Diketik Ulang Sebagai Bahan Renungan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M) sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).

Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan dan sains yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di dunia Islam zaman klasik, seperti Aleksandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria), dan Bactra (Persia). Di sana memang telah berkembang pemikiran rasional Yunani.

Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak dikenal agama samawi, maka pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada Islam zaman klasik, pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.

Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam zaman klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Filsafat dan sains berkembang pesat di dunia Islam zaman klasik ini di samping ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis, akidah, ibadah, muamalah, tasawuf, dan sebagainya. Perkembangan yang pesat ini bukan hanya di dunia Islam bagian timur yang berpusat di Baghdad, tetapi juga di dunia Islam bagian barat, yakni Andalusia (Spayol) dengan kedua kotanya; Cordoba dan Sevilla.

Di zaman Islam klasik, Eropa sedang berada pada zaman pertengahan yang terbelakang. Tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa dari Italia, Prancis, Inggris, dan lain-lain, berdatangan ke Andalusia untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembang dalam Islam. Kemudian mereka pulang ke tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam mereka terjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Melalui mereka, pemikiran rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya dibawa ke Eropa, tetapi disana menghadapi tantangan dari Gereja. Pertentangan itu membuat ulama sains dan filsafat di Eropa melepaskan diri dari Gereja dan pemikiran rasional di sana berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran rasional di Eropa pada zaman Renaisans dan zaman modern kembali menjadi sekular seperti zaman Yunani sebelumnya. Pemikiran rasional sekular itu membawa kemajuan pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini.

Ketika pemikiran rasional Islam pindah ke Eropa dan berkembang di sana, di dunia Islam zaman pertengahan berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional tersebut. Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada al-Qur’an dan hadis, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulama zaman pertengahan amat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya sains dan filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama, tidak berkembang di dunia Islam zaman pertengahan. Filsafat dan sains malahan hilang dari peredaran. Ini bertentangan sekali dengan keadaan Eropa zaman modern dimana, seperti telah disinggung di atas, filsafat dan sains amat pesat berkembang dan jauh melampaui capaian dunia Islam.

Ketika umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan Barat pada abad 18 M, mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar dari mereka pada abad 12 dan 13 telah begitu maju, bahkan mengalahkan mereka dalam peperangan-peperangan seperti yang terjadi antra Kerajaan Turki Utsmani dan Eropa Timur.

Hal ini membuat ulama-ulama abad 19 merenungkan apa yang perlu dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali sebagaimana umat Islam zaman klasik dulu. Maka lahirlah pembaharuan Islam di Mesir, seperti al-Thahthawi, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin al-Afghani. Di Turki dengan tokoh-tokohnya seperti Mehmet Sedik Rifat, Nemik Kamal, dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali, dan Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketinggalan itu umat Islam harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman Islam klasik.

Jakarta, 16 Juni 1994

_______________________

Sumber; Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *