Menyimak diaspora ulama dan interkoneksi antara satu dengan lainnya tersebut, dapat terlihat adanya korelasi antara tradisi tarekat atau sufistik dengan tradisi tahfidz dan kajian al Qurán. Ratusan ribu pesantren atau majelis pengajaran Al-Quran tersebar di seluruh penjuru Nusantara yang saling berkaitan dalam jejaring guru-murid. Di Indonesia, saat ini berdiri puluhan ribu tempat pengajaran Al-Quran. Namun hanya sebagian saja yang benar-benar memiliki sanad /ijazah pengajaran Al-Quran. Sebagian lagi tidak memiliki sanad, namun pernah belajar kepada ulama yang memiliki otoritas pengajaran Al-Quran. Ada juga yang dengan niat baik, membuka pengajaran Al-Quran, meski tidak memiliki sanad dan tidak juga pernah berguru kepada orang yang mempunyai sanad.
Urgensi sanad dalam pengajaran al Qur’an adalah sendi utama dalam keterjagaan al Qur’an dan kebersambungan dengan Nabi SAW. Hal ini karena pertama kali al-Qur’an diajarkan dan disampaikan oleh Malaikat Jibril atas perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara Talaqqi (Syatibi: 2006, 126) atau mushafahah, yaitu metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung. Dari Rasulullah SAW dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Ketika orang menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran. Tradisi talaqqi ini tetap dijaga Rasulullah hingga memiliki kader-kader yang secara khusus mengajar Al-Quran, diantaranya Abdullah bin Mas’ud di Makkah, Mush’ab bin Umair di Madinah, Rafi’ bin Malik Al-Anshari dan lain sebagainya. Melalui mereka, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang hingga muncullah Zaid bin Tsabit, yang nantinya menjadi seorang pencatat wahyu.
Di Masjid Nabawi, Rasulullah juga membangun suffah, bangunan tambahan seperti beranda di samping bangunan induk masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran dan belajar baca tulis umat Islam. Suffah inilah cikal bakal pesantren Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran yang sekarang marak berdiri di masjid dan mushalla. Selain di Madinah, beberapa sahabat ahlul Quran juga dikirim oleh Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Karena tempat pengajarannya yang tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul perbedaan qiraat (dialek) pengucapan lafadz-lafadz dalam Al-Quran. Masing-masing qiraat itu kemudian dikenal dengan nama imam-imam besar kalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Dalam qira’at, sanad sangat penting dalam menjaga keberlanjutannya dan terjaganya otentitas pelafalan. Namun, hal yang juga sangat penting dalam qiraat adalah pengaruhnya pada pemahaman maknanya terutama penafsirannya. Hal ini karena Al-Qur’an dengan isinya yang simpel dan kandungan makna yang sangat luas memerlukan penafsiran untuk memahami kandungannya, karena setelah Rasul wafat muncul beberapa penafsiran dari para sahabat dan generasi sesudahnya. Model penafsiran seorang mufassir lazimnya dilatarbelakangi keilmuan yang dikuasainya, walaupun ada sebagian mufassir yang menulis tafsir dari latar belakang yang berbeda dari basic keilmuan yang dimilikinya.
Pada waktu Nabi masih hidup, Nabi sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Para sahabat apabila tidak memahami Al-Qur’an langsung bertanya kepada Nabi. Otoritas menafsirkan Al-Qur’an hanya ada pada nabi, sebab tugas menjelaskan Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi. Nabi diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan dan memberi tafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang diperselisihkan oleh umatnya. Salah satu kelebihan tafsir Nabi adalah penafsirannya selalu dibantu dengan wahyu, sehingga apabila ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait persoalan syariat wahyu lain akan turun memberi koreksi. Inilah salah satu makna kema’shuman Nabi. Setelah nabi meninggal, para shahabat yang banyak mendalami al-Qur’an menafsirkan al-Qur’an berdasar tuntunan yang telah diberikan Nabi dan apabila tidak ada mereka berijtihad. Namun, tentu saja penafsiran bervariasi. Begitupan masa-masa setelah para sahabat, tafsir makin berkembang dan mempengaruhi perkembangan keilmuan serta keberagamaan umat Islam.
Tafsir sebagai sebuah hasil dialektika antara teks dan konteks telah mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Sebab hal itu merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan. Perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik fiqih, kalam, tasawuf maupun tafsir disebabkan adanya perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam memahamai al Qurán diperlukan intrepretasi/penafsiran-penafsiran, namun metode, corak, ataupun madzhab penafsiran al-Qur’an tidak perlu disakralkan. Hal ini karena telah ada jaminan bahwa al Qurán selalu terjaga. Melalui jalur sanad para ulama baik dalam Qira’at, Hadis, Tarekat atau ilmu-ilmu lainnya, al Qur’an senantiasa terjaga termasuk dalam memahami atau menafsirkannya. Umat Islam mempunyai kewajiban untuk memelihara dan menjaga kesuciannya dalam rangka melestarikan keotentikan ayat-ayat Al-Qur’an sperti dalam Fiman Allah Swt dalam Surah Al Hijr 15: 9 : Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
Salah satu usaha nyata dalam proses pemeliharaan kemurnian Al Qur’an ialah dengan menghafalkannya. Tradisi menghafal Al-Qur’an dilanjutkan setelah nabi Muhammad SAW wafat, bahkan sampai saat ini umat Islam senantiasa melakukan tradisi tersebut sebagai amaliah ibadah dan dalam rangka memelihara keotentikan ayat-ayat Al Qur’an. Oleh karena itu menghafal Al Qur’an (tahfizul Qur’an) menjadi bagian penting dalam Islam.
Dalam tradisi tahfidz al Qur’an jalur sanad sama pentingnya dengan tradisi di tarekat. Meskipun mereka terkadang tidak menghasilkan suatu karya tafsir, tapi dalam praktiknya mereka paling dekat dengan masyarakat Islam dalam menjelaskan isi kandungan al Qur’an. Dengan demikian, tradisi sanad adalah suatu intisari yang utama dalam sistem pembelajaran ilmu agama sejak generasi awal Islam. Dalam Islam, tradisi pembelajaran ilmu agama, mempelajari ilmu-ilmu agama melalui sistem dan tradisi tidak terlepas dari konsep sanad ini. Ketersambungan kaum muslim dengan Rasulullah SAW adalah melalui sanad ilmu atau sanad guru. Tanpa sanad ilmu maka kemungkinannya adalah prasangka atau akal pikiran manusia semata yang terkait dengan hawa nafsu atau kepentingan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad). Selain itu, Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah SAW bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi). Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah ulama yang berakhlakul karimah atau ulama yang sholeh.
Sanad qira’at para penghafal al Qur’an hingga saat ini masih cukup terjaga. Dari ketujuh qiraat, yang sangat populer dan diajarkan di hampir seluruh negeri muslim –termasuk Indonesia— adalah qiraat Imam Ashim Al-Kufi. Dari jalur sanad Imam Ashim menjalur ke beberapa tokoh ulama tahfizhul Quran nusantara seperti Syaikh Dimyathi Tremas, K.H. Moenawwir Krapyak, Syaikh As’ad Makassar, dan beberapa kiai lain di Gresik dan Surabaya mengambil pelajaraan dan ijazah pengajaran Al-Qurannya. Kemudian dari para kiai tersebut lahirlah pesantren-pesantren Al-Quran yang kini menjamur di seluruh Indonesia.
Sanad KH Muhammad Munawwir mempunyai rangkaian yang sama dengan sanad KH Munawwar yaitu berguru kepada Syekh ‘Abdul Karim Ibn ‘Umar al-Badry (Fathurrohman: 2011, 140). Terdapat juga jejaring sanad yang terkait langsung dengan Timur Tengah, sanad KH Ahmad Badawi ar-Rasyidi Kaliwungu (1887 – 19776). Setidaknya ada tiga pelajar Indonesia yang belajar ilmu qiraat kepada Syeikh ‘Abd Karim ibn ‘Umar al-Badri ad-Dimyati, yaitu: Muhammad Munawir Krapyak, Munawwar Sedayu, dan Badawi Kaliwungu (Khoeron, LPMA). Selain itu ada sanad Syekh Azra‘i ‘Abdur Rauf Sumatera Utara dan KH M. Junaid Sulaiman Sulawesi. Keduanya berguru kepada Syekh Ahmad Hijazi Al-Faqih, seorang ulama yang diberi gelar ra’īsul-qurrā’. Jika disandingkan dengan lima sanad yang ditulis M Syatibi, titik temu kedua sanad ini juga pada Syekh Nasyiruddin at-Tablawi dari Syekh Abu Yahya Zakariyya al-Anshari. Syekh Ahmad Hijazi sendiri adalah murid dari Syekh Muhammad Sabiq al-Iskandariyah. Sedang Syekh Muhammad Sabiq adalah guru dari Ahmad Hamid Abdurrazak yang merupakan guru dari KH Dahlan Kholil Peterongan.
Kiai Moenawwir mendalami pengajian Al-Qurannya selama enam belas tahun di Makkah. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa. Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silsilah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek. Dari kyai munawwir ini kemudian diteruskan KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH Abdullah Salam Kajen, KH.Ahmad Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Solo), KH. Muntaha Asy’ari (Kalibeber, Wonosobo), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Nawawi Abdul Aziz (Ngrukem, Bantul, DIY), H. Mufid Mas’ud (Sleman, DIY), KH. Maftuh Basthul Birri (Lirboyo, Kediri) dan lain sebagainya.
Hampir pesantren atau majlis tahfidul qur’an bersambung sanadnya kepada ulama-ulama di atas. Oleh karena itu, dalam memetakan khasanah kajian al Qur,an khususnya di Indonesia, selain hanya merujuk kepada karya dan hasil tafsirannya, penting kiranya melacak jejaring keilmuan dan jalur sanad, sehingga ilmunya tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Di Indonesia, sejarah masuknya Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari proses diseminasi para huffadz dalam berbagai qira’aat Al-Qur’an tersebut. Perbedaan qiraa’at tersebut pada awalnya tidak memunculkan perbedaan dalam pemahaman atau penafsiran al Qur’an. Namun seiring meluasnya agama Islam di berbagai penjuru dunia, terjadi perbedaan-perbedaan dalam penafsiran, apalagi antara tradisi sunni dan syiáh.
Para penyebar Islam terlebih lagi yang memiliki karya-karya dalam tafsir al Qurán mayoritas adalah para penghafal al Qurán (Hufadz). Memang, kajian terkait para huffadz ini tidak mendapatkan tempat seperti halnya para mufassir yang dapat dilacak dengan karya-karyanya. Karenanya, para huffadz yang tidak menghasilkan karya terutama tafsir, jarang diteliti oleh para pengkaji Islam terutama peminat kajian tafsir. Padahal, dalam kajian al Qurán, jalur sanad atau silsilah keilmuan sangat penting dan menjadi urat nadi terjaganya suatu otentitas dan kualitas tafsir al Qurán. Terkait jalur sanad ini jarang dikaji karena dalam khasanah tafsir di Indonesiaa saat ini seakan-akan mereka adalah kelompok yang berbeda dengan para huffadz. Padahal para huffadz itulah yang senantiasa menjaga jalur sanad dan silislah keilmuan mereka.
Tempat-tempat pengajaran Al-Quran, dan jejaringnya, yang memiliki ijazah sanad Al-Quran biasanya berupa pesantren tahfizhul Quran (penghafalan Al-Quran). Dan uniknya hampir semua pesantren Al-Quran tersebut saling memiliki keterkaitan guru murid. Sebab menurut sejarahnya, seluruh tradisi penghafalan Al-Quran di pesantren-pesantren tradisional di nusantara ini bermuara kepada beberapa nama. K.H. Drs. Muntaha Azhari, pernah melakukan penelitian dalam bidang tersebut menyebutkan nama Mbah Kiai Moenawir Krapyak (Yogyakarta), Syaikh Dimyathi Tremas (Pacitan – Jawa Timur) dan Syaikh As’ad Makassar sebagai tiga dari beberapa tokoh pembawa tradisi penghafalan Al-Quran sekaligus memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah. Dari ulama ahlul Quran tersebutlah kebanyakan sanad pesantren Al-Quran modern bermuara.
Kajian mendalam tentang al-qur’an di Indonesia yang menganalisis tradisi keilmuan muslim Indonesia masih penting karena tradisi keilmuan tentang perkembangan Islam di Indonesia masih menyisakan pelajaran yang berharga terkait karakteristik Islam di Nusantara. Meskipun telah banyak penelitian yang memberikan gambaran tentang corak, metode maupun karakteristik penafsiran Al-qur’an di Indonesia dan pemetaan kategori-kategori untuk mengklasifikasikan berbagai model studi yang dihasilkan para penulis tafsir di Indonesia, namun belum memetakan jejaring keilmuan atau jalur sanad yang komprehensif terutama adanya persinggungan antara para mufassir, mursyid tarekat dan para huffadz. Padahal dalam sejarah Islam di Nusantara sejak dahulu seorang mufassir sekaligus seorang mursyid yang hafal al Qur’an. Bahkan merekalah yang terus menjaga tradisi pengajaran al Qur’an dengan keterjagaan jalur sanad dan menjelaskan pesan-pesan al Qur’an terhadap umat Islam. Hal ini penting, karena saat ini muncul penafsiran-penafsiran al Qur’an dengan berbagai latar belakang keilmuan yang terkadang tidak ada kaitannya atau memiliki otoritas dengan ilmu al Qur’an, terlebih lagi tidak memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Wallahul A’lam
No responses yet