Categories:

Ini adalah Manuskrip Or. 5594. Manuskrip ini menjadi salah satu dasar bagi A.H. Johns dalam The Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Rujukan lainnya adalah sebuah manuskrip di British Museum. Manuskrip kita ini mengabadikan Suluk Tuhfah dalam tembang macapat dari kitab Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, seorang guru tarekat di Mekah abad 17.

Jika kita membandingkan manuskrip ini dengan hasil transliterasi dan terjemahan A.H. Johns, maka kita lihat bahwa banyak bagian dari Manuskrip ini tidak dimasukkan dalam kajian Johns. Misalnya pembukaan ini. Johns sama sekali tidak merujuk ke manuskrip ini. Padahal di sini ada hal penting terkait tujuan penggubahan tembang macapat Tuhfah, yaitu agar menjadi media dakwah yang mudah diterima masyarakat. Serta agar ajarannya  masuk ke hati sanubari para pendengar, pembaca, dan pelantun tembang ini.

Catatan lainnya adalah Johns seringkali tidak bisa menangkap nuansa bahasa Jawa. Kata “sepi”, misalnya, yang dalam puisi Jawa ini digunakan untuk menerangkan martabat pertama, la ta’ayun, secara keliru dia terjemahkan dengan “silence”, ketiadaan suara. Padahal dalam konteks ini, “sepi” adalah ketiadaan wujud. Di Jawa modern, kita masih biasa menggunakan kata sepi untuk ketiadaan orang. “Pasare kog sepi?” Artinya di pasar tidak ada kerumunan orang sehingga tidak ada suara bising yang biasa ada di pasar.

Betapapun, kita bisa menarik manfaat atas kajian Johns bahwa  tembang macapat ini adalah karya seorang yang telah melalui pengembaraan keilmuan yang luas. Meski disayangkan bahwa dia tidak secara terang-terangan menyebutkan bahwa ini adalah karya kiai yang tumbuh dari tradisi santri lelana ke berbagai pesantren. Hal ini demikian karena mengingat kitab Arab Tuhfatul Mursalah dan syarahnya dikaji di pesantren-pesantren di Nusantara dengan bukti manuskripnya yang tersebar yang disertai makna gandul baik dalam bahasa melayu maupun jawa (beberapa manuskripnya masih bisa ditemui di PNRI).

Hasil penting kajian Johns lainnya adalah dalam Suluk Tuhfah, kiai penulisnya memasukkan intisari ajaran dari beragam ceruk keilmuan, dari tradisi yang hidup di Jawa. Pengarang merujuk kepada simbolisme Wishnu-Krishna, ajaran Al-Haqiqah al-Muwaffiqah lisy Syariah,  Daqaiqul Huruf, dan Asrarul Arifin. Hebatnya, semua perujukan ini, menurut Johns, dilakukan melalui ingatan, tradisi yang terus hidup pesantren.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ucapan Kiai Said Aqil Siraj tentang beragama secara total dan berbudaya secara maksimal bukanlah sesuatu yang baru. Dia menjadi sikap yang diambil dari banyak kiai pesantren kita sejak dulu. Mereka adalah yang mengembangkan kebudayaan macapat di Jawa. Menjadi Islam adalah sekaligus secara utuh menghayati kehadiran diri di Jawa, Madura, Sunda, dan belahan bumi Nusantara lainnya.  Bukti ini akan berbicara kepada mereka yang menganggap ide para wali adalah pencipta tembang macapat hanyalah ucapan kosong (asaathirul awwalin) yang di dasarkan qiila wa qaala. Atau lebih vulgar lagi mereka yang menganggap Islam dan ekspresi Kebudayaan daerah itu layaknya air dan minyak.
Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *