Dalam dunia filsafat, kita pernah belajar “semiotika” atau ilmu tentang tanda. Elemen penting dalam semiotika ada dua yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Ferdinand de Sausure salah seorang tokoh bidang ini menjelaskan bahwa penanda (signifier) adalah  citra-bunyi (sound image), simbol, verbal. Sedangkan petanda (signified) adalah konsep yang diacu.

Memang, Sausure menegaskan bahwa tidak ada makna mutlak antara penanda dan petanda. Sebagai sebuah tanda, penafsir bisa mengajukan makna lain. Dan untuk menemukan makna yang substansial, perlu menyandingkan dengan makna-makna lain.

Belakangan kita dihebohkan oleh istilah Good Looking dan K-Pop. Sebagai sebuah penanda, kita bisa menggali makna dari petanda dan makna makna lain untuk disandingkan.

Good Looking, sebenarnya bukan untuk memberi citra rasa jelek bagi orang-orang yang sholeh. Tapi istilah itu lahir dari sebuah keprihatinan yang menggejala, dimana keshalehan simbolik lebih dipercaya daripada kesalehan yang hakiki. Dengan modal sorban, jenggot tebal, jidat hitam, dan sedikit celak dibawah kelopak mata, seseorang sudah bisa menghakimi orang lain sesat, khurafat, kafir, munafiq, ahli bid’ah yang dlalalah. Sekalipun orang orang ini baru mengenal Islam, baru hijrah, dan baca al-qur’annya masih belum.sepenuhnya benar. Bahkan komunitas good looking yang baru hijrah dan baru belajar Islam dari terjemahan sudah bisa ceramah dimana-mana. Wajar kalau materi ceramahnya provokatif dan tendensius. Dan tidak sedikit dibumbui gerakan hafal qur’an.

Oleh karena itu, pesantren-pesantren yang sejak awal sudah bergelut dengan al-qur’an dan melahirkan banyak hafidz, bahkan banyak melahirkan fuqoha yang alim dan allamah santai menghadapi jargon good looking. Kenapa? Karena paham betul maksud ungkapan tersebut, dan kemana arahnya. Ternyata pesantren yang jumlahnya ratusan ribu atau bahkan lebih, telah menggunakan pisau analisa semiotok tanpa harus belajar semiotika.

Terkini adalah pemelintiran ungkapan  K-Pop dan Korea dari Wapres. 

Padahal kalau mau sedikit cerdas, konteks pembicaraan Wapres adalah kerjasama antara Indonesia dan Korea. Sinergi antar kedua negara perlu dibangun, perlu saling belajar kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Harus diakui, kreatifitas anak muda Korea telah mampu membuat K-Pop mendunia. Termasuk kenegara yang selama ini jadi rujukan musik.

Nah, dalam konteks ini generasi muda Indonesia bisa belajar dari generasi muda Korea, bagaimana caranya agar tangan-tangan kreatif anak muda ini (apapun kreasinya) bisa mendunia seperti mendunianya K-Pop.

Begitulah cara pandang dan  analisa kita semestinya. Good Looking, K-Pop adalah penanda (signifier), sedangkan pola pikir istan atas nama hijrah, Islam simbolik, dan massifikasi kreatifitas anak muda adalah petanda (signified)

Tapi sekali lagi, bagi kaum nyinyirinis, kadrunis, non move-on-is, lebih-lebih yang masih ngadumel karena terkena imbas UU Ormas, analisanya pake standart kaca mata kuda. Apapun bisa jadi santapan renyah dan gorengan yang gurih gurih nyoiii….. hhhmmm sampai kapan begini terus lur…..

Saatnya pelajaran mahfudzat diulang lagi :

Undzur Ma qola wala tandzur Man qola

Wa Aynur Ridlo an Kulli aibin Kalilah.. Kama anna Aynas Suhti Tubdil Madawiya

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *