Habib   Abdurrahman  bin  Ahmad   Assegaf  atau   yang   lebih  dikenal dengan sebutan  Sayyidul Walid adalah sosok ulama kharismatik, ahli fiqih, ahli lughoh,  ahli  tasawuf  yang  diyakini  masyarakat  sebagai   waliyullah  (kekasih Allah) karena  memiliki beberapa keistimewaan. Habib  Ahmad  kemudian juga dinilai  sebagai   guru  para   habaib.   Habib  Abdurrahman  Assegaf  lahir  pada tahun  1908  di  Cimanggu,  Bogor.  Beliau  adalah putra  dari  pasangan Habib Ahmad  bin Abdul Qadir Assegaf dan  Hj. Fathimah  binti Sainan.  Ayahandanya sudah  wafat ketika beliau  masih  kecil, tapi kondisi itu tidak menjadi  halangan baginya untuk giat belajar.

Habib Abdurrahman bin  Ahmad  bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin  Segaf  bin  Muhammad  (Al-Qhadi)  bin  Umar  bin  Thoha   (Al-Qhadi)  bin Umar bin Thoha  bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad   (Maula   Ad-Dawilayh)   bin   Syekh   Ali   (Shohibud   Dark)   bin Sayyidina   Al-Imam  Alwi Al-Ghuyur   bin  Sayyidina   (Al-Imam  Al-Faqih  Al- Muqaddam) Muhammad bin  Sayyidina  Ali bin  Sayyidina  (Al-Imam) Muhammad (Shohib  Marbath)  bin Sayyidina  Ali (Al-Imam Kholi Qosam)  bin Sayyidina  Alwi bin Sayyidina  (Al-Imam) Muhammad (Shohib  As-Shouma’ah) bin  Sayyidina   (Al-Imam)  Alwi Alawiyyin (Shohib   Saml)  bin  Sayyidina   (Al- Imam)  Ubaidillah   (Shohibul  Aradh)   bin   Sayyidina   (Al-Imam  Al-Muhajir) Ahmad   bin   Sayyidina   Al-Imam  Isa   (Ar-Rumi)  bin   Sayyidina   Al-  Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina  Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina  Al- Imam  Ja’far  As-Shodiq   bin  Sayyidina   Al-Imam  Muhammad  Al-Baqir  bin Sayyidina  (Al-Imam) Ali Zainal Abidin bin (Al-Imam As-Syahid Sayyidi Syabab Ahlil  Jannah) Sayyidina  Al-Husein  Rodiyallahu  bin  Sayyidah   Fatihmah Az- Zahra binti Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Habib  Abdurrahman Assegaf mengenyam pendidikan di Jam’iyat Al- Khair, Jakarta, masa  kecilnya dijalani dengan sangat  sederhan, bahkan  sangat memperihatinkan,  sebagaimana  pernah   diceritakan   anaknya,  Habib  Ali bin Abdurrahman Assegaf “Walid itu orang  yang tidak mampu (maksudnya bukan orang  berkecukupan harta).  Bahkan  beliau pernah  berkata,  ‘Barangkali, dari seluruh  anak  yatim  yang  ada,   yang  termiskin  adalah  saya.  Waktu  lebaran, ketika  anak-anak mengenakan sandal  atau  sepatu,   saya  tidak  punya  sandal apalagi  sepatu’.  Tidurnya  pun  di bangku  sekolah.  Tapi,  kesulitan  seperti  itu tidak menyurutkan beliau untuk giat belajar.”

Ketika    masih     belajar     di    Jami’iyat     Al-Khair,    prestasi     Habib Abdurrahman Assegaf  sangat  cemerlang. Beliau  selalu menempati peringkat pertama.   Nilainya   bagus   dan    akhlaqnya   menjadi    teladan   bagi   teman- temannya. Dalam urusan menuntut ilmu kepada seorang ulama, Habib Abdurrahman  Assegaf  tidak   segan-segan  melakukannya  dengan  bersusah payah,   walau harus  menempuh perjalanan puluhan kilometer. Sebagaimana certa  sang  cucu,  “Sayyidul Walid itu kalau berburu  ilmu sangat  keras.  Beliau rela  dan   sanggup   menempuh  perjalanan  hingga   berkilo-kilo  meter   untuk belajar kepada Habib  Abdullah bin Muhsin Al-Athos (Habib Keramat Empang, Bogor).”

Habib Abdurrahman Assegaf adalah salah satu murid kinasih (kesayangan) Habib  Abdullah bin Muhsin Al-Athos, Keramat  Empang,  Bogor. Ikatan  hubungan  antara   keduanya  sangat   dekat,   gurunya   sayang   kepada murid,    murid    pun    taat    dan    ta’zhim   kepada    guru.    Kedekatan    Habib Abdurrahman Assegaf dengan gurunya  ini digambarkan oleh cucunya,  Habib Ahmad  bin Ali Assegaf, dengan sebuah  cerita tentang  pengabdian sang kakek kepada sang guru,  yaitu bahwa  ketika Habib  Abdurrahman Assegaf belajar  di Kramat  Empang,  Bogor,  ketika genteng  (atap)  rumah  gurunya  bocor,  dialah yang kemudian naik ke atas rumah  untuk memperbaiki genteng  sehingga  tidak bocor lagi.

Selain Habib  Abdullah bin Muhsin Al-Athos, Keramat Empang,  Bogor, guru-guru   Habib   Abdurrahman  Assegaf  yang   lain  adalah  Habib   Alwi bin Thohir Al-Haddad (murid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Athos yang kemudian menjabaat  sebagai  Mufti di Johor,  Malaysia),  Habib  Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad, Habib Ali bin Husein Al-Athos (Bungur,  Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta), Habib  Salim bin Ahmad  bin Jindan  (Otista,  Jakarta), K.H. Mahmud  Romli (Ulama  besar  Betawi,  Jakarta) dan Prof. KH. Abdullah bin Nuh (Bogor).

Semasa  menunutut ilmu, Habib  Abdurrahman sangat  tekun dan  rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang  diajarkan  guru-gurunya. Ketekunannya yang  luar biasa  mengantarnya menguasai semua  bidang  ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi  penulis dan  orator  yang  handal. Beliau  tidak  hanya  sangat  menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda  dan Jawa halus.

Habib  Abdurrahman tidak  sekadar  disayang  oleh para  gurunya,  tapi lebih  dari  itu,  beliau  pun  murid  kebanggaan. Beliaulah  satu-satunya  murid yang sangat  menguasai tata  bahasa Arab, ilmu alat yang memang  seharusnya digunakan  untuk   memahami  kitab-kitab   klasik  yang   lazim  disebut   “kitab kuning”.  Para  gurunya  menganjurkan murid-murid  yang  lain mengacu pada pemahaman Habib  Abdurrahman yang sangat  tepat  berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.

Setelah   menginjak    usia   dewasa,    Habib    Abdurrahman   dipercaya sebagai   guru   di   madrasahnya.  Disinilah  bakat   dan   keinginannya  untuk mengajar  semakin  menyala. Beliau menghabiskan waktunya  untuk  mengajar. Dan  hebatnya, Habib  Abdurrahman ternyata  tidak hanya  piawai dalam ilmu- ilmu agama, tapi  bahkan  juga  pernah  mengajar   atau  lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik (dari seruling sampai terompet), drum band,  bahkan  juga baris-berbaris.

Ketika berusia  20  tahun,   beliau  pindah  ke  Bukit  Duri  dan  berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan  madrasah sendiri, Madrasah   Tsaqafah  Islamiyyah,  yang  hingga  sekarang  masih  eksis di  Bukit Duri, Jakarta. Sebagai  madrasah khusus, sampai  kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah  merujuk  kurikulum yang  ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri   dan    uniknya,    Madrasah    ini   menggunakan buku-buku     terbitan    sendiri    yang    disusun    oleh    sang    pendiri,    Habib Abdurrahman Assegaf.  Disini, siswa  yang  cerdas  dan  cepat  menguasai  ilmu bisa loncat kelas.

Dunia pendidikan memang  tak mungkin dipisahkan  dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan.  Beliau   memang    seorang   guru   sejati.   Selain   pengalamannya banyak,  dan  kreativitasnya  dalam  pendidikan juga  luar  biasa,  pergaulannya pun    luas.   terutama   dengan   para    ulama   dan    kaum    pendidik    Jakarta. Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai  sosok ayah  yang  konsisten  dan  disiplin dalam mendidik  anak.  Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk  menguasai berbagai  disiplin ilmu, dan  menuntut ilmu kepada banyak  guru.  Sebab  ilmu yang  dimilikinya tidak dapat  diwariskan.

“Beliau   konsisten   dan   tegas   dalam  mendidik   anak.   Beliau   juga menekankan bahwa  dirinya  tidak  mau  meninggalkan harta  sebagai  warisan untuk  anak-anaknya. Beliau hanya  mendorong anak-anaknya agar  mencintai ilmu dan  mencintai  dunia  pendidikan.  Beliau  ingin kami konsisten  mengajar,  karenanya beliau melarang  kami melibatkan  diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang,  membuka biro haji dan  sebagainya. Jadi, sekalipun tidak  besar,  ya  sedikit banyak  putra-putrinya bisa  mengajar,” kata Habib Umar.

Habib   Abdurrahman   Assegaf   mempunyai   putra   dan    putri   yang berjumlah  22  orang  namun   yang  masih  hidup  hanya   9  orang;  diantaranya Habib  Muhammad, pemimpin  yayasan  Tsaqafah  Islamiyah  di  Ceger;  Habib Ali, pemimpin  Majelis Taklim Al-Affaf di Tebet;  Habib  Alwi, pemimpin  Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib  Umar,  pemimpin  pesantren dan Majlis  Taklim  Al-Kifahi  Ats-Tsaqafi  di  Bukit  Duri,  dan   Habib   Abu  Bakar, memimpin  pesantren Al-Busyro di Citayam  dan  Madrasah  Tsaqafah Islamiyah di Bukit Duri. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.

Sebagai  Ulama sepuh  yang  sangat  alim, beliau  sangat  disegani  dan berpengaruh.   Juga    layak   diteladani.    Bukan   hanya    kegigihannya    dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya  tidak  sebatas  satu  macam  ilmu agama, melainkan  juga  mencakup berbagai  macam  ilmu. Mulai dari Tauhid,  Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga  sastra. Bukan  hanya  dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan  Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai  huruf Jawi atau pegon.

Kitab karyanya,  antara  lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman,  Bunyatul Umahat  dan  Buah  Delima. Sayang,  puluhan karya itu hanya  dicetak dalam jumlah terbatas  dan  memang  hanya  digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah  Tsaqafah Islamiyyah.

Habib  Abdurrahman juga dikenal sebagai  ulama yang  sangat  disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan  kedisiplinannya  tidak  hanya   dalam  hal  mengajar,  tapi juga dalam soal makan.  “Walid tidak akan  pernah  makan  sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan  tepat waktu.” Kata Habib Ali.

Mengenai  kedermawanannya, Habib  Abdurrahman Assegaf selalu siap menolong  siapa  saja  yang  membutuhkan bantuannya. Bahkan,  beliau  sering datang   ke  daerah-daerah  yang   jauh   untuk   memberikan   bantuan  berupa kebutuhan pokok untuk para  pendakwah di daerah tersebut.  Hal itu dilakukan secara  rahasia,  yaitu dengan menitipkan  sejumlah  uang  kepada pemilik toko sembako,   untuk   dibelikan   sejumlah    kebutuhan   pokok,    yang   kemudian diserahkan kepada ulama setempat  yang telah beliau data nama  dan alamtnya. Ketika  ditanyakan  oleh  anak   cucu  tentang   hal  itu,  beliau  menjawab,  “Itu sebagai ucapan terimakasih Saya, karena  ulama tersebut telah berdakwah menyampaikan ajaran  Islam di sana.  Saya  pribadi  belum  mampu berdakwah secara langsung di sana.”

Pada    tahun   1960-an,  Habib   Abdurrahman   mengalami   kebutaan selama  lima tahun.  Namun  musibah  itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan   syiar   islam.   Pada    masa-masa   itulah   beliau   menciptakan rangkaian   syair  indah  memuji  kebesaran Allah  swt  dalam  sebuah   Tawasul, yang  kemudian disebut  Tawasul  Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.

Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf

Suatu hari, seorang  santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia yang  merupakan adik  dari  menantu Habib  Ali bin  Sayyidil  Walid Habib   Abdurrahman  Assegaf,  mendapat  pesan   dari  seorang   ulama  besar disana,   Habib   Abdullah  bin  Muhammad  bin  Alwi  Syahab.  “Saya   mimpi bertemu  Rasulullah SAW, tapi wajahnya  menyerupai Habib  Abdurrahman bin Ahmad  Assegaf. Tolong beritahu  anak-anak beliau di Indonesia. Katakan pada anak-anak beliau, jangan jauh-jauh  dari walid”.

Sang  santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya    kabar    dari    ulama   Hadramaut   itu   diterima    keluarga    Habib Abdurrahman   di   Bukit   Duri   Jakarta.   Seminggu    kemudian,   apa    yang diperkirakan  itu pun  tiba.  Tepatnya Senin  Siang  jam  12.45,  26  Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabiul Awal 1428  H,  langit Jakarta  seakan  mengelam. Kaum  muslim  ibu  kota  terguncang   oleh  berita  wafatnya  Al-Alamah  Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 105 tahun.

Jenazah ulama besar  yang ilmu, akhlaq dan  keistiqamahannya sangat dikagumi  itu, disemayamkan di ruang  depan rumahnya yang bersahaja, tepat di  sisi  Sekretariat   Yayasan   Madrasah   Tsaqofah  Islamiyah,  di  jln.  Perkutut no.273,  Bukit   Duri   Puteran,  Tebet,   Jakarta   Selatan.    Kalimat   tahlil  dan pembacaan Surat Yaa siin bergema  sepanjang hari sampai  menjelang pemakamannya   keesokan    harinya.    Sebuah   tenda    besar    tak    mampu menampung gelombanh jemaah  yang  terus  berdatangan bak  air bah.  Pihak keluarga  memutuskan pemakaman  akan  dilakukan  ba’da  zhuhur  di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.

Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib  Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan  nada  sedih, Habib Ali bin Sayyidil Walid Habib  Abdurrahman Assegaf mengucapkan terima kasih kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang  bertakziah dan  membantu proses  pengurusan jenazah.  Selanjutnya anak  ke-tiga  Habib Abdurrahman tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu  kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa  rindu itu lewat sholawat-sholawat yang tak pernah  lepas dari bibirnya setiap hari,” katanya.

Puluhan ribu pelayat  yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena  terharu.  Apalagi ketika Habib  Ali, yang  berbicara,  tampil dengan  suara bergetar.  “hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang  bagaimana memelihara anak  yatim. Tapi, kali ini, kita semua  menjadi anak-anak yatim.”  Kata Habib  Ali, yang  mengibaratkan hadirin  sebagai  anak yatim.  Betapa  tidak,  Habib  Abdurrahman dianggap   sebagai  orang  tua  tidak hanya  oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa  hidupnya, beliau senantiasa   mengayomi,   membimbing  dan   setia   mendengar  keluh   kesah jamaah.  Tapi  kini,  sang   pelita  itu  telah  pergi.  Sebagian   hadirin   terguguk menangis,  bahkan  ada yang histeris.

“Kepergian   Walid  sudah   diramal  jauh-jauh   hari.  Suatu   hari  beliau pernah  berkata  kepada  saya, “Umimu dulu yang bakal berpulang kepada  Allah swt,  setelah  itu  baru  saya.   Dan  benarlah,  ibunda   Hj.  Barkah  (istri Walid) berpulang  sekitar  tujuh  bulan  yang  lalu,  tepatnya pada  26  Juli  2006.  Walid juga  pernah   berkata  kepada keluarga,  “Saya  pulang  pada   hari  senin”  Jam 12.00,  jenazah  disholatkan  di depan kediaman Walid,  dengan Imam,  Habib Abdul Qadir  bin Muhammad Al-Haddad Al-Hawi Condet.  Pada  hari itu juga, besan  Habib  Abdurrahman,  Syarifah  Rugayah  binti  Muhammad bin  Ali Al-Attas juga di sholatkan.

Referensi :

Al Kisah No.16/tahun II/2-15  Agustus  2004,  No.  19  / Tahun  IV  /  11  –  24

September 2006 & No.8 / Tahun V / 9 – 22 April 2007.

http://www.laduni.id/post/read/43170/siapa-alhabib-abdurrahman-bin-ahmad- assegaf-bukit-duri-tebet-part-1

http://www.laduni.id/post/read/43172/siapa-alhabib-abdurrahman-bin-ahmad- assegaf-bukit-duri-tebet-part-2.html

Wawancara Adithiya Warman [Perise] dengan Habib Ahmad bin Ali Assegaf, cucu Habib Abdurrahman Assegaf

Sumber :  Buku 27  HABAIB  BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya  Intelektual dan Karya  Sosial Habaib Betawi dari  Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor:  H. Rakhmad Zailani  Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh :  JAKARTA ISLAMIC CENTRES

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *