Minangkabau merupakan salah satu pusat pengamalan thariqat-thariqat shufiyyah di Indonesia. Thariqat Shufiyyah masuk seriring perkembangan agama Islam di daerah ini. Hingga saat ini, keadaan masih tetap sama; Minangkabau tetap sebagai daerah basis Islam yang mempunyai pengamal thariqat yang cukup padat.

Setidaknya terdapat beberapa thariqat mu’tabarah yang mempunyai pengaruh luas di kalangan muslim Minangkabau dewasa ini. Mulai dari Syattariyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sammaniyah, hingga beberapa thariqat lainnya. Dari beberapa thariqat yang berpengaruh tersebut, Thariqat Syadziliyyah, hampir tidak pernah disebut, terutama oleh penulis-penulis sejarah keislaman di daerah ini.

Thariqat Syadziliyyah, thariqat mu’tabarah yang dinisbahkan kepada Imam Abul Hasan al-Syadzili, merupakan salah satu ordo sufi yang berkembang pesat di berbagai belahan dunia Islam hingga saat ini. Thariqat ini ditopang oleh ulama-ulama besar, seperti Imam Ibnu Atha’illah al-Sukandari, ulama al-Azhar al-Syarif, penulis al-Hikam yang masyhur tersebut. Termasuk juga di dalamnya Imam al-Jazuli penyusun Dala’il al-Khairat dan Imam al-Bushiri pengarang al-Burdah al-Madih. Karya-karya adi luhung yang ditulis oleh pengamal Thariqat Syadziliyyah ini, yaitu al-Hikam, Dala’il al-Khairat, dan al-Burdah al-Madih, menjadi bacaan dan wirid kaum muslimin di banyak tempat.

Thariqat Syadziliyyah menggunakan hizib dan aurad sebagai pengamalan dalam mendidik rohani salik-nya. Di antara hizib/ aurad tersebut, yang terkenal, ialah Hizib Bahar, Hizib Barr, dan Hizib Nashr. Hizib-hizib ini diamalkan dengan syarat ijazah amal dari seorang syaikh yang mempunyai ijazah sanad.

Di Minangkabau, Thariqat Syadziliyyah, terlacak lewat aktivitas keilmuan Maulana Syaikh Isma’il al-Khalidi Simabur al-Minangkabawi al-Makki atau yang dikenal dengan “Baliau Simabua” (Simabur-Batusangkar). Beliau lebih dikenal sebagai ulama besar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, murid dari Sayyid Abdullah Afandi di Jabal Abi Qubaisy. Beliau pula yang menghubungkan sanad keilmuan anaksiak Minangkabau dengan Jabal Abi Qubaisy (Mekkah) yang merupakan lokus Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah pada abad 19. Padahal beliau, disamping menulis nisbah al-Khalidi (Naqsyabandiyah Khalidiyah) di belakang namanya, juga mengiringi nisbah itu dengan al-Syadzili, yang membuktikan bahwa beliau juga pemangku (mursyid) Thariqat Syadziliyyah. Bahkan beliau pernah mensyarah dalam bahasa Melayu Kitab Mawahib Rabbil Falaq karya Ibnu Bintil Milaq, kitab yang berisi asas-asas Thariqat Syadziliyyah. Kitab syarah ini pernah dicetak di Mekkah (Maktabah al-Miriyyah al-Ka’inah) di akhir abad 19 dan di Bukittinggi (Maktabah Islamiyyah) pada awal abad 20.

“Min Kibaril Ulama’il Jawi”, di antara ulama besar Nusantara, begitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau menyebut sosok Baliau Simabua ini, yang menunjukkan bagaiman posisinya di kalangan ulama terutama yang berasal dari Negeri Bawah Angin saat itu. Baliau Simabua dapat disebut sebagai Syaikhul Masyaikh yang mempunyai pengaruh besar di Minangkabau setelah Syaikhul Islam Syaikh Burhanuddin Ulakan dan Syaikh Tuanku Koto Tuo. Posisi ini merupakan hal yang dapat dipahami, karena Baliau Simabua mendidik ulama-ulama besar Minangkabau pada abad 19. Sebutlah nama-nama besar dan legendaris, seperti Maulana Syaikh Abdurrahman Batuhampar, Syaikh Abdul Halim Labuah Simabua, Syaikh Muhammad Yatim Padang, Syaikh Mustafa al-Khalidi “Baliau Sungai Pagu”, Syaikh Muhammad Shaleh Silungkang, dan Syaikh Muhammad Thahir “Baliau Barulak”.

Dalam manuskrip peninggalan Baliau Batangkapeh (Pesisir Selatan), disebutkan bahwa Syaikh Isma’il al-Khalidi atau Baliau Simabua menerima Thariqat Syadziliyyah dari Qutub Zaman Syaikh Muhammad Shaleh bin Syaikh Ibrahim al-Ra’is, Mufti Mazhab Syafi’i di Mekkah. Selain izin mengamalkan, syaikh tersebut juga memberikan ijazah irsyad sesuai kepatutan dan adab dalam ilmu thariqat.

Syaikh Isma’il “Baliau Simabua”, yang mengajar hingga wafat di Mekkah tersebut, mengkader ulama-ulama yang kemudian berperan penting dalam lapangan agama di abad 20. Di antara yang mempunyai sanad keilmuan dengan Syaikh Isma’il ialah ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Di samping ilmu akidah, fiqih, tata bahasa Arab, ulama-ulama tersebut juga tersambung dari segi ilmu dan amal thariqat. Salah satu ulama PERTI yang mempunyai ijazah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Syadziliyyah ialah Syaikh Abdul Wahid al-Shalihi Tobekgodang, mu’assis Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobekgodang.

Pada perkembangan selanjutnya, nama Thariqat Syadziliyyah tidak begitu dikenal di kalangan anaksiak (santri), sebab lebih familiar dengan hizib-hizib yang merupakan wirid dari Thariqat Syadziliyyah tersebut. Dua Hizib yang kemudian pernah berkembang, dan saat ini menjadi yang hal cukup langka, ialah Hizib Barri dan Hizib Bahar. Kita perlu mengenal nama Ongku Jaharuddin Thaha (anak yang Mulia Syaikh Muhammad Thaha “Baliau Limbukan”), saudara Nasharuddin Thaha (lulusan al-Azhar, pernah penjabat Ketua Mahkamah Syar’iyyah Sumatera Tengah), sebagai pemangku Hizib Bahar, dan Syaikh Mahmud Abdullah Tarantang – Harau (Payakumbuh), sebagai pemangku Hizib Barri.


Catatan: Apria Putra, yang dilaqabi oleh gurunya dengan “Ongku Mudo Khalis”, menerima ijazah Hizib Bahar (atau dalam bahasa daerah disebut Do’a Sunu Bahar) dengan syarat-syaratnya dari pada al-marhum Tuanku Mudo Baliau Rasyid Zaini (lahir 1916, wafat 2008). Beliau menerima ijazah Hizib ini dari guru beliau Ongku Jaharuddin Thaha bin Syaikh Muhammad Thaha “Baliau Limbukan”, mu’assis Ma’had Dini Limbukan – Payakumbuh. Beliau menerima di masa Kolonial, sebelum era kemerdekaan. Guru saya tersebut bercerita bahwa ijazah hizib ini khas diberikan oleh Ongku Jaharuddin Thaha kepada beliau seorang saja. Beliau menghafal Hizib Bahar dari pagi sampai sore, melalui lisan gurunya tersebut.

Apria Putra menziarahi guru saya, alm. Tuanku Mudo Baliau Rasyid Zaini, kemarin.

Seperti biasa, pada hari baik bulan baik, Apria Putra mengunjungi gurunya tersebut di Tanjuang Onau, Indobaleh Barat, Nagari Mungo. Ini merupakan tradisi yang lazim baginya. Sekedar membaca al-Fatihah dan Surat al-Ikhlas, sudah membuat hati lega. Meskipun beliau sudah wafat, belasan tahun yang lalu. Yang guru tetaplah guru, tidak mengenal istilah “wafat”.

Alfatihah….

Padangmangateh, 24 April 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *