Oleh Fauzan Hakim, Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma
Relevansi antara Islam dan kebangsaan ini memiliki perdebatan yang tidak ada habisnya. Sejak dahulu jauh sebelum Indonesia merdeka hingga kini pun masih menjadi perbincangan. Menurut gusdur ada tiga macam dalam menanggapi relevansi Islam dengan Negara, yaitu respon intragtive, respon fakultif, dan respon konfrontatif. Respon integratif diartikan sebagai Islam yang sama sekali tidak dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan agama. Dari respon integratif ini para pendiri bangsa memilih sikap ini karena inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam bukan sekedar hanya dijadikan formalitas melainkan menjadikan Islam yang memiliki fungsi nyata dalam kehidupan umatnya.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujurat (49) ayat 13)
Surat tersebut ditujukan kepada manusia sebagai prinsip dasar hubungan antar manusia. Tujuan pada surat tersebut yaitu agar semua manusia saling mengenal dengan sesama manusia dan saling memberikan bantuan dan saling bergotong royong. Hubungan antara manusia ini dibutuhkan untuk saling mengambil pengalaman dan pembelajaran dari orang lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Kebangsaan dan keislaman merupakan dua tata nilai yang membentuk dan membangun manusia nusantara. Maka warga negara Indonesia yang utuh bukan hanya memiliki persepsi kebangsaan yang kuat tetapi tidak memiliki nilai agama. Juga bukan manusia yang memiliki pemahaman pada keagamaan yang kuat tetapi tidak mau tahu tentang keadaan bangsa. Seorang warga negara Indonesia yang kuat adalah mereka yang mencintai agamanya dengan tulus dan berikhtiar dan berkomitmen dalam membangun bangsanya dengan sepenuh hati. Nabi Muhammad SAW pada 15 abad yang lalu telah membantu sebuah negara yang berdasarkan konstitusi tamadun atau ke beradaban. Inilah yang diambil oleh para ulama-ulama.
Keberagaman agama dan budaya sesungguhnya merupakan modal bagi kita untuk membangun bangsa, namun jika keadaan ini tidak di kelola dengan baik kemungkinan akan menimbulkan gesekan sosial bahkan menjadikan ancaman bangsa dalam persatuan dan kesatuan. Seperti tindakan terorisme yang muncul akibat tindakan radikalisme, perkelahian antar suku. Semakin tinggi kemajemukan semakin besar pula risiko yang dimiliki, sehingga semakin tingginya pula bagi negara untuk membangun persatuan bagi bangsa Indonesia. Dalam kemajemukan dalam beragama, bukan hanya setiap orang harus mengakui keberagaman agama yang dianut umat manusia, mereka yang tidak beragama pula harus mendapatkan tempat hidup di negeri ini.
Semangat persatuan bangsa pun diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabat. Betapa mereka begitu mencintai Makkah sebagai tanah leluhur, tumpah darah, dan kampung halaman. Bahkan ketika beliau terpaksa meninggalkan Makkah, rasa cinta beliau bergejolak hingga membuat beliau mengucap sumpah, andaikata penduduk Makkah tidak mengusir beliau ketika itu, tentu beliau takkan meninggalkan tempat kelahirannya. Sikap yang ditunjukkan Rasulullah inilah yang kini kita kenal sebagai semangat nasionalisme.
Persatuan atas dasar cinta tanah air dan kesamaan tumpah darah, memang sekilas meniadakan semangat persatuaan atas dasar kesamaan agama, Islam. Namun bukan itu sebenarnya. Dalam konsep persaudaraan, Islam menghadirkan ukhuwwah basyariyyah, persaudaraan antar manusia karena berasal dari leluhur yang sama, ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan dengan semangat nasional, dan ukhuwwah islamiyyah sebagai semangat pemersatu sesama muslim. Yang terakhir ini pun telah ditunjukkan dengan berkumpulnya negara-negara Islam dalam satu wadah OKI, dan saling bekerjasama dalam berbagai bidang.
Dalam konteks keindonesiaan, unsur-unsur pembentuk bangsa diatas, juga menjadi dasar pembentuk negara ini. Lebih istimewa lagi, Indonesia mampu membentuk kedaulatan dengan keragaman suku bangsa, ras, agama dan bahasa. Maka tak heran bila para pembangun bangsa sepakat menjadikan bhinneka tunggal ika sebagai bentuk reprsentasi sikap kebangsaan Indonesia.
Agama merupakan cinta damai dan perbedaan merupakan cinta damai. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 256 dijelaskan
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
No responses yet