Titik Temu Jalur Sanad dan Jejaring Ulama Tarekat dan Huffat

Besarnya pengaruh tarekat dalam Islamisasi di Indonesia juga didukung dengan adanya temuan atau pendapat bahwa sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7. Namun, Proses Islamisasi Nusantara secara masif baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran tarekat di Timur Tengah. Kemudian dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Belakangan, pada awal abad keempat belas juga lahir Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) di Khurasan dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Tarekat-tarekat ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara, melalui para penyebar agama Islam. Dan mencapai puncaknya pada abad 17-18 M, bersamaan dengan orang-orang Jawi yang naik haji.

Salah satu tokoh tarekat Nusantara, Syaikh Abdul Rauf As-Singkili bisa dikatakan pelopor ulama Nusantara dalam bidang tafsir ditandai karyanya Tarjuman al Mustafid. As Singkili selain sebagai seorang mufassir, juga seorang ahli tarekat yang hafal al Qur’an. Riddel menduga penulisan tafsir ini pada tahun 1675 berdasarkan temuannya atas salinan tertua manuskrip tafsir ini.  Ulama asal Singkel, Aceh dan pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). al Singkil memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam dan Thariqah Syathariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Syaikh Burhanudin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat di Pariaman Sumatera Barat.

Tokoh lain yang hidup semasa dengan al Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah. Sedangkan pada abad 18 tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal Nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu.

Selain tarekat tersebut, muncul ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878 M) yang mengembangkan Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah, yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah (TQN) di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat tarekat ini segera tersebar luas di Nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi sesudahnya yaitu Kyai Abdurrahim Al Bali Kyai Tholhah Kalisapu Cirebon, KH Falak Pagentongan, Cirebon, Kyai Hasbullah bin Muhammad Madura dan Kiai Ibrahim Mranggen (Mufid: 2006, 24).

Murid utama Ahmad Khatib as Sambasi adalah Syaikh Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Bantani (Tanara, Serang, Banten, w. 1879) yang juga memiliki karya bidang tafsir, yaitu Tafsir Marah Labib. Syekh Nawawi dikenal sebagai mahaguru sejati (the great scholar) dari ulama-ulama nusantara berikutnya.  Guru-guru Syekh Nawawi selain Syekh Ahmad Khatib as Sambasi adalah Syekh Abdul Ghani Bima, Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib al hambali, Syekh Yusuf Sumbulawani, dan Syekh Nahrawi. Pada tahun 1860 M Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah Syekh Kholil Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH Abdul Karim dari Banten.

Ulama lainnya yang juga menghasilkan karya lainnya dalam bidang tafsir adalah Syekh Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani yang hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura. Kitab tersebut bernama Tafsir Faidhir Rahman, kandungannya merupakan terjemahan dari tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Kitab ini merupakan terjemahan dari tafsir Al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Jawa di dunia Melayu. Beliau berguru  kepada Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri dan Syekh JamAl-(Mufti Madzhab Hanafi). Adapun murid-muridnya antara lain KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madz-hab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang), KH. Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH. Sya’ban (Ulama Ahli Falak di Semarang), KH. Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watucongol Muntilan, Magelang), KH Munawwir Krapyak, dan lain sebagainya.

Selain itu, berkembang juga Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK). TNK adalah hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Thariqah Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk ke Nusantara melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura di abad 19. TNK semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah tarekat tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga). 

Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya Kiai Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. Ketiga nama terakhir tersebut juga merupakan para huffadz yang memiliki sanad melalui KH Munawwir Krapyak. Tentu saja mereka mengajarkan al Qur’an kepada jamaah dan masyarakatnya melalui pesantren-pesantren yang didirikannya.

Tarekat lainnya yang cukup berkembang adalah Thariqah Syadziliyyah. Tarekat ini diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.  Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan –atau lebih tinggi– dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih.

Ulama Jawa yang berguru Thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram antara lain K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III) Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Watucongol Magelang), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga). Deretan ulama-ulama tersebut selain menjadi seorang mursyid yang besar juga seorang huffadz serta mengajarkan al Qurán di pesantrennya masing-masing.

Bersambung..

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *