Siapa tidak kenal Kang Wahib? Santri era 1970-80an itu bahkan telah menjadi legenda pondok. Meski perawakannya pendek, tapi jangan sangka ilmu dan kepandaiannya sependek postur tubuhnya.

Santri asal Demak ini, tidak mengikuti pendidikan formal yang ada di pondok. Ia hanya tabarukan, sebuah laku yang umum dilakukan santri yang sudah cukup bekal ilmu, tapi butuh legitimasi dan pengakuan melalui laku tabarukan di pesantren-pesantren tua, termasuk Tremas.

Ada banyak hal yang luar biasa dari sosok santri antik ini. Konsistensinya menjadi imam ratib salat maktubah di masjid Tremas, menjadi salahsatu nilai plus yang tak bisa ditandingi oleh siapapun, termasuk orang-orang ndalem, yang lebih memilih menjadi makmum di setiap salat maktubah. Entah karena komitmennya sebagai “Imam Tunggal”, hingga bila jamaah salat maghrib digilir untuk para ustadz, ia yang “terpaksa” menjadi makmum, sehabis salat, melanjutkannya dengan salat sunat berpuluh rakaat. Entah apa maksudnya. Saya menduga itu sebagai tebusan, agar tetap mendapat pahala sebagaimana kala menjadi imam.

Selama tabaruk di Tremas, ia hanya ngaji bandongan yang dibalah kiai. Selebihnya, ia bertapa di sebuah warung kecil mirip pos ronda ukuran 2×1 atau seukuran liang kubur, yang menjadi tempat singgah sekaligus usaha berjualan keperluan santri. Baginya, para asatidz di pondok levelnya sama dengan dirinya, bahkan sebagian di bawah kemampuan linuwihnya dalam soal ilmu agama.

Sebagai santri baru di era pertengahan 80an, saya termasuk sering menyambangi gubugnya untuk sekadar ngobrol ngalor ngidul. Dia paling suka “ditanggap”, untuk bercerita sesuatu yang warbiyasah, mulai dari kisah tentang karomah para wali– termasuk “karomah” yang dimilikinya, hingga soal perempuan pujaannya. Saya sebenarnya tak begitu tertarik dengan semua ceritanya. Bagi saya, menjadi pendengar yang baik sudah cukup demi mendapat utangan nasi bungkus plus rokok sak ler, buat melepaskan ketegangan setelah seharian belajar di kelas.

Tapi ada satu hal yang menggelitik. Soal karomah yang ia miliki namun tak pernah bisa saya buktikan kebenarannya. Sebagaimana tradisi yang berlaku, setiap Kamis sore hingga jumat, para santri berkelompok ziarah ke Maqbaroh Semanten, baik naik angkutan, numpang truk hingga berjalan kaki. Suatu ketika, sepulang dari Manten, saya mampir ke gubugnya untuk sekadar udud dan menikmati kudapan “gratis” sambil membual,

“Kang, ora ziarah ning Manten?”, tanya saya membuka basa-basi.

“Wis mulih”, jawabnya singkat.

Jawaban itu membuat saya setengah kaget dan curiga. Sepanjang yang saya amati, tidak ada tanda-tanda dia baru pulang ziarah dari Manten. Tapi dia selalu mengaku rutin tiap sepekan ziarah ke makam pendiri Pondok Tremas tersebut.

“Lha, numpak opo, karo sopo?”, tanya saya menyelidik.

“Digendong Nabi Khidhir.” Jawabnya kalem tanpa peduli dengan ekspresi kekagetan saya.

Sejenak saya terdiam, mengatur napas untuk menahan tawa, manthuk-manthuk sambil nglolos rokok Djarum super kesukaan saya. Demi sebuah rokok dan nasi bungkus, saya tidak pernah menyanggah segala sabda yang keluar dari mulutnya. Dia memang khoriqul ‘adah, sehingga segala bantahan macam apapun percuma dan tak akan memengaruhi keyakinan dan percaya dirinya.

‘____

Dia memang linuwih. Tidak sembarang santri bisa mengkhatamkan Al-Qur’an binnadhri hanya dalam waktu singkat, sepanjang perjalanan Tremas-Manten pergi-pulang, seperti yang biasa dia lakukan. Dan tentu saja, itu ia lakukan dalam  gendongan sang nabi penguasa lautan,  Khidhir AS.

*Dikutip dari buku “Bunga Rampai dari Tremas”.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *