Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan adalah seorang dai muda yang sangat aktif berdakwah baik di mimbar ceramah, majelis ilmu, sampai di media sosial seperti facebook, instagram, twitter, dan youtube. Rekaman dakwah Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan banyak beredar di berbagai media sosial, begitu pula tulisan-tulisan yang berupa kritikan atau nasihat kepada umat Islam, cukup banyak yang beredar di media sosial.
Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan adalah sosok yang hangat dan terbuka, beliau sangat terbuka dan menghargai siapa saja yang ingin datang meneliti dan mentahqiq karya kakeknya, yaitu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan dan kakaknya Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, dua serangkai kakak dan adik yang saling bahu-membahu dalam berdakwah bersama para habaib dan alim ulama lainnya.
Nasabnya adalah Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Husain bin soleh bin Abdullah bin Jindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syaikhon bin Asy Syeikh Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman bin Abdullah bin Asy Syeikh Abdurahman As Seggaf bin Muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghuyyur bin Al Ustadz Al A’dzom Al Faqih Al Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Al Murbath bin Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Maula Showma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidhi bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi tholib dan bin Fathimah Az Zahra binti Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan adalah guru yang utama dan pertama bagi kedua anaknya yaitu; Habib Jindan dan Habib Ahmad.
Habib Ahmad berkata, “Kalau bukan karena didikannya, maka entah menjadi bagaimana keadaan Saya.” Habib Novel lahir pada hari Sabtu pagi, tanggal 2 Rabi’uts Tsani tahun 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1942 M, di Bidara Cina Otista Jatinegara, Jakarta. Habib Novel ada sosok yang sangat sayang dan berbakti kepada ibu dan ayahnya. Ibu Habib Novel adalah Syarifah Aisyah binti Habib Usman bin Abdullah Syatho. Al Habib Usman adalah salah seorang ulama dari Makkah yang datang ke Sulawesi untuk berdakwah dan kemudian menikahi salah seorang wanita berdarah biru dari Bugis hingga lahir dari perkawinan tsb Syarifah Aisyah binti Al Habib Usman Syatho.
Habib Ahmad bin Novel berkomentar tentang bakti Sang Ayah kepada ibunya, “Karakter yang Saya ketahui dari Ayah Saya adalah kepatuhannya kepada ibunya. Tidak pernah berucap kata ‘Tidak’ kepada ibunya. Hingga wafat sang ibu pada tahun 1990 atau 1991. Hal tersebut, sebagaimana bakti beliau yang sangat luar biasa kepada sang ayah, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan.” Sejak kecil Habib Novel dididik dengan adab oleh Sang Ayah, Habib Salim. Habib Novel selalu mendampingi sang ayah.
Sekitar tahun 1967, Habib Novel berangkat ke Hijaz (Makkah), dan tinggal di sana selama kurang lebih 2 tahun. Habib Novel menimba ilmu dari para ulama yang ada di sana, diantaranya As Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki. Al Walid sangat disayang oleh As Sayyid Alwi hingga dipersaudarakan dengan putranya Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki. Sebagaimana beliau juga menimba ilmu dan dekat dengan As Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Asy Syeikh Hasan Masysyaath dan ulama Al Haramain yang Saat itu berada di sana.
Selain berguru dengan para habaib dan masyaikh di Mekah, Habib Novel juga berguru kepada Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husain Al-Attas Bungur, Habib Muhammad bin Ahmad Haddad Al-Hawi, dan senantiasa mendampingi mertua beliau sekaligus berguru kepadanya Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al-Habsyi Kwitang, dan beliau juga berguru dari para ulama lainnya. Bahkan hampir sebagian besar guru-guru Habib Salim bin Ahmad bin Jindan adalah guru bagi Habib Novel. Sebab Habib Salim setiap kali meminta Ijazah dari para gurunya selalu memintanya juga untuk anak dan keturunannya.
Habib Salim berniat untuk pindah ke Makkah bersama seluruh keluarga besarnya, sehingga Habib Novel menunggu kedatangan beliau dan mempersiapkan segalanya, namun karena beberapa kepindahan Habib Salim tidak terwujud dan batal. Ketika Habib Novel mendapat kabar bahwa kepindahan ayahnya batal, beliau bergegas untuk pulang ke indonesia karena khawatir akan keadaan ayahnya. Setibanya di indonesia sang ayahnya sangat gembira dan bahagia menyambutnya. Habib Novel pernah bercerita kepada Habib Ahmad, bahwa beliau sama-sama berdakwah dengan Habib Salim, sang ayah, saling bahu-membahu bersama para habaib dan para ulama lainnya.
Suatu ketika, seseorang mengundang Habib Salim dan Habib Novel agar keduanya berceramah di suatu acara. Pada waktu yang sama ditempat yang lain, seseorang pun mengundang keduanya sehingga Habib Salim mengatakan kepada Habib Novel, “Engkau (Habib Novel) sekarang ke acara yang di sana sedangkan aku di acara yang di sini, setelah engkau selesai maka bergegas untuk hadir di acara yang di sini sedangkan aku akan beranjak ke acara yang di sana.” Habib Abdul Qodir bin Muhammad Haddad Al Hawi bercerita bahwa pernah dalam suatu acara mauled, Habib Novel diminta berceramah di hadapan ayahnya Habib Salim, dan saat itu hadir pula para habaib dan ulama lainnya. Setelah berceramah, sang ayah Habib Salim berdiri dan mengatakan dengan bangga, “wahai Hadirin, beginilah para Habaib dan keluarga Rasulullah SAW, mereka bagaikan pohon pisang, tidak mati induknya melainkan setelah tumbuh sempurna anaknya”.
Suatu hari dalam sebuah kesempatan Habib Salim melepaskan Imamah yang beliau pakai dan beliau letakkan dan pakaikan di kepala Habib Novel bin Salim bin Jindan. Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Wafat pada Malam senin tahun 1969. Dan meninggalkan putra pitri yang solih dan solihah yang bertaqwa kepada Allah. Dan tidak lama kemudian Al Walid menikah dengan ibu kami putri Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al Habsyi.
Seluruh hidup beliau hanya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, hanya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah hingga akhir hayat beliau.
Dorongan beliau kepada putra putrinya untuk menempuh jalan agama, dakwah di jalan Allah, sangat kuat sehingga beliau kirim semua anak-anaknya untuk menimba ilmu. Dan setiap anak dari mereka saat berangkat, beliau selalu berpesan kepadanya dengan apa yang di katakan oleh ibunda Asy Syeikh Abdul Qodir Al Jailani saat berpisah dan melepas anaknya menimba ilmu, wahai anakku, belajarlah bersungguh-sungguh dan jangan pernah berfikir kembali dan berjumpa, sebab aku akan menunggumu di depan telaga Rasulullah SAW di hari kiamat. Kata-kata ini sangat membekas di lubuk hati anak-anaknya yang tercinta. Harapan ini Allah wujudkan untuk beliau ketika putra tertua beliau wafat saat menimba Ilmu kepada Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith di Madinah Al Munawwarah, dan kemudian dimakamkan di Makkah.
“Saya masih selalu teringat Saat saya masih kecil di waktu Dhuha ketika saya berada di kamar, dan saya mendengar dari kamar Al Walid suara beliau yang lantang yang sedang mengulang-ulang hafalan hadits beliau dari kitab Riyadhus Solihin, kenang Habib Ahmad. Saya mendengar bahwa beliau hafal kita Riyadhus Solihin karya Al Imam An Nawawi. Sebagaimana saya masih mengingat bahwa sebagian besar waktu beliau ketika bersama kami selalu membawakan cerita para awliya dan salaf solihin dari keluarga Al Ba Alawi.” Beliau ketika menghadiri acara maulid atau majelis, selalu mengajak semua atau sebagian anak-anak beliau untuk mendampinginya.
Habib Ahmad bercerita, “Ketika beliau melihat saya di kamar suatu hari sedang memegang kitab Maulid Simtud Durar, beliau gembira dan bahagia dan menghampiri saya kemudian duduk bersebelahan dengan saya. Dan menyemangati saya untuk melancarkan bacaan suatu fashal dari kitab maulid tersebut, yaitu Fashal sebelum Qiyam dan Fashal sebelum doa maulid. Setelah saya lancar, setiap kali ada acara maulid, beliau memerintahkan saya untuk tampil dan membaca Fashal maulid tersebut.”
Habib Ahmad bercerita, “Sepulangnya saya dari Hadramaut, saya selalu mendamping beliau bersama kakak saya Habib Jindan bin Novel. Hingga beliau wafat pada hari jumat jam 17.00 tanggal 3 Juni tahun 2005 M bertepatan pada tanggal 25 Rabiuts Tsani tahun 1426 H. Saat itu telapak tangan kanan beliau berada di telapak tangan saya, dan ibu saya mentalqinkan beliau, dan adik-adik saya berada di kaki beliau, sedangkan kakak saya Al Habib Jindan sedang mewakili beliau berdakwah di Singapura di Masjid Ba Alawi dalam acara Haul Imam Habib Muhammad bin Salim Al Attas.”
Pernah suatu kali wartawan suatu majalah islami berkunjung ke rumah Habib Novel untuk mewawancara kami dan Al Walid. Salah satu pertanyaan mereka kepada Al Walid adalah, Apa cita-cita Habib Novel untuk umat islam?
Kerena bekas stroke sehingga beliau berbicara terpatah-patah, namun saat itu beliau menjawab hanya dengan isyarat tangannya yang sangat membahagaiakan kami semua. Beliau menunjuk kepada Kakak saya, Habib Jindan dan kepada saya Ahmad, serta anak-anak beliau yang lainnya. Seakan beliau mengatakan, “Merekalah cita-cita dan persembahan Saya untuk umat.” Habib Novel lebih disibukkan oleh kegiatan dakwah, sehingga seletah wafatnya beliau tidak menulis karya intelektual. Adapun dalam bentuk karya sosial, Yayasan Al-Fakhriyah dan berbagai aktifitas sosial di dalamnya adalah bukti keikhlasannya dalam pengabdian kepada Allah Swt.
Sumber : Buku 27 HABAIB BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya Intelektual dan Karya Sosial Habaib Betawi dari Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor: H. Rakhmad Zailani Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh : JAKARTA ISLAMIC CENTRES
No responses yet