Tangsel, Jaringansantri.com- Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang berwajah  integralistik, yaitu memiliki pandangan bahwa  antara agama dan negara itu bersatu. Namun dalam praktiknya, ternyata tidak murni berdasarkan syariat agama  karena tetap dipengaruhi oleh adat istiadat. Begitulah yang diungkap oleh Dr. Khamami Zada pada kajian rutinan INC, Sabtu (9/9) di Islam Nusantara Center.

Sebelum menjelaskan mengenai wajah siyasah Kerajaan Aceh, ia juga menguraikan apa itu integralistik, sekularistik dan interseksion.

“Integralistik yaitu pandangan bahwa agama dan negara adalah bersatu, sekularistik merupakan pandangan bahwa agama dan negara terpisah.  Sedangkan interseksion ialah  pandangan yang mengungkapkan bahwa Islam mengatur masalah keakhiratan dan keduniaan meskipun hanya dalam prinsip umum saja. Maka, pandangan ketiga ini bisa disebut sebagai penerapan nilai agama dalam sebuah negara tanpa ada penyatuan secara utuh,” ujar pria yang juga Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

“Bukti pemberlakuan hukum syariat di kerajaan Aceh Darussalam  dapat dilihat dari Qanun Meukuta Alam,” imbuhnya.

Qanun Meukuta Alam awalnya adalah sebuah undang-undang dasar yang disusun oleh Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda, seiring berjalannya waktu lantas disebut dengan Qanun Meukuta Alam.

“Sultan Alauddin al-Qahhar pernah melaksanakan qishas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas kasus Raja Lingga ke –16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria,” ungkapnya dalam memberikan contoh.

Penggunaan kerbau sebagai binatang pengganti onta merupakan wujud dari pengaruh adat, budaya dan lingkungan yang tentunya berbeda dengan Arab Saudi.

Khamami juga menambahkan, selain adanya campuran adat, penetapan hukum di kerajaan Aceh juga dipengaruhi oleh kepentingan penguasa. Maka dalam kasus pembunuhan, pemberlakuan hukumannya pun berbeda-beda. Ia memberikan contoh lagi yang disebutkan oleh Denys Lombard, bahwa penerapan hukum  jinayah masa Sultan Iskandar Muda dengan pukulan rotan yang dapat dihindari dengan uang emas. Jika kesalahannya lebih besar, maka orang tersebut dihukum dengan menghilangkan sebagian anggota tubuhnya seperti mata, hidung, kaki dan lainnya.

Ia juga menyinggung mengenai Indonesia sekarang. Indonesia yang memiliki Pancasila tidak bisa disebut sebagai negara yang bersifat integralistik dengan agama. Melainkan bersifat interseksion, yang mana negara mengatur undang-undang dengan pengaruh nilai-nilai agama. Tanpa menggunakan seluruh hukum agama.  (Zainal Abidin)

 

 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *