Habib Muhammad bin  Habib Abdurrahman    bin    Ahmad     bin    Abdul Qadir  bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad  (Al-Qhadi)  bin  Umar  bin  Thoha (Al-Qhadi) bin Umar bin Thoha  bin Umar ash- Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh  Muhammad (Maula  Ad-Dawilayh) bin Syekh Ali (Shohibud Dark)  bin  Sayyidina  Al-Imam Alwi  Al-Ghuyur bin  Sayyidina  (Al-Imam Al-Faqih  Al- Muqaddam) Muhammad bin Sayyidina  Ali bin Sayyidina     (Al-Imam)    Muhammad    (Shohib Marbath)  bin  Sayyidina  Ali (Al-Imam Kholi Qosam)  bin  Sayyidina  Alwi bin Sayyidina  (Al-Imam) Muhammad (Shohib  As-Shouma’ah) bin Sayyidina  (Al- Imam)  Alwi Alawiyyin  (Shohib   Saml)  bin  Sayyidina   (Al-Imam)  Ubaidillah (Shohibul Aradh) bin Sayyidina  (Al-Imam Al-Muhajir) Ahmad bin Sayyidina Al- Imam  Isa  (Ar-Rumi)  bin  Sayyidina   Al-  Imam  Muhammad  An-Naqib   bin Sayyidina  Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina  Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina  Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin  Sayyidina  (Al-Imam) Ali Zainal Abidin bin  (Al-Imam As-Syahid  Sayyidi  Syabab  Ahlil Jannah) Sayyidina  Al- Husein    Rodiyallahu   bin   Sayyidah    Fatihmah   Az-Zahra   binti   Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Belajar  ilmu itu kepada  siapa  saja  tidak  apa-apa, asalkan  sang  guru menguasai bidang yang diajarkan  dan orangnya shalih.”

Kini kita sulit menemukan tokoh-tokoh ulama yang keseriusan, kesungguhan, dan kerajinannya dalam menimba ilmu seperti pendahulu- pendahulu  mereka  di masa  lalu.  Seandainya ada  pun,  bisa  dihitung  dengan jari. Habib  Umar  bin  Abdurrahman bin  Ahmad  Assegaf,  pemimpin  Ma`had dan  Majelis Ta’lim Al-Kifahi  Ats-Tsaqafi, adalah satu  di antara  mereka  yang sedikit itu.

Ia, yang biasa dipanggil Ustadz Umar oleh murid-muridnya, lahir pada tanggal  11  Oktober   1949   di  daerah  Bukit  Duri,  Tebet,   Jakarta   Selatan. Ayahnya  tokoh yang sangat  dikenal, Habib  Abdurrahman bin Ahmad  Assegaf, pendiri   madrasah  Ats-Tsaqafah   Al-Islamiyyah.   Sedangkan  ibunya   seorang wanita shalihah, Hajjah Barkah.

Semua   saudaranya  yang   laki-laki,  Habib   Muhammad,  Habib   Ali, Habib  Alwi, dan  Habib  Abu  Bakar,  sejak  muda  hingga  kini juga  berkiprah dalam bidang dakwah  dan pendidikan umat.

Sejak  kecil Ustadz  Umar  telah  dididik  oleh  ayahnya  dengan keras. Setiap  habis ashar  ia menyuruhnya membaca qashidah Al-Burdah seluruhnya sampai  datang   waktu  maghrib.  Sesudah itu  membaca ratib  dan  belajar  Al- Quran  hingga  waktu isya tiba. Ia juga belajar  berbagai  kitab kepada ayahnya.

Selain kepada sang ayah,  ia pun belajar Al-Quran kepada ibunya.

Bahasa Inggris

Dasar-dasar ilmu agama  pertama-tama diperolehnya di madrasah sang ayah.  Selain di madrasah, ia juga bersekolah di SD Bukit Duri Puteran  Pagi II, yang diselesaikannya tahun  1964.

Selesai SD, ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk  melanjutkan sekolah meskipun  memiliki keinginan  belajar  yang sangat  kuat. Namun  hal itu tidak mematahkan tekadnya untuk menuntut ilmu, demi masa depannya. Karenanya,  ia   terus   belajar   dan   mencari   jalan  agar   bisa   mendapatkan tambahan ilmu.

Maka  mulailah ia mengikuti  kursus  bahasa Inggris di Diponegoro, di daerah Kramat,  Jakarta  Pusat,  dan  kemudian di Masjid Arif Rahman  Hakim, Salemba,   Jakarta  Pusat.  Ia sungguh-sungguh  serius  ingin menguasai bahasa Inggris. Karena  itu, setelah  tidak lagi mengikuti  kursus, ia mendatangkan guru privat ke rumah.

Guru  private-nya  yang  pertama adalah seorang  pengajar  senior  yang sudah  agak tua,  bernama Umar Ba`syin, seorang  Hadhrami yang ahli bahasa Inggris.   Tak   kurang   dari   delapan  tahun    Ustadz   Umar   menimba   ilmu kepadanya.

Setelah  tidak  lagi  belajar  kepada  Umar  Ba`syin,  ia  mendatangkan seorang  guru  berkebangsaan Irlandia yang  tinggal di  daerah Menteng  Atas. Tetapi Ustadz Umar hanya  dapat  belajar sekitar setahun  kepadanya.

Ia juga mengikuti privat bahasa Belanda  kepada seorang  Jawa Katholik yang  kemudian masuk  Islam, Mr. Poniman.  Sedangkan gurunya  ini belajar tentang aqidah, shalat, dan lain-lain kepadanya. Agak lama Ustadz Umar menimba  ilmu   darinya.    Meski  tidak   sampai    menguasai,  cukup   banyak peribahasa bahasa Belanda  yang dihafalnya. Ketika anak-anaknya masih kecil, kepada mereka  ia ajarkan  peribahasa-peribahasa itu, sehingga  mereka  hafal. Sekarang,    ia  ajarkan   kepada  cucu-cucunya.  “Buat   gagah-gagahan  saja,” katanya  bergurau.

Berbagai   cara   dilakukan   Ustadz  Umar   untuk   mendapatkan  biaya kursus.  Salah  satunya   berjualan  koran,   yang  dijalaninya  kurang  lebih  dua tahun.   Ia  pun   mendapatkan  tambahan  penghasilan  dengan  berjualan  di pengajian mingguan  kaum ibu. Bermacam barang  dagangan ia sediakan. Ketekunan  belajar bahasa juga membantunya mendapatkan tambahan biaya. Dengan  kemampuannya, ia dapat  mengajarkan bahasa Inggris kepada orang-orang lain.

Ilmu Agama

Sejak  lulus SD,  telah  tumbuh  keinginan  yang  kuat  dalam diri Ustadz Umar untuk  mendalami ilmu-ilmu agama. Setiap  Jum’at pagi dan  Ahad  pagi, ia  pergi  menuntut ilmu  kepada Habib  Muhammad  Al-Haddad   di  Al-Hawi, Cililitan, Jakarta  Timur. Ia belajar bersama santri-santri Habib Muhammad.

KH. R. Abdullah bin Nuh, ulama terkemuka  dan ahli bahasa Arab, juga salah seorang  gurunya.  Ia pula yang kemudian mengganti  nama  majelis Ustadz Umar  menjadi  Al-Kifahi Ats-Tsaqafi (Perjuangan Kultural) setelah sebelumnya Ustadz  Umar   menamainya  Najahuth-Thalibin.  Pertama  kali  Ustadz  Umar belajar kepadanya adalah di kediamannya di Gang Lontar, Percetakan Negara, Jakarta  Pusat.

Kira-kira setahun  mengaji  di sini, sang  guru pindah  ke daerah Sumur Batu, Cempaka Putih, masih di Jakarta  Pusat.  Maka ia pun pindah  mengaji ke sana.   Nurul-Yaqin,   Al-Hushunul   Hamidiyah,  dan   Qawaid   Al-Lughah   Al-`Arabiyyah adalah kitab-kitab yang ia baca kepadanya.

Untuk  mendapatkan  keberkahan dalam  belajar,  sejak  muda   Ustadz Umar  selalu  menjaga  adab  terhadap guru-gurunya dan  berusaha melakukan apa   saja  yang  dapat   membuat  mereka   ridha   kepadanya.  Di  rumah   KH. Abdullah  bin  Nuh   yang   sangat   sederhana,  misalnya,  ia  tak  segan-segan memompa air  untuk  mengisi  kolam meskipun  tidak  disuruh.  Sungguh  suatu teladan  yang baik dan  patut  ditiru oleh mereka  yang ingin meraih  keberkahan dan keridhaan guru.

Baru setahun  mengaji di Sumur Batu, KH. Abdullah bin Nuh pindah  ke Kota Paris,  Bogor.  Bagi orang  yang  semangatnya biasa-biasa saja,  mungkin mengajinya akan  langsung berhenti  dengan pindahnya sang  guru  ke tempat yang cukup jauh. Tetapi semangatnya yang luar biasa membuatnya ingin tetap mengaji dan KH. Abdullah bin Nuh pun tak keberatan. Ia diberi waktu mengaji malam Ahad  dan  diminta  datang  Sabtu  sore.  Sayangnya, karena  kondisi fisik sang guru yang tak memungkinkan, pengajian ini hanya  berlangsung beberapa kali dan tidak dapat  dilanjutkan.

Ustadz  Mahmud   Bahfen,  dosennya  di  Universitas  Muhammadiyah, juga  ia  datangi.   Kepadanya  ia  mempelajari  tarikh  dengan  membaca  kitab Tarikh Al-Khulafa’, karya As-Suyuthi.

Sepulangnya belajar  dari tempat  Ustadz Mahmud  Bahfen, ia langsung mengaji  lagi kepada Habib  Husain  Al-Habsyi  di  Kampung  Melayu,  Jakarta Timur.  Kepada   wartawan   senior  ini,  ia  mempelajari   kitab  An-Nashaih   Ad- Diniyyah dan  surat kabar-surat kabar  berbahasa Arab. Namun  karena  kondisi Habib Husain yang sudah  sakit, masa belajarnya  kepadanya tidaklah lama.

Pada  awal 1970-an Ustadz Umar mengikuti kuliah di Fakultas Tarbiyah Universitas   Muhammadiyah,  Jakarta.  Kemampuannya  yang   bagus   dalam bahasa Inggris sangat  membantunya dalam mengikuti kuliah dan membuatnya disenangi  para  dosen  dan teman-temannya. Apalagi ia juga menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama  dengan baik.

Berkat  kesungguhannya,  pada   tahun   1976  ia  dapat   menyelesaikan kuliah hingga sarjana muda.  Hal itu melengkapi  kebahagiaannya, karena  tahun sebelumnya,  tepatnya  pada   12  Februari   1975,   ia  telah  diangkat   sebagai pegawai  negeri dan ditempatkan sebagai  guru.

Jum’at  3  Desember   1976,  Ustadz  Umar  resmi  menjadi  suami  gadis idaman  hatinya  yang sekaligus muridnya  di madrasah Ats-Tsaqafah, Muslihah namanya, yang kemudian dikenal sebagai  Ustadzah Hj. Muslihah dengan panggilan  akrab  Ummi  Mus.  Sejak  awal  pernikahan,  sang  istri telah  sangat berperan dalam  melancarkan  dan  memberikan  dorongan kepadanya  untuk menimba ilmu dari satu guru ke guru yang lain.

KH. Ahmad  Djunaidi

Setelah  ia  menikah,   guru  pertamanya yang  kemudian menjadi  guru utamanya  adalah  K.H.  Ahmad   Djunaidi.  Awal  kisah  mengajinya  tergolong unik.  Hingga  satu  hari  sebelum  mulai  mengaji,   ternyata   ia  belum  pernah melihatnya. Ia hanya  pernah  diceritai oleh seorang  muridnya  bernama Alimin bahwa  ada  seorang  ulama asal Pedurenan, Jakarta  Selatan,  yang sangat  alim, K.H. Ahmad Djunaidi.

Mendengar  cerita Alimin, Ustadz Umar menjadi  penasaran dan tertarik. Maka di hari itu, Ahad malam Senin, 5 Desember  1976, di hari walimah pernikahannya, ia segera minta ditemani  oleh muridnya  itu menuju  rumah  KH. Ahmad Djunaidi. Pergilah mereka menuju  kediamannya.

Sesampainya  ia  di  sana,   ternyata   sang   guru   sedang   mengajar   di mushalla. Setelah mendengarkan pengajiannya hingga selesai, ia segera menemuinya,  memperkenalkan   diri,  dan   menyatakan  keinginannya  untuk belajar.

KH.   Ahmad    Junaidi    langsung   menerima   dan   mempersilakannya datang  keesokan  harinya.  Pagi harinya,  Senin 6 Desember  1976,  menjadi  hari pertama Ustadz Umar belajar kepadanya yang terus ditekuninya  setiap hari.

Demikianlah,  bulan  madu   dan  berguru  bertemu   dalam  satu  waktu. Hingga  sang  guru  berpulang ke rahmatullah pada  23  Februari  1997,  Ustadz Umar  terus datang  mengaji  secara  pribadi  setiap  hari mulai  jam 6.00  sampai jam  8.00.  Bahkan   di  saat  sang  guru  sakit  pun  ia  tetap  datang,   terkadang mengaji  di kamarnya. Bayangkan, dua  puluh tahun  mengaji  tanpa  henti! Di zaman sekarang,  ini suatu hal yang langka dan kelebihan yang istimewa.

Di antara  kitab-kitab  yang dibacanya kepada sang guru adalah Fathul Qarib,   Tijan   Ad-Darari,   An-Nashaih   Ad-Diniyyah,   Ad-Da`watut-Tammah, Fathul Mu`in (sampai  rub`ul mu`amalat, bagian  muamalah), At-Tawsyih, Al- Mukhtar   Asy-Syafi,   Mizan   Adz-Dzahab,    Idhah   al-Mubham,   Syarah    Ar- Rahbiyah,  Mabadi Awwaliyah, As-Sullam, Al-Bayan, Al-Waraqat.

Ustadz Umar merasa  puas mengaji kepadanya. Ia benar-benar mendapatkan ilmu yang ia harapkan. Yang juga membuatnya senang  mengaji kepada Kyai Ahmad  Djunaidi  adalah,  kalau  ada  masalah-masalah  yang  sulit  dan  belum  terselesaikan   ketika  mengaji,   sang  guru  tidak  hanya   menjawab sekenanya atau  kira-kira, melainkan  ditundanya dan  beberapa hari kemudian ia tunjukkan jawabannya pada  kitab-kitab yang ditelaahnya.

KH. Ahmad Djunaidi adalah seorang  ulama yang menguasai al- madzahibul arba`ah (madzhab fiqih yang  empat),   juga  menguasai berbagai cabang  ilmu keislaman. Ia pun mampu mengarang dalam bahasa Arab dengan sangat  baik dan dapat  membuat syair-syair yang bermutu.  Sulit mencari  ulama di Jakarta  yang kualitasnya seperti dia.

Muallim Syafi`i Hadzami

Sepeninggal KH. Ahmad Djunaidi, rasa hausnya akan ilmu tak menjadi sirna.  Maka  untuk  memenuhi  dahaganya akan  ilmu  ia  memutuskan  untuk mengaji kepada KH. Muhammad Syafi`i Hadzami,  seorang  allamah yang juga tak diragukan  penguasaan keilmuannya.

Maka segera  ia mendatanginya dan  menyatakan keinginannya untuk mengaji.  Pada  awalnya Ustadz Umar diberi waktu mengaji  setiap  Senin  pagi. Pertama yang  dibacanya kepada  sang  guru  adalah kitab  Fathul Mu`in bab munakahat   (pernikahan),   melanjutkan   bacaannya   kepada   KH.   Ahmad Djunaidi.

Di hadapan Muallim  Syafi`i Hadzami,   Ustadz  Umar  selalu menjaga adab  sebagaimana yang  ditunjukkannya kepada KH. Ahmad  Djunaidi.  Tidak pernah   mendesak  guru   dengan  pertanyaan  yang   sampai   membuat  guru menjadi    tidak    suka.    Kalau   memang    masalah   yang    ditanyakan   tidak mendapatkan jawaban   yang  memuaskan dan  kelihatannya kalau diteruskan akan  membuatnya tidak senang,  ia hentikan.  Dalam kesempatan lain ia akan mencoba  menanyakannya  lagi.  Tetapi  seandainya  tetap  tidak  bisa terpecahkan,  ia  akan  menghentikannya  sampai  di  situ  dan  tidak mengungkitnya lagi.

Setelah  berlangsung sekitar  tiga bulan, ia meminta  tambahan waktu. Melihat kesungguhan dan akhlaqnya, Muallim tak keberatan memenuhi permintaannya dan  memberikan waktu  lagi pada  hari  Kamis dan  kemudian ditambah  lagi  pada  hari Selasa  dan  Sabtu.  Jadi,  seminggu  ia mengaji  empat kali kepadanya.

Demikianlah, akhirnya  selama  hampir  sepuluh tahun  ia terus mengaji berbagai  kitab  kepada Muallim  Syafi`i  Hadzami.  Tentu  banyak  ilmu,  kesan, dan  pengalaman yang  didapatnya. Hingga  hari Sabtu  tanggal 6 Mei 2006,  ia tetap mengaji kepada sang guru dan itulah saat terakhir pertemuan dengannya. Karena  keesokan  paginya,  7 Mei 2006,  KH. M. Syafi`i Hadzami  berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan pulang dari mengajar  di Masjid Ni`matul Ittihad Pondok  Pinang,  Jakarta  Selatan.

Kesungguhan   dan  akhlaqnya  terhadap guru  membuat Ustadz  Umar dicintai oleh Muallim Syafi`i Hadzami.  Di berbagai  tempat,  ia sering memuji Ustadz  Umar,   baik  kesungguhannya,  ilmunya,   maupun  akhlaqnya.  Bukan hanya  mencintainya, Muallim juga menghormatinya.

Tidak Fanatik

Di samping  belajar  kepada beberapa habib,  Ustadz Umar juga banyak menuntut  ilmu   kepada  ulama   yang   bukan    habib.   Mengenai   alasannya mengapa banyak  belajar  kepada ulama yang  bukan  habib,  ia  mengatakan, “Datuk-datuk  kita  (para   habib   di  masa   lalu)  banyak   belajar  kepada  para masyaikh.  Jadi bukan  hanya  belajar kepada para  habib.  Belajar ilmu itu sama siapa  saja, tidak apa-apa, asalkan sang guru menguasai bidang  yang diajarkan dan juga orangnya shalih.

Itu  dalam  masalah  ilmu.  Sedangkan  masalah  keturunan  berbeda. Karena  itu,  seseorang  yang  mencintai  habaib  tidak  boleh pilih-pilih. Ia tidak boleh  hanya   cinta  kepada  habaib   yang  berilmu.  Ia  mempunyai  kewajiban untuk mencintai  semua  habib, baik yang berilmu maupun tidak.”

Sebagian orang mungkin ada  yang hanya  mau  belajar kepada habaib, atau  ada  juga yang hanya  belajar  kepada habaib  dari keluarganya, tidak mau kepada habaib  yang lain. Ada juga yang  hanya  mau  belajar  kepada kiai saja. Ada  pula yang  fanatik kedaerahan, sehingga  maunya hanya  belajar dengan orang  yang  sedaerah. Ustadz Umar tidak demikian.  Ia berprinsip  akan  belajar kepada siapa saja dan dimana  saja. Ia tidak mau fanatik ini, atau fanatik itu.

Mengajar  dengan Penuh Kesungguhan

Selain serius belajar, ia pun  bersungguh-sungguh dalam mengajar.  Di madrasah ayahandanya, Ustadz  Umar  biasanya  mengajar   nahwu,  fiqih, dan tauhid. Menjelang zhuhur sekembalinya dari mengajar, ia kembali ke rumah.

Sehabis   zhuhur   ia  berangkat   mengajar   ke  Slipi,  tepatnya  ke  SDI Teladan.   Ia mengajar   di  sini dalam kapasitasnya sebagai  guru  negeri,  yang diangkat  oleh Pemda  DKI. Tahun  1975  ia telah diangkat  menjadi  PNS,  yang terus  dijalaninya  hingga  tahun  1992,  saat  mengajukan  permohonan pensiun dini.

Di tahun-tahun awal pernikahannya, ia pun masih mengajar  di Islamic Center,  Kwitang, Jakarta  Pusat,  yang telah dijalaninya sejak tahun  1974.  Yang mengajar  di sini adalah para  guru senior, di antaranya Syaikh Hadi Jawas  dan Habib Syech Al-Musawa.

Mengembangkan Majelis

Di  awal  pernikahannya,  Ustadz  Umar  juga  mulai  membuka  majelis ta’lim  hari  Ahad  di  rumahnya. Murid-murid  pengajiannya terus  bertambah. Mulai  hanya   sekitar  dua  puluh  atau  tiga  puluhan,  terus  meningkat,   hingga sekarang   mencapai  ribuan   orang.   Barangkali  pengajian  kitabnya   adalah pengajian  kitab yang paling banyak  jama’ahnya di Jakarta.

Ustadz    Umar    juga    mengasuh   santri-santri    yang    bermukim    di tempatnya. Hanya  saja, karena  keterbatasan tempat,  jumlah santri pun sengaja dibatasi,  hanya  40 santri. Meski demikian,  sejak awal, proses belajar-mengajar di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi ini dapat  berjalan dengan stabil. Para  santri merasa  senang dengan apa yang mereka terima. Bukan hanya  ilmu, tetapi juga perhatian dan  kedekatan  Ustadz  Umar  sekeluarga,   terutama  (almarhumah) Ummi  Mus,  yang  membuat mereka  merasa   betah.   Tercatat  di  antara   yang pernah  bermukim di sini adalah Habib Munzir Almusawa.

Keberhasilan  Ustadz Umar  mengelola majelis ta’lim dan  pesantrennya memang  tak terlepas dari  sentuhan Ummi Mus. Ia benar-benar turun  tangan mengurusi  segalanya. Masalah makan  santri, misalnya, diperhatikannya benar. Perhatian  Ummi   Mus  kepada  para   santri   bukan   hanya   dalam  masalah makanan  atau   yang   berkaitan   dengan  kegiatan   belajar.   Masalah-masalah pribadi   pun   tak  luput  dari  perhatiannya.  Beberapa  santri  yang  kebetulan menikah  di saat-saat  mereka  belajar  atau  setelah  mengabdi di sini merasakan benar  hal itu.

Tahun  2004  Ustadz Umar  harus  menghadapi ujian yang  cukup  berat. Pada  suatu  hari di bulan Oktober  menjelang puasa,  ia mendengar kabar  yang sangat  mengejutkan:  Ummi  Mus menderita kanker  melanoma, kanker  yang sangat  ganas,  sehingga  harus  mendapatkan penangan segera.  Maka sejak itu Ustadz  Umar  terus  mendampingi  Ummi  Mus  berobat   ke  sana-kemari,  baik medis maupun alternatif.

Meskipun tak dapat  menyembunyikan kesedihannya yang  hingga  kini masih tersisa, Ustadz Umar merasa  bersyukur.  Karena, sejak istrinya sakit tahun 2004     hingga    saat-saat     terakhir    kehidupan    istrinya,    ia    dapat     terus mendampinginya serta menunjukkan kesetiaan  dan cintanya.

Sejak  Ummi Mus menderita sakit, Ustadz Umar  sangat  bersedih.  Dari waktu  ke waktu  ketika penyakitnya bertambah  parah,  kesedihan itu semakin bertambah.  Bahkan,    sejak   sekitar   dua   setengah    bulan   atau   tiga   bulan menjelang  sang istri meninggal dunia,  ia sering menangis  ketika mengajar. Juga sering tertidur  dalam majelis karena  kurang  tidur,  sebab  selalu mendampingi sang istri.

Ustadz Umar pernah  berujar, “Inilah saatnya  untuk benar-benar menyenangkannya serta menunjukkan kesetiaan  dan  cinta saya setelah  sekian lama ia mengabdi kepada saya. Sekarang  ia terbaring sakit, saya mesti menyenangkannya.”

Pada  Jum’at malam Sabtu  tanggal 26  September 2008,  Ummi  Mus memenuhi panggilan Allah Ta`ala, meninggalkan kenangan yang sangat indah di hati Ustadz Umar dan anak-anaknya yang tak mungkin terlupakan.

Sumber :  Buku 27  HABAIB  BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya  Intelektual dan Karya  Sosial Habaib Betawi dari  Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor:  H. Rakhmad Zailani  Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh :  JAKARTA ISLAMIC CENTRES [Periset : Adithiya Warman,  S.Si.]

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *