Padangan dikenal sebagai kota cahaya. Kota yg padang njingglang. Kota yg dihuni banyak orang² alim nan keramat. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) Bojonegoro digodok di bumi Padangan.
KH. Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU, pada dekade 1930, seringkali melakukan tour silaturahim ke beberapa tokoh untuk mempertebal konsolidasi organisasi NU yg baru saja didirikan. Tokoh yg sering dikunjungi beliau adalah KHR. Asnawi Kudus.
Sepulang dari Kudus menuju Jombang, menyusuri jalur Pati, Rembang, Blora, Cepu, Padangan, Bojonegoro, Babat, kemudian ke arah selatan menuju Jombang, Mbah Wahab tak langsung pulang. Beliau menyempatkan diri singgah ke sejumlah tokoh & kiai yg lokasinya beliau lintasi. satu di antaranya, Padangan.
Saat singgah silaturahim seperti itu, Mbah Wahab sekalian mengadakan dialog terbuka yg dulu dikenal dg istilah openbaar. Sebuah dialog yg intinya memperkenalkan NU pada tokoh² yg beliau temui. Tak pelak, tiap kegiatan openbaar selalu diawasi mata intai Belanda.
Intensitas Mbah Wahab bersilaturahim ke ndalem KHR. Asnawi Kudus, berbanding lurus dg intensitas pertemuan antara Mbah Wahab dengan sejumlah kiai Padangan. Mbah Wahab sering singgah ke Padangan karena saat itu, Padangan kota yg amat strategis, baik secara geografis maupun secara atmosfer ilahiah.
Padangan adalah Kota Kawedanan yg kala itu jadi jalur sutra perekonomian. Padangan juga persimpangan antara jalan raya Bojonegoro – Ngawi dan Bojonegoro – Blora. Selain itu, Padangan juga dilintasi Bengawan Solo yg
saat itu masih jadi jalur utama transportasi.
Di lain sisi, Padangan jadi lautan para penuntut ilmu. Di sana terdapat Ponpes Mbah Hasyim Jalakan yg masyhur sebagai pengarang kitab shorof tasrifan. Dari Jala’an ke arah selatan, terdapat Ponpes Al Hadi Padangan yg berlokasi di Pengkok. Sementara di perbatasan selatan Padangan, trdapat Ponpes Abu Syukur yg merupakan ponpes salaf tertua.
Bahkan, di Padangan juga terdapat Jamaah Thoriqoh An-Naqsabandiyah berlokasi di Desa Kuncen yang kala itu punya pengaruh besar hingga jamaahnya berdatangan dari Gresik, Lamongan, Ngawi, Blora dan Purwodadi.
Mudahnya akses menuju luar kota & ramainya para penuntut ilmu dengan lokasi yang amat berdekatan tersebut, menjadi faktor utama yg menarik perhatian KH. Wahab Hasbullah untuk mengembangkan NU di Kota Padangan.
Tepatnya pada tahun 1938, NU Cepu dan NU Padangan lahir ke dunia. NU Cepu diprakarsai KH. Utsman dan NU Padangan diprakarsai KH. Hasyim Jala’an. KH. Utsman adalah putra Padangan. Beliau putra dari KH. Abu Syukur bin Kiai Matsuni. Beliau juga menantu dari KH. Hasyim Jala’an.
Oleh KH. Hasyim Jalakan, KH. Utsman diutus – tugaskan untuk berdakwah mensyiarkan ajaran Islam ke kota Cepu dan mendirikan Pondok Pesantren Assalam Cepu, yg merupakan Pondok Pesantren pertama di Kota Cepu.
Hadirnya NU di Padangan & Cepu, membuat organisasi tsb kian dikenal. Kecamatan² di dekat Padangan pun akhirnya menyusul mendirikan cabang NU. Setelah kuat & mengental di Padangan & Cepu, NU kemudian dibawa ke Bojonegoro 14 tahun kemudian, tepatnya pada 1952.
Di Padangan sendiri, Mbah Hasyim Jalakan memperkuat persebaran NU dg mengkader junior dan santri²nya seperti KH. Marwan, KH. Masjkuri, dan KH. Ahmad Bisri Mbaru untuk memperkuat NU. Kiai Bisri Mbaru adalah santri Mbah Hasyim Jalakan yg melanjutkan estafet syiar NU Padangan melalui jalur pendidikan.
*NU Dikemas di Padangan, Dibungkus ke Bojonegoro*
Meski sudah ada pondok pesantren & giat² Aswaja, hingga tahun 1950, belum ada NU di Kota Bojonegoro. Hal itu membuat Mbah Hasyim Jalakan bergegas mengambil tindakan agar spirit NU segera didistribusikan ke Kota Bojonegoro.
Mbah Hasyim Jalakan bisa dibilang sebagai playmaker inti persebaran NU di Bojonegoro. Sebab, untuk membawa NU dari Padangan ke Bojonegoro, beliau meminta anaknya, yaitu KH. Soleh Hasyim untuk menikah dengan putri Kiai Yahya Kauman Bojonegoro (yang kala itu Imam Khotib Bojonegoro) agar bisa menyebarkan NU di Bojonegoro.
Walhasil pada awal 1950, KH.Soleh bin Hasyim Jalakan sudah mengawali syiar tipis² dengan “mbukak dalan” persebaran NU di Bojonegoro. Beliau membawa giat² NU ke Bojonegoro dan mulai membentuk embrio NU bersama Kiai Baliya Balen.
Sepeninggal KH. Sholeh Hasyim, estafet syiar dilanjutkan KH.Rachmat Zuber dr Tulungagung, yg merupakan murid dr KH. Wahab Hasbullah.
Beliau bersama KH. Kholil (Baureno) dan H. Dimyati menjadikan NU Bojonegoro kian solid sejak tahun 1952 hingga hari ini.
NU di Kota Bojonegoro semakin besar karena banyak pondok pesantren dan kiai² sepuh yg mulai bergabung dan ikut menyebarkan paham Ahlussunah wal Jamaah An- Nahdliyah di daerah masing² hingga hari ini.
*Hikayat Padangan Kota Cahaya*
Jauh sebelum era Mbah Hasyim Jalakan, Padangan sudah dikenal sebagai gudangnya para pesuluk dan salafussholih. Pada akhir abad ke 17, atau tahun 1680 masehi, sungai pembatas antara Padangan dan Kasiman selalu dipenuhi perahu.
Selain berdagang & sekadar melintas, perahu² itu juga dipenuhi para pesuluk & penuntut ilmu. Saat malam hari, pendar cahaya obor terlihat kelap² dari atas sungai. Banyak dari mereka merupakan santri yg menuntut ilmu di pondok pesantren yg diasuh oleh Wali Keramat.
Di pinggir bantaran sungai, tepatnya di Desa Kuncen, terdapat pondok pesantren Menak Anggrung. Sebuah pondokan yg diasuh Mbah Sabil dan Mbah Hasyim (bukan Mbah Hasyim Jalakan). Beliau berdua hidup hingga akhir abad ke-17, circa 1680 m.
*Mbah Sabil, asal mula Penamaan Kuncen dan Padangan*
Mbah Sabil (Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma), merupakan waliyullah asal Mataram Jogja yang melarikan diri dari kejaran Belanda menuju Ampel Denta Surabaya, dengan cara ngintir (menghanyutkan diri pakai keranjang) melintasi Bengawan Solo.
Mbah Sabil merupakan santri Ampel Denta Surabaya. Dalam perjalanannya melintasi sungai, Mbah Sabil menyadari bahwa hari menjelang fajar, sudah waktu sholat subuh. Dimana angkasa dan ruang mata mulai padang (terang). Tempat yang membuat Mbah Sabil menyadari waktu sudah subuh itu, kini dikenal sebagai kawasan Padangan.
Menyadari hari sudah hampir subuh, Mbah Sabil tidak menghentikan perjalanan. Namun terus melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa saat kemudian, beliau berjumpa dengan Mbah Hasyim— sosok yang sebelumnya dikenal sebagai ketib atau penulis sekaligus kiai.
Dari perjumpaan itu, Mbah Hasyim meminta agar Mbah Sabil singgah dan menetap untuk menyebarkan agama Islam di sana. Mbah Sabil pun bersedia menetap & berdakwah di tempat tsb, Sementara Mbah Hasyim, menjadi ketib sekaligus pendamping dari sosok Mbah Sabil.
Tempat perjumpaan Mbah Sabil dan Mbah Hasyim itu, kini dikenal sebagai Desa Kuncen, karena “mengunci” perjalanan Mbah Sabil yg semula ingin ke Ampel Denta, berhenti dan berdakwah di sana bersama Mbah Hasyim. Untuk diketahui, Mbah Sabil adalah santri Ampel Denta Surabaya.
Kehadiran Mbah Sabil, secara eksplisit, jadi
” pepadang” jalan persebaran agama Islam di desa Kuncen secara khusus, dan Padangan secara umum. Sebab, beliau bersama Mbah Hasyim akhirnya mndirikan pondok pesantren.
Sebuah pondok yg masyhur dg nama Menak Anggrung. Dikenal sebagai Menak Anggrung karena bangunannya terlihat anggrung² (mencolok) di pinggir bantaran sungai Bengawan Solo. Dari Mbah Sabil inilah, lahir dzuriyat (keturunan) ideologis & biologis yg membentuk Padangan, terutama ds. Kuncen, sebagai kawah candradimuka para pesuluk ilmu pengetahuan agama.
Selain menurunkan dzuriyat ideologis dan biologis di kawasan Kuncen dan Padangan, Mbah Sabil juga menurunkan banyak kiai² besar di luar kota. Mbah Samboe Lasem atau Pangeran Syihabuddin Samboe Digda Diningrat dan Mbah Abdul Jabbar Nglirip Tuban adalah menantu Mbah Sabil.
Maka, KH. Achmad Siddiq Jember (dari jalur Mbah Samboe Lasem) dan KH. Sholeh Tsani Bungah Gresik (dari jalur Mbah Jabbar Nglirip), adalah keturunan langsung Mbah Sabil yang cukup masyhur dikenal sebagai kiai-kiai khos.
Mari lestarikan sejarah, mungkin bisa berkunjung ke makam Mbah Sabil dan Mbah Haysim untuk mendo’akan Almarhum..
Foto : Makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim yang ada di Padangan – Bojonegoro.
Sumber : Kiriman W.A dari Gus Jalil (Wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Bojonegoro.