Jaringansantri.com, Tangerang Selatan– Membudayakan agama yang berartikan menjadikan ajaran agama sebagai prilaku kehidupan umat sehari-hari dan mentradisikannya di setiap momentum itu datang, ini adalah hal positif. Tapi bagaimana jika berkonotasi budaya kedudukannya sejajar dengan agama?
Menjawab hal ini, Shofin Sugito dalam kajian khazanah hadis nusantara, mengatakan bahwa menjadikan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis itu setara dengan budaya yang notabenenya adalah ciptaan dan prakarsa manusia, ini tidak benar.
“Konotasi ini tidak benar karena agama tidak dapat disejajarkan levelnya dengan budaya,” katanya di kajian rutin Islam Nusantara Center (INC) ini. Sabtu, (27/01).
Dalam kajian tersebut, Shofin membawakan tema “Hadis dan Budaya : Pemahaman Prof. Ali Mustofa Ya’qub”. Ia mengatakan “kajian hadis dan budaya ini adalah hasil pemotretan Prof. Ali Mustofa terhadap fenomena yang ada. Bukan budaya menurut pengertian lainnya.”
Bagaimana pendapat Kiai Ali Mustofa terkait Islam Nusantara, Shofin melanjutkan, jika yang dimaksud Islam Nusantara itu adalah sejarah umat Islam yang berada di Nusantara, itu benar adanya. “Jika yang dimaksud Islam Nusantara adalah corak Islam yang berkalaborasi dengan tradisi Nusantara dan tradisi ini tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam, maka itu benar adanya,” tandasnya.
“Kalau yang dimaksud itu adalah Islam yang bersumber dari budaya Nusantara dan menjadikannya sebagai sumber utama, itu tidak benar. Karena Islam sumbernya Al-Qur’an dan Assunah,” imbuhnya.
Disamping ada membudayakan agama, ada juga fenomena mengagamakan budaya. Menurut Kiai Ali Mustofa Ya’qub, ungkapan ini juga dapat berdampak fatal karena menjadikan budaya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan seperti halnya agama.
Ungkapan ini didasarkan pada Surah Al-Hasyr ayat 7
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang dibawa Rasulullah kepada kamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarang oleh Rasulullah kepadamu, maka hentikanlah!
Kata “apa” yang di dalam ayat tadi disebut “ma”, menunjukkan arti yang umum. Maka, apa yang bersumber dari Rasulullah, baik itu berupa agama maupun budaya, wajib diikuti oleh umatnya.
“Jika pemahamannya seperti itu, maka yang terjadi adalah tidak ada pemisahan antara budaya dan agama. Pendapat seperti itu menurut beliau sangat fatal dan berbahaya,” terang Shofin yang juga pengajar di Pesantren Darussunah ini.
Rasulullah Saw bersabda;
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِي، فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ (رواه مسلم في صحيحه)
Apabila aku perintahkan kepada kamu tentang masalah agama, maka kamu wajib mengambilnya. Dan apabila aku perintahkan kepada kamu tentang masalah yang berkaitan dengan pendapatku, maka aku adalah manusia biasa.
Shofin menjelaskan bahwa dalam kajian Kajian Ushul Fiqh Surah Al-Hasyr ayat 7 di atas memberi pengertian umum, sedangkan hadis muslim tersebut memberikan khusus. Sehingga hasilya adalah keumuman dalam ayat tadi, di-takhsish dengan hadis Muslim ini.
“Ayat tersebut berkaitan dengan agama. Untuk masalah budaya maka bisa diambil, bisa tidak. Tetapi orang yang mengagamakan budaya, wajib ambil dua-duanya. Ini fatal sekali,” pungkas santri utama Kiai Ali Mustofa Ya’qub ini.(Aditia)
Comments are closed