Sudah menjadi kelaziman ulama-ulama terkemuka mempunyai wirid tertentu, selain mengamalkan aurad thariqat. Adakalanya wirid itu berupa zikir-zikir ma’tsur, do’a-do’a yang berasal dari atsar ulama shalihin, hizib, ratib, dan lain-lainnya.

Di Minangkabau, sudah menjadi kebiasaan bahwa ulama-ulama mengajarkan wirid-wirid tertentu kepada muridnya untuk menjadi amalan. Di samping mengajarkan thariqat sebagai pegangan, mereka bahkan juga menulis kitab-kitab khusus mengenai wirid yang dijadikan ijazah kepada murid-murid. Di antara ulama yang membukukan wirid-wirid tersebut antara lain Syaikh Ahmad bin Abdullatif Baruahgunuang (Suliki) menulis “Kitab Zikir dan Do’a”, Syaikh Muhammad Salim Bayur Maninjau (w. 1938) menulis Kitab Bacaan Setelah Shalat, Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus (w. 1957) menulis kitab Tsabitul Qulub dalam beberapa jilid, Syaikh Kanis Tuanku Tuah (w. 1989) menulis “Tahsilul Hifzh wal hamil”, dan lain-lainnya.

Dua hari yang lalu saya dikirimi oleh Buya Aldomi, salah seorang tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang sekaligus kandidat doktor tafsir pada STIQ Jakarta, sebuah kitab yang berjudul “Sabilus Salamah fi-Wird Sayyidil Ummah” yang disusun oleh Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuli, salah seorang pendiri PERTI. Tentunya ini menambah khazanah karya-karya ulama Minangkabau terkait wirid tadi. Kita mengenal Syaikh Sulaiman Arrasuli sebagai mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang kuat mengamalkan wirid. Bekas amalannya itu berbekas dalam kehidupannya dan perjuangannya.

Lihatlah madrasah-madrasah PERTI itu! Bukanlah itu hasil wirid para maulana kita terdahulu?!

Syukran Jazilan, Buya Aldomi.


Di tengah wabah yang tengah menjadi buah bibir saat ini, maka menjadikan wirid sebagai “penguat jiwa” merupakan hal yang tepat. Dan ini memang telah diajarkan oleh ulama-ulama shalihin di masa lampau. Beruntung sekali orang-orang yang telah diajarkan untuk mendawamkan wirid di surau.

Bagaimana zhahir akan tenang menghadapi kehendak alam, bila tak ada warid dalam hati. Bagaimana pula warid akan datang, bila wirid tidak terpatri. Bila pula masanya dzuq dianggap melangit, padahal lidah jarang melantunkan wirid.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *