oleh : Ali Romdhoni*
Kitab Babad Tanah Djawi menerangkan, Prawoto (nama tempat) sudah menjadi wilayah yang penting sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa Kesultanan Demak (1478-1549), terutama ketika musim hujan datang, Prawoto menjadi kediaman (istana) sultan, dan dari Prawoto pula Sultan Demak mengendalikan pemerintahan (jumeneng nata). Buku babon tentang sejarah para penguasa dan kerajaan di Pulau Jawa yang ditulis tahun 1700-an itu juga menyebut Prawoto sebagai “pesanggerahan”.
Serat Centhini (1814), yang ditulis hampir seratus tahun setelah Babad Tanah Djawi, bahkan lebih jelas lagi dalam menerangkan Prawoto. Serat Centhini misalnya menyebut Prawoto sebagai tempat yang di dalamnya terdapat keraton, kedaton, dan seorang susuhunan yang dihormati. Tidak hanya itu, sang tokoh yang menjadi subjek dalam Serat Centhini diceritakan melakukan perjalanan spiritual dari bekas pusat kerajaan Majapahit hingga sampai di Prawoto dan menyaksikan Istana Prawoto.
J. DE GRAAF DALAM BUKU AWAL KEBANGKITAN MATARAM: MASA PEMERINTAHAN SENOPATI KEMUDIAN MEMASTIKAN, PRAWOTO LEBIH DARI SEKEDAR TEMPAT TINGGAL BIASA, TETAPI LEBIH SEBAGAI ISTANA PARA SULTAN DEMAK. BAGI GRAAF, DI PRAWOTO PADA SAAT ITU JUGA BERDIRI KERAJAAN DEMAK (GRAAF, 2001: 31).
Sementara itu, kaum tua di Desa Prawoto (Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati) saat ini mewarisi cerita lama, bahwa sebelum Masjid Agung Demak dibangun oleh para wali penyebar agama Islam (Walisongo) di bumi Jawa terlebih dahulu mereka ber-khalwat (bermunajat dan berdoa kepada Tuhan, meminta pertolongan dan petunjuk) di Masjid Wali Kauman di Desa Prawoto.
Setelah beratus-ratus tahun, kini yang tersisa dari nama besar Prawoto hanya sebagai nama desa di Pati, Jawa Tengah. Tepatnya, Prawoto berada di sebelah barat daya Kabupaten Pati. Dari pusat kota Kabupaten Pati, Prawoto memerlukan jarak tempuh sekitar 38 kilometer. Oleh masyarakat setempat, Prawoto disebut sebagai bumi telon, karena titik letaknya yang diapit oleh tiga wilayah: Grobogan di sebelah selatan, Kudus di sebelah barat dan utaranya, serta Pati di sebelah timur laut.
Nama pesohor yang identik dengan Desa Prawoto adalah Sunan Prawoto, putera dari Sultan Demak ke-3 (Pangeran Trenggono). Banyak cerita yang hidup di tengah masyarakat Prawoto dihubungkan dengan sang tokoh, Sunan Prawoto. Mulai dari ketokohannya sebagai wali (sunan), sebagai Sutan Demak ke-4, hingga istananya yang berada di wilayah itu.
Situs di Prawoto dan Penelitian Jejak Kesultanan Demak
Sayangnya, hingga saat ini Prawoto belum menjadi perhatian para peneliti sejarah, terutama dalam hubungannya dengan keberadaan bekas pusat Kesultanan Demak yang masih diselimuti “misteri”. Karena pertimbangan inilah, bagi saya, mengangkat keberadaan jejak kerajaan pada masa lalu di Prawoto menjadi sangat penting. Terlebih lagi ketika dihubungkan dengan kenyataan bahwa di sekitar alun-alun Kota Demak yang sekarang ini, yang diduga dulunya sebagai pusat keberadaan keraton pada masa Kesultanan Demak ternyata terlalu sulit ditemukan adanya sisa-sisa peninggalan sebuah bangunan keraton.
Berdasarkan pemetaan terintegrasi kepurbakalaan daerah Demak, ternyata sulit menentukan lokasi bekas bangunan Kesultanan Demak (Ashadi, 2006: 49). Dalam kebuntuan proses penelusuran keberadaan bekas pusat Kesultanan Demak yang demikian, di Desa Prawoto justru menyimpan keberadaan bukti sejarah dan benda purbakala peninggalan orang-orang terdahulu yang bisa diidentifikasi memiliki kaitan erat dengan Kesultanan Demak (1475–1554).
Tulisan ini ingin menegaskan, bahwa wilayah bernama Prawoto memiliki kelengkapan bukti untuk di-identifikasi sebagai bekas pusat Kesultanan Demak di masa lampau.
Menentukan Pusat Kesultanan Demak
Setidaknya ada empat jenis sumber data yang akan membantu kita untuk memahami bahwa di Prawoto-lah pusat Kesultanan Demak dulu berada. Pertama, di awal, buku babon berupa Babad dan Serat telah menyebutkan keberadaan keterangan yang tertulis dalam kitab Babad dan Serat. Seperti yang telah saya kemukakan, sebuah istana Sultan Demak di Prawoto. Lebih jauh lagi, Prawoto juga digunakan oleh Sultan Demak untuk mengendalikan kekuasaan (jumeneng nata).
Babad Tanah Djawi juga menceritakan bahwa peristiwa “geger kerbau Danu” selama tiga hari tiga malam terjadi di alun-alun Prawoto, dan bukan di alun-alun Demak. Ini menarik dicermati, karena selama ini orang-orang mempercayai bahwa peristiwa “geger kerbau Danu” terjadi di alun-alun Kerajaan Demak. Dan, ketika mendengar kata Demak, yang terbayang di pikiran adalah Demak yang sekarang ini menjadi ibu kota Kabupaten Demak. Di sisi lain, Babad Tanah Djawi dengan jelas menyebut Prawoto sebagai tempat kejadian geger Danu.
Di sini bisa dengan mudah kita pahami, bahwa ketika menyebut Kesultanan Demak maka pusatnya berada di Prawoto. Kemungkinan lain, pusat Kesultanan Demak terdapat di beberapa titik: di sekitar masjid Agung Demak yang sekarang, di Prawoto, dan di Kalinyamat.
Kedua, keberadan benda-benda peninggalan jaman purbakala yang berserakan di Prawoto. Sebenarnya benda-benda berupa batu yang ada di Prawoto tidak sebatas material yang bisa diidentifikasi berhubungan dengan Kesultanan Demak. Di Prawoto juga terdapat benda-benda yang berupa batu alam (hitam). Di antara benda-benda itu juga terdapat Lingga dan Yoni. Ini menunjukkan, sebelum masuk era Kesultanan Demak, di Prawoto telah ada peradaban kuno.
Di Prawoto juga terdapat pintu gerbang yang susunan batunya sudah runtuh karena beberapa hal. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai lawang gapura. Di belakang gapura terdapat sepetak kecil tanah yang mengundak dan diyakini sebagai sitinggil keraton.
Jejak lain adalah tempat pemandian yang dihuni kura-kura yang keramat. Tempat ini bernama geruda. Graaf menghubungkan tempat ini dengan kolam yang sama yang ada di Kotagede, Yogyakarta, yang juga dihuni oleh kura-kura yang tersohor. Pada akhirnya, Graaf berkesimpulan bahwa puing-puing di Prawoto adalah bekas tempat tinggal seorang raja (istana) yang luas.
Di Prawoto juga bisa dijumpai bongkahan batu-bata merah berukuran lebih besar dari ukuran rata-rata yang berserakan di mana-mana. Tempat bernama Pasar Wage, Sumur Bandung dan Kali (sungai) Pepe juga melengkapi jejak kesultanan masa lalu di Prawoto. Nama Sumur Bandung pernah Penulis jumpai di Ciamis, Jawa Barat, ketika Penulis melakukan aktifitas penelitian di sana pada akhir tahun 2012. Sedangkan Kali Pepe juga terdapat di Cirebon.
Bukti lain adalah keberadaan makam-makam kuno di Desa Prawoto yang di-identifikasi masyarakat setempat sebagai tempat penyimpanan jasad tokoh kesohor pada masa lampau. Penunjukkan sebagai makam seorang tokoh didasarkan pada hubungan dekat sang tokoh yang dikuburkan dengan Sunan Prawoto dan Kerajaan Demak. Selain nampak dari namanya, kebesaran sang tokoh yang dikuburkan juga bisa amati dari keunikan batu nisannya.
Selain nama besar Sunan Prawoto, di sana juga terdapat nama tokoh Kiai Ragil. Nama ini disebut dalam Babad Tanah Djawi sebagai Ki Mas Wuragil. Babad Tanah Djawi mengisahkan bahwa Kiai Ageng Selo memiliki tujuh anak. Nomor empat bernama Nyai Ageng Jati. Makam Kiai Ageng Selo berada di wilayah yang berada di sebelah Timur Grobogan sekarang.
Menjadi semakin jelas, Prawoto tempo dulu merupakan pusat pemerintahan berbentuk kerajaan. Bisa berarti titik utama pemerintahan Kerajaan Demak, atau bagian dari kebesaran pemerintahan Demak. Sayangya, fakta ini belum diketahui para peminat sejarah kerajaan di Nusantara.
Diskusi ini menarik untuk diangkat, karena bisa memberi spekulasi yang baru terhadap ‘pertanyaan’ para ilmuwan yang masih terus mencari di mana titik utama pusat pemerintahan Kerajaan Demak.
Ketiga, kondisi geografis Prawoto yang unik, yang memperkuat dugaan bahwa Prawoto layak dipilih menjadi pusat kesultanan. Ini didasari pada kenyataan bahwa titik lokasi yang bisa diduga sebagai bekas bangunan keraton Kesultanan Demak masih menjadi pencarian para ahli. Sebagian dari mereka menduga letak lokasi Keraton Demak ada di kawasan selatan alun-alun Kota Demak yang sekarang.
Namun sebagian ahli lainnya tidak sependapat. Sebab, pada abad ke-15 kawasan Demak masih berupa rawa. Menjadi meragukan bila Raden Patah mendirikan kerajaannya di kawasan yang berupa rawa. Akhirnya tidak aneh jika di kawasan itu tidak ditemukan sekeping pun bekas bangunan kuno yang bisa dicurigai sebagai jejak kerajaan bangunan kerajaan.
Selanjutnya, lebih masuk akal bila Prawoto dimungkinkan sebagai pusat pemerintahan Demak. Alkisah, oleh Sunan Ampel, Fatah diberi petunjuk agar berjalan ke arah barat. Jangan berhenti sebelum mendapatkan hutan bambu (gelagah). Sesampai di lokasi itu, kata Sang Sunan, temukan titik tengah hutan dengan menandai bambo yang berbau harum (wangi). Jadilah tempat itu Gelagah wangi.
Maka sesampainya di Gelagah, Fatah kemudian memegangi dan mencari bau harum dari aroma pohon gelagah (mirip bambo). Dalam bahasa Jawa, Fatah demak-demék (artinya memegangi satu persatu) pohon gelagah. Kelak, tempat ini disebut Demak, yang berasal dari kata ‘demak-demék’ (Abul Fadhal, 2000:32).
Faktanya, kita tidak memperoleh jejak tempat bernama Gelagah di sekitar kawasan Demak yang sekarang. Tetapi di dekat Prawoto, tepatnya sejauh 3 kilometer sebelah barat-laut dari Prawoto, di sana terdapat desa bernama ‘Gelagah Waru’. Mungkinkah nama Gelagah Waru memiliki kaitan dengan ‘Gelagah Wangi’?
POSISI PRAWOTO DI SEBELAH SELATAN GUNUNG MURIA TERPISAH SELAT. PRAWOTO JUGA BERADA DI PUCUK SEGITIGA GUNUNG: MURIA, MERAPI, DAN LAWU. PILIHAN TEMPAT INI MENGINGATKAN KITA PADA LETAK KERATON YOGYAKARTA YANG JUGA BERADA DI ANTARA MERAPI DAN PANTAI SELATAN.
Menarik dicermati di sini, masyarakat di Prawoto hingga saat ini memegang cerita yang diwarisi dari para sesepuh mereka, bahwa musyawarah para wali untuk merancang pendirian Masjid Agung Kesultanan Demak dilakukan di Masjid Kauman Prawoto. Lokasi masjid ini sekarang berada di tengah sawah.
Setelah melihat peristiwa Raden Fatah dalam menemukan tempat bernama Gelagah Wangi, dan memperhatikan fakta bahwa Prawoto saat itu sudah menjadi wilayah yang ramai, cerita tutur musyawarah para wali di Kauman tidak sulit dipahami. Cerita kuno ini justru meneguhkan kesimpulan, bahwa Prawoto diduga sangat kuat menjadi pusat bagi pendirian Kerajaan Demak dan tonggak bagi penyebaran Islam di Nusantara.
Artinya, setelah Raden Fatah menemukan hutan gelagah sebagaimana ditunjukkan Sunan Ampel, selanjutnya dia akan memulai membuka lahan dan membangun pemukiman. Namun karena tempat yang dimaksud masih belum memungkinkan untuk didirikan bangunan, apalagi istana kerajaan, maka Fatah kemudian mencari tempat yang lebih stabil untuk semua rencananya. Pilihannya adalah di Prawoto dengan menjadikan Masjid Kauman Prawoto sebagai tempat berkumpulnya para tokoh sepuh pendukungnya.
Keempat, orang-orang di Prawoto yang umumnya menyimpan cerita lama tentang jejak bangunan keraton yang mulai hancur. Pemahaman yang masyhur di tengah masyarakat Prawoto, keraton itu dibangun dalam waktu semalam. Sisa batu bata merah yang berserakan di beberapa tempat di Prawoto adalah material yang belum digunakan karena matahari keburu terbit di ufuk timur. Artinya, keraton memang akrab di telinga masyarakat Prawoto secara umum.
Batu panjang mirip lesung Jawa (alat menumbuk padi). Di salah satu ujungnya terdapat lubang (sumber: Istana Prawoto, 2018)
Prawoto Kunci dalam Membaca Demak
Dari paragraph-paragraf di atas menjadi jelas, Prawoto adalah wilayah yang sejak lama sudah stabil, baik dari sisi geografis, sosial politik maupun ekonomi. Benda-benda peninggalan yang terbuat dari batu menguatkan dugaan bahwa sejak abad ke-12 sudah ada peradaban manusia di Prawoto. Kemudian pada masa kerajaan Demak, Prawoto menjadi pusat pemerintahan. Para raja Demak mengendalikan politik dan perdagangan dari Prawoto.
Kondisi bumi Prawoto saat ini masih menggambarkan suasana sebagaimana terekam dalam Babad Tanah Djawi dan juga catatan para antropolog dan sejarawan dari Eropa, seperti Graaf. Mengkaji dan memperhatikan Prawoto sangat penting untuk membantu menemukan serpihan sejarah Nusantara yang masih terselubung.
Tulisan ini adalah upaya awal untuk membaca kesejarahan Prawoto di masa yang lalu. Para sejarawan dan pemerhati sejarah Nusantara perlu melihat kembali sejarah Nusantara, dan melibatkan episode Prawoto sebagai bagian yang tidak boleh diabaikan. Wallahu a’lam bishawab
*Dosen Universitas Wahid Hasyim, Semarang /Penulis buku “ISTANA PRAWOTO : Jejak Pusat Kesultanan Demak” penerbit Pustaka Compass
3 Responses