induk dan baru boleh dibuka tahun 1948 setelah Kiai Chasbullah wafat. Saat dibuka ternyata ada tulisan empat huruf: ha, ra, ta dan min. Ternyata itu berbunyi hurrun tammun, kemerdekaan yang sempurna. Dan memang benar 1948 Indonesia sudah diakui merdeka oleh dunia dan agresi Belanda dipukul mundur.

Kiai Abdus Syakur Senori Tuban, temen seperjuangan KH Hasyim Asyari, yang meninggal 1940 sudah meramalkan bahwa Indonesia akan kedatangan Jepang dan akan merdeka tahun 1945 M/1361 H lewat syiir karangannya. Itulah contoh dari dua Kiai yang mempunyai ketajaman dalam melihat Indonesia di masa kemerdekaan. Dan masih banyak Kiai yang pro nasionalisme dan kemerdekaan.

Sehingga para santri di hari ini tidak akan bisa menjadikan Indonesia sebagai tanah pertarungan dan dipecah belah. Betapa usaha para ulama mendamaikan Indonesia dengan segala potensinya lewat ilmu pesantren dan hubbul wathan (cinta tanah air). Kiai Khalil Bangkalan dan Kiai Abdul Jamil dikenal sebagai pencetak laskah santri yang cinta ilmu dan kuat mengusir koloni. Bahkan ada yang namanya “Fatwa Ciremai” yang dibuat di Puncak Gunung Ciremai antara Kiai Abdul Jamil, Kiai Sholeh Banda, Kiai Said Gedongan dan Kiai Sholeh Darat. Mereke menolak usaha kolonisasi pesantren melalui politil penghulu dan mengharamkan umat Islam menjadi pegawai Belanda dan meniru pakaian Belanda.

Itulah wajah Islam Nusantara yang ada hingga sekarang dipertahankan para ulama santri. Setiap Kiai dan santri selalu sambung menyambung sanad ilmunya dan jaringannya.

Begitu indah dan luar biasa buku karya senior dan guru saya Zainul Milal Bizawie berjudul MASTERPIECE ISLAM NUSANTARA Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) ini.

Saya belum punya buku ini, tapi Promotor disertasiku Prof Abdurrahman Masud meminjami buku ini untuk kubaca. Dan kata Profesor sejarah dan kebudayaan ini, buku karya Milal sangat istimewa karena dia adalah santri tulen dan bekerja di unit penting.

Milal menegaskan bahwa: “Pesan Rahmatan lil ‘alamin menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina buka menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat bukan menghujay dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan”.

Jika kita santri, maka buku ini menjadi wajib untuk dibaca. Jika kita adalah bangsa Indonesia yang cinta perdamaian, maka buku ini merupakan sejarah nyata kedamaian negeri Indonesia.

12 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *