Fikih merupakan produk pemikiran fukaha berdasarkan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan baik al-Qur’an, hadis dan penalaran hukum lainnya. Fikih merupakan jawaban atas problematika hukum sesuai dengan tantangan zamannya.
Dalam khazanah Islam, fikih termasuk kajian yang paling melimpah dibanding dengan disiplin ilmu lainnya. Ratusan bahkan ribuan judul literatur-literatur yang ditulis para fukaha dari era klasik hingga kontemporer. Mulai dari kitab matan, syarah hingga hasyiyah. Semuanya, melimpah-ruah dengan berbagai model penalaran hukum dari bayānī, qiyāsī hingga istislāhī.
Fikih sebagai produk hukum adalah respon terhadap persoalan yang mengemuka lintas ruang dan waktu. Tentu saja, perubahan dinamika sosial pun terjadi di dalamnya. Tak heran, jika era kontemporer ini memiliki problematika yang berbeda dengan era sebelumnya.
Pada konteks inilah, tuntutan untuk mengkaji ulang fikih klasik sesuai dengan kebutuhan di era kontemporer menjadi isu yang krusial. Tentu saja, mengkaji ulang fikih ini bukan berarti mengabaikan turast, tetapi justru melestarikannya agar tetap dapat diimplementasikan di kehidupan modern.
Hal ini dilakukan mengingat bahwa produk fikih bukanlah sesuatu yang tertutup. Fikih terbuka untuk direfresh paradigmanya. Oleh karenanya, telaah ulang (i’ādah nadzar) terhadap pendapat fukaha terdahulu sangat terbuka dilakukan. Misalnya, saat pendapat fukaha terdahulu dianggap tidak cocok lagi untuk dipedomani karena faktor sulitnya untuk diimplementasikan (ta‘assur, ta’adzdzur aw shu’ubah al-amal).
Secara aplikatif, mengkaji ulang (i’ādah al-nadzar) ini dapat dilakukan dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjūh), karena adanya ‘illah hukum yang baru. Mereposisi pendapat-pendapat yang lebih relevan dan maslahat inilah, inti dari penerapan i’adah al-nadzar dalam fatwa DSN-MUI selama ini.
Upaya ini merupakan jalan tengah atau moderat di antara pemikiran pakar hukum ekonomi syariah yang terlalu longgar (mutasahhil) dan ketat (mutasyaddid) dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah. Metode inilah yang ditempuh DSN-MUI dalam merespon dinamika perubahan zaman melalui fatwa-fatwa ekonominya.
Adapun basis argumentasi urgensitas mengkaji ulang fikih klasik dalam konteks “memodernisasi” fikih untuk merespon tantangan zaman kontemporer ini adalah kaidah: “Hukum itu berjalan sesuai dengan illah-nya, ada dan tidak adanya (illah) (al-hukm yadūru ma‘a ‘illatihi wujūd[an] wa ‘adam[an]).
Contoh penerapannya adalah fatwa terkait posisi wakil dalam akad sewa-menyewa; wakil boleh menyewa benda yang dipercayakan kepadanya untuk disewakan. Karena illat hukumnya akan hilang bila pemilik memberikan tarif yang jelas terhadap benda yang akan disewakan kepada wakilnya, lalu wakil menyepakati tarif tersebut dan kemudian ia menyewa sendiri harta benda tersebut sebagaimana dalam akad Musyarakah Mutanaqisah (MMq).
Contoh lain, adalah transaksi kafalah bil ujrah (pertanggungan dengan upah) dengan menyandarkan kepada pendapat sebagian kecil fukaha yang berbeda dengan jumhur fukaha yang melarangnya. Berdasarkan hal itulah bahwa Letter of Credit yang mana penjamin menerima upah dibolehkan dalam fatwa DSN MUI Tahun 2009. Hukum “boleh” ini didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakālah, hawālah dan dhamān (kafālah).
Dengan demikian, upaya mengkaji ulang fikih klasik bukan dalam rangka untuk “menghapus” substansi fikih itu sendiri. Tetapi justru merupakan upaya mengimplimentasikan pendapat lain yang relevan dengan mempertimbangkan konteks yang ada di era kontemporer.
Dari sini, i’ādah al-nadzar (telaah ulang) fikih klasik sebagai instrumen untuk “menghidupkan” kembali fikih adalah keniscayaan dalam konteks mencari metode alternatif untuk pengembangan produk akad-akad ekonomi syariah di dunia perbankan sesuai tuntutan zaman. Wallau a’lam. Senin bakda Subuh, 20 Juli 2020
Salam
No responses yet