Dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita mendengar jargon kembalilah kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Jargon yang dalam bahasa Arabnya diungkapkan dengan istilah al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah ini digunakan untuk menuduh pihak lain yang dianggap keluar dari kehidupan yang berpedoman pada al-Qur’an dan al-Sunnah. 

Praktik keagamaan kita sehari-hari sering dianggapnya sebagai bid’ah dan khurafat gara-gara kita sering membaca tahlil, melakukan ziarah kubur, dlsb. Cara berislam kita sehari-hari sudah dianggap jauh bahkan tidak kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah karena kita hidup bermadzhab. Kehidupan bernegara kita tidak sesuai dengan syariah, karena menggunakan sistem demokrasi. Kata mereka, dalam segala hal, urusan hidup kita harus menggunakan sistem hidup yang digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah.

Lagi, ungkapan yang paling populer dari mereka yang diarahkan kepada kita adalah “kembali kok pada ulama, kembali ya pada Sunnah, ulama kan manusia biasa yang bisa salah, kembalilah pada hal yang pasti benarnya.”

Tuduhan ini marak dalam sepuluh tahun terakhir bersamaan dengan bangkitnya Wahhabisme di Indonesia. Namun anehnya, sering kali kita menemukan kenyataan di dunia media sosial, pernyataan yang demikian ini sering dilontarkan oleh orang yang sebenarnya tidak mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud dengan jargon kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Tuduhan mereka sepintas nampak benar, namun penuh kesalahan jika kita mendalaminya. 


Apa makna kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang sebenarnya? Apakah kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah itu yang dimaksud sama dengan kembali kepada terjemahan al-Qur’an dan al-Sunnah? 

Benar saja, bahwa orang yang banyak mengklaim diri mereka telah kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah ternyata dalam kehidupan mereka sehari-hari hanya kembali kepada terjemahan al-Qur’an dan terjemahan hadis-hadis Nabi. Mereka tidak sadar bahwa terjemahan al-Qur’an dan Sunnah yang mereka baca adalah hasil pekerjaaan para ulama. Pasti mereka tidak akan tahu bahwa bahwa menterjemahkan al-Qur’an itu bid’ah karena tidak ada perintah dari al-Qur’an maupun Sunnah Nabi.

Tahukah bahwa di balik semboyan al-ruju’ ila al-Qur’an dan al-Sunnah mengandung makna yang tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah adalah perkara rumit dari sekedar hanya membaca terjemahan al-Qur’an dan hadis Nabi.

Karenanya, latar belakang semboyan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah di atas haruslah dipahami terlebih dahulu. Kata al-ruju’ itu memang memiliki pengertian kembali kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun untuk kembali kepada kandungan kita harus mampu membaca dan menggali kandungan kedua sumber Islam yang utama di atas. Kita tidak akan mampu membaca dan menggali al-Qur’an dan Sunnah jika kita tidak kembali kepada ilmu-ilmu keislaman yang dirumuskan oleh para ulama terdahulu.

Dengan kata lain, kita diserukan untuk melakukan proses ijtihad; memetik pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan cara dan metode kita sendiri. Orang demikianlah yang diistilahkan para mujtahid. Dengan merujuk kepada para ulama terdahulu untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah itu bukankah juga masuk dalam kategori bid’ah? 

Pertanyannya adalah mampu tidak kita sampai pada level al-ruju’ pada al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan metode kita sendiri? Untuk sampai pada level ini, kita, secara metodologis diwajibkan untuk menguasai cabang-cabang keilmuan Islam yang sangat luas dan banyak jenisnya; Ulum al-Qur’an segala cabangnya, Ulum al-hadist dan segala cabangnya, Usul Fiqih dan segala yang berkaitan dengannya, Fiqh, Tauhid, dan masih banyak lagi.

Banyak ulama-ulama baik klasik dan modern, mungkin bukan karena kecerdasannya, tapi karena kerendahan hatinya, merasa tidak mampu menjalankan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah sebagaimana di atas secara langsung. Karenanya, mereka lebih memilih untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah melalui para mujtahid. Mereka lebih memilih berada di dalam lingkup madzhab Imam Syafi’i. 

Apabila kita sudah merasa menjadi orang yang mampu berijithad sendiri, misalnya lebih mampu dari Imam al-Nawawi, Imam al-Ghazali dan Imam al-Rafi’, dimana ketiganya adalah mujtahid-mujtahid di dalam madzhab Syafi’i’ maka bolehkan kita melaksanakan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah. 
Ketika para ulama modern seperti Jamaluddin al-Afghani, Akhmad Khan, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla dlsb, menyerukan perlunya kembali lagi kepada al-Qur’an dan Sunnah sebenarnya adalah kembali dengan perangkat pengetahuan dan penafsiran ulama-ulama sebelumnya. Sebenarnya apa yang terjadi di dunia pemikiran Islam adalah upaya untuk memperbaharui, tidak ada istilah menciptakan, qila wa qalu, menurut pendapat ini dan itu. 

Jika kita sekarang ini misalnya ikut madzhab tertentu, maka sesungguhnya kita ikut cara para mujtahid dalam melaksanakan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah sesuai dengan metode mereka. Tidak mungkin dalam ijtihad, mereka meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. 
Sebagai catatan, maksud al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah sekali lagi bukan kembali kepada terjemahan al-Qur’an dan al-Sunnah, namun kepada makna dan spirit al-Qur’an dan Sunnah. Semangat keagamaan yang lapang dan menghargai pelbagai perbedaan yang ada.  

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *