Categories:

Berdasarkan hasil dari seminar masuknya Islam di Indonesia (Sumatera) diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia (Sumatera) pada abad pertama hijriah melalui para pedagang. Artinya, agama Islam masuk ke Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Arab. Hal ini didasarkan bahwa jauh sebelum Islam lahir telah ada kontak perdagangan antara Indonesia dan Arab.

Sedangkan Islam sebagai ajaran dan komunitas sudah berkembang dan dianut oleh masyarakat Indonesia pada abad ke-13Walau pun demikian pada abad ke-7 telah ditemukan situs kerajaan Islam tertua di Pereulak (Aceh) dan beberapa situs lainnya yang menunjukkan bahwa sebelum abad ke-13 Islam telah ada dan berkembang di Indonesia.

Adapun jalur masuk dan berkembangnya Islam di bumi Nusantara melalui para pedagang dan kaum sufi. Melalui kontak perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, atau China lah Islam masuk ke Indonesia. Di antara rombongan pedagang, banyak para Sufi yang ikut dalam rombongan untuk berdakwah.

Wajah Islam Indonesia yang sejuk dan akomodatif dengan tradisi lokal melalui akulturasi yang damai adalah karakteristik ajaran yang dikembangkan oleh para sufi. Mereka bergaul, mempelajari setiap tradisi, dan menambahkan dengan unsur-unsur Islam.

Pada periode selanjutnya, di Sumatera muncul ulama-ulama yang memiliki jaringan ke ulama dunia. Diantaranya Hamzah Fansuri (Wafat 1560), Nuruddin Arraniri dari Aceh. Syams Al-Din Al-Sumaterani, Abdussorhad Al-Palembangi, Syekh Abdurrauf As-Sinkili lahir tahun 1024 H/ 1615 M, seorang penggiat tarekat (jalan sufi) yang menurut Azra (1995) sebagai ulama pembuka jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Syaikh Burhanuddin Ulakan (1116 H 19/20 Juni 1704).

Para ulama ini dalam menyebarkan ajaran Islam melalui jalan damai dan membaur dengan tradisi, tanpa kehilangan spirit agama. Melalui akulturasi yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam menjadikan ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Bukti adanya akulturasi dapat dilihat dari bangunan tempat ibadah yang mencerminkan keyakinan sebelumnya, lokalitas, dan Islam sekaligus.

Agama (Islam) dan kebudayaan (tradisi) dalam perjalanannya selalu saling pengaruh mempengaruhi. Adakalanya agama mempengaruhi tradisi dan di lain tempat tradisi mempengaruhi agama. Hal ini karena di dalarn agama dan tradisi terdapat sistim nilai dan simbol. Dua hal tersebut yang membuat akulturasi berjalan, dan melalui akulturasi tersebut agama menjadi kaya warna dan berkembang selaras dengan pemahaman masyarakatnya.

Agama dan tradisi sebagai konsepsi terhadap konstruksi realitas menjelaskan struktur normatif yang dianut oleh penyokongnya. Agama dan tradisi adalah penjelas terhadap dunia sekitar yang dipahaminya. Bila agama memandang bahwa alam adalah ciptaan Tuhan dan cerminan atas-Nya, maka tradisi memandang sebagai sesuatu yang patut dikeramatkan. Bila agama memandang harimau sebagai ciptaan Tuhan yang patut dihormati dan memiliki hak hidup yang sama, maka tradisi memandang harimau sebagai penguasa hutan yang harus dihormati.

Mempertimbangkan bahwa masyarakat Indonesia kaya akan tradisi dan memiliki interaksi yang intens dengan lingkungan, maka para ulama penyebar agama Islam di Sumatera dan Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan akulturasi. Agama masuk untuk memberi warna pada ranah tradisi, begitupun tradisi masuk menjadi bagian dari ajaran agama.

Model akulturasi yang diterapkan oleh para penyebar Islam periode awal di Sumatera ternyata berhasil mendamaikan tradisi dan Islam. Tampa harus menghilangkan keduanya. Akulturasi tersebut menjadikan dua hal (agama dan tradisi) menjacli satu, atau dalam bahasa akademik disebut sebagai Islam Pribumi.

Gagasan Islam Pribumi pertama kali dilontarkan oleh (Wahid 2001) sebagai penegasan hubungan yang erat antara kelslaman dan keindonesiaan. Gagasan ini pada awalnya dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normative dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual.

Dalam Islam Pribumi, Islam sebagai ajaran yang datang dari ”langit” berinteraksi dengan tradisi yang berasal dari manusia sebagai pengalaman hidup, tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Menurut Wahid (2001;111)

Inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.

Dalam sejarahnya, para ulama penyebar Islam telah mencoba mengadopsi budaya lokal secara terpilih sebagai perspektif Islam. Dengan seleksi ini banyak dari budaya lokal, seperti pandangan hidup, adat-istiadat, kesenian, dan lain sebagainya tidak dihilangkan melainkan diberikan nafas Islam. Maka diberbagai daerah muncul tradisi baru yang berbeda namun menampilkan wajah Islam. Akulturasi ini tidak menafikan keragaman tradisi.

Para Ulama di Sumatera berhasil dalam mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan. Tradisi yang telah ada di daerah tersebut bila sesuai dengan nilai Islam maka dipertahankan, tidak dirubah supaya sesuai dengan adat yang baru. Nilai-nilai Islam meresap dan mempengaruhi struktur budaya masyarakat, bukan mengganti dengan tradisi yang baru.

Berbagai ritual yang umum dilakukan oleh masyarakat, seperti tahlilan dan berbagai upacara adat lainnya sebagai bentuk simbol yang dapat mengungkap makna subyektif atas pemahaman masyarakat terhadap dunia adi-kodrati. Melalui akulturasi atau Pribumisasi Islam maka ajaran Islam akan selalu kontekstual, toleran, menghargai tradisi, progresif, dan membebaskan yang meneropong realitas keindonesiaan dan mendialogkannya dengan berbagai isu yang muncul di tengah masyarakat (Rahmat, 2003)

Dikutip dari Buku “Silang Budaya Islam-Melayu : Dinamika Masyarakat Melayu Jambi”. hlm. 174-177.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *