Hingga hari ini, hampir semua negara di dunia memiliki sistem dan budaya pemerintahan yang dipengaruhi doktrin dan praktek yang dianut mayoritas warganya. Sebut saja Mesir, Saudi Arabia, Israel, Iran, Pakistan, Amerika Serikat, Cina, India, Inggris, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan sebagainya. Selalu ada perjuangan dan gerakan minoritas agama dan etnik di negara-negara ini melawan diskriminasi agama, hukum, sosial, dan sebagainya. 

Tidak ada satu agama pun yang bisa mengklaim telah menjamin hak-hak setara semua penganut agama dan penganut non-agama, karena setiap agama memiliki dimensi eksklusif dan inklusif sekaligus, memiliki aspek toleran dan intoleran, memiliki aspek universal dan partikular, seperti yang dipahami dan dipraktekkan para penganutnya. 

Tidak ada satu pun Negara yang bisa mengklaim telah menjamin  hak-hak setara semua penganut agama dan non-agama warganya. Selalu ada kesenjangan dalam konstitusi yang selalu bisa berubah dan ditafsirkan, dan selalu ada kesenjangan antara konstitusi dan pelaksanaan di lapangan.  Setiap Negara menciptakan batasan-batasan hukum siapa warga negara dan siapa bukan warga negara. Juga siapa warga negara yang paling nasionalistik dan loyal kepada Negara dan warga negara yang dianggap tidak cukup dan bahkan tidak nasionalistik dan tidak loyal kepada Negara. 

Konflik mayoritas vs minoritas ini – mentalitas dan prakteknya, seharusnya bisa dikurangi jika bentuk Negara dan jalannya pemerintahan menjamin hak-hak yang setara setiap warga negara, dan menekan kewajiban yang sama setiap warga negara, terlepas dari jumlah mayoritas atau minoritas, banyak atau sedikit. Hal ini tidaklah mudah, karena selalu ada rasa lebih tinggi atau superior ketika jumlah kelompok agama, etnik, kelas sosial, lebih besar dari kelompok-kelompok agama, etnik, kelas, yang lain.

Idealnya, bukan negara khilafah, bukan juga negara sekuler yang anti-agama, bukan juga negara yang pro-agama tertentu, apapun agamanya. Negara Pancasila terbukti relatif efektif, menjadi kompromi ideologis minimalis antara kekuatan sekuler dan Islamis di tahun 1940-an, dan berlangsung hingga sekarang meskipun sudah dianggap selesai oleh mayoritas warga dan regim yang silih berganti.

Dalam kenyataannya, Pancasila juga menyisakan tantangan dan problema bagaimana menjamin hak-hak yang setara setiap warga negaranya tanpa kecuali.

Bagaimana hak warga negara yang tidak mengikuti agama monoteistik (di luar ketuhanan yang maha esa) dan mereka yang tidak beragama formal seperti agama-agama yang enam?

Bagaimana hak minoritas agama dalam agama yang sama yang dianggap menyimpang secara doktrin dari doktrin mayoritas kebanyakan, padahal mereka adalah warga negara?

Bagaimana hak-hak mereka yang berorientasi seksual dan jender yang tidak mayoritas, hak-hak mereka yang ingin menikah melampaui satu agama saja, hak-hak rakyat kelas bawah, hak-hak penganut agama lokal, hak-hak pengucap bahasa daerah yang makin punah, dan hak-hak lain yang dilihat oleh mayoritas sebagai tidak sepenting hak-hak mayoritas mereka itu?

Pada akhirnya, hidup adalah perjuangan: perjuangan menuntut hak-hak sebagai manusia, dan perjuangan menjalankan kewajiban sebagai anggota masyarakat yang majemuk. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *