Pada suatu wakt ketika saya takziyah atas wafatnya Ibu Nyai Hj Nasi’ah (istri KH Syuja’i Masduqi, pengasuh Ponpes Assalafiyyah Mlangi Yogyakarta), ibunda Gus Irwan Masduqi.

Ribuan orang datang. Dari banyak penjuru, latar belakang dan asal-usul. Dalam momen itu, ilmu dan ketulusan menjadi salah satu daya magnetik yang luar biasa dahsyat untuk mengumpulkan orang. Bukan hanya halaman pondok, bahkan jalan-jalan di sekitarnya dan di seputar masjid serta makam dipenuhi pelayat.

Selalu, saya menemukan peristiwa serupa ketika hamba Allah yang mulia dan dimuliakan karena ilmu, amal dan ketulusannya, pulang ke keabadian. Dengan kematian, kita diingatkan bahwa, nilai dalam hidup ditentukan dari dalam bukan dari luar diri kita.

Dan melewati FB, saya dikabari Kang Mas Ahmad Ismail Hattat, bahwa pena hadiah untuk saya telah usai dikerjakan. Sebetulnya saya tak pantas dapat hadiah pena untuk menulis aksara Arab indah, apalagi dari seorang yang prigel dan telah berhasil menyatukan napas dan olah batinnya dengan gerakan pena dan tetesan tinta, sehingga membentuk formula grafis aksara Arab yang indah. Saya hanyalah orang yang mencintai kaligrafi Arab yang merengek minta diasahkan pena kepadanya.

Lantas, apa kaitan kematian dengan pena? Begini. Di usia yang telah berkepala 4, tiba-tiba saya teringat hobi di masa muda: mengguratkan pena, melahirkan keindahan aksara Arab. Meski bukan ahli, saya meyakini bahwa mengguratkan pena dan membentuk kalimat dan ayat Allah yang indah adalah manifestasi keuletan, kesabaran, dan ritme napas dan hati yang stabil. Sungguh. Anda akan sulit melahirkan guratan yang indah bila tak punya prasyarat2 itu.

Ketika mengajar di kelas, saya lebih suka pakai papan tulis dan spidol. Membuat bagan, peta dan tak terkecuali menulis aksara Arab/ayat Alquran. Sebenarnya bikin juga power point, tapi jarang saya tampilkan kalau tak terpaksa. Misalnya, menampilkan data  gambar dan audio. Saya sering berkelakar di depan mahasiswa, jangan2 saya banyak bikin point2 tapi tak ada powernya. Apalagi kalau listrik mati. Hehehe.

Kembali soal pena. Di era teknologi digital, perangkat smartphone, laptop, netbook, dan  semacamnya, telah membantu kita dalam menyelesaikan banyak hal, termasuk menulis. Di era tahun 70-an anak2 sekolah masih memakai sabak dan kertas merang untuk mencatat hal penting dan pelajaran di kelas. Dua puluh tahun kemudian, dengan peralatan yang didukung teknologi listrik telah mengubah tradisi dan perilaku. Kecepatan, karena cukup menekan tombol yang sama di bidang persegi empat bernama laptop, ternyata pelan-pelan telah mematikan keprigelan jari2 tangan kita untuk melahirkan guratan2 yang indah.

Tanpa sadar, kita dikendalikan dengan cara yang serba instan dan serba tiba-tiba. Kesabaran, ketelitian, kewaspadaan, pengaturan ruang, dan keakuratan, pelan2 mulai luntur. Kesadaran yang terbangun adalah  serba instans dan serba tiba-tiba.

Selain itu, kita juga akan semakin jauh dari filosofi aksara yang kita gurat. Tak lagi menyadari, misalnya, bahwa huruf alif adalah simbol konsistensi, keteguhan bertauhid, dan kelurusan iman. Huruf ba’ adalah kesadaran untuk menjadi penampang, pemangku, atau perahu bagi siapa saja yang ingin kembali pada Yang Maha Sejati.

Nah, politik dan politisi kita tampaknya juga sudah mulai jauh dari makna pena yang saya kisahkan tadi. Kita dibesarkan dalam moralitas politik yang serba tiba-tiba: tiba-tiba murah senyum, tiba-tiba silaturahmi, tiba-tiba puja puji, berceramah di kampus, tempat ibadah, dan di kampung kumuh. Juga tiba-tiba sakit. Tiba-tiba lupa.

Pun juga, tiba-tiba ada yang kritis, tiba-tiba garang, padahal tanggung jawabnya sendiri tak ditunaikan dengan baik, hanya karena ingin menaikkan tokoh dukungan dan menurunkan citra lawan.

Bahkan, tiba-tiba ada penyerangan dan caci maki pada tokoh agama. Mirip seperti kisah kerbau Danu.

Hidup itu ibarat pena. Keindahan aksara kehidupan yang lahir dari guratan dan tetesan tinta, ditentukan olah batin dan olah rasa yang menggerakkannya. Sayangnya, politisi kita lebih suka mengajari kita soal batang pena ketimbang keabadian yang dihasilkannya.

Andai saja, gayahnya adalah bukan kekuasaan dan berkuasa belaka, tapi pelayanan yang dihasilkan dan diberikan, sungguh, seperti kewafatan Ibu Nyai Hj. Nasi’ah, berduyun-duyun orang datang, tanpa perlu undangan, apalagi recehan. Sayangnya, masyarakat kita mudah dijangkiti virus LUPA dan politik tak lebih sebagai pesta hasrat berkuasa. []

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *