Diceritakan dalam buku Tambakberas, pada suatu hari di salah satu ruangan dalam pusat latihan Hizbullah, saat para pelatih dari Nippon belum datang, Kiai Wachid Hasyim berkata, “Kekalahan Nippon semakin nyata sejak awal tahun 1944.”
Ki Bagus Hadikusumo menimpali, “Sejak pengeboman di Surabaya oleh Sekutu pada bulan Juli 1943, Nippon tampak gugup, terutama di kalangan para pemimpin mereka.”
Para bapak bangsa ini melihat Jepang semakin terdesak. Hal itu semakin memberi semangat untuk Iatihan tempur bagi pasukan Hizbullah. Namun ada kendala seperti yang disampaikan Haji Abdul Mukti, “Hanya disayangkan, latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.”
Memang pada waktu itu Hizbullah yang sebenarnya disiapkan untuk bertempur, tapi fasilitasnya minim. Semisal senjata latihannya hanya senapan kayu dan takeyari (bambu runcing). Minimnya fasilitas inilah yang menjadikan KH. Wahid Hasyim harus memutar otak.
Kata KH. Wahid Hasyim, “Kita dikejar waktu, Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, juga kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya. Kalau cuma mengandalkan keuangan Gunseikanbu, kita tak bisa menyelenggarakan latihan dalam tingkat nasional. Sebab itu saya tambah juga dari anggaran Shumubu dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia!”
Melihat hal tersebut, Kiai Wahab Chasbullah memberi semangat dengan mengatakan, “Kita jangan cuma menilai dari ukuran lahir. Belum tentu kalau disediakan biaya besar, lalu hasilnya akan maksimal. Biar menderita, asal penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda pemuda Ashabul Kahfi, hasil akhir yang maksimal bisa tercapai juga.”
Mendengar Mbah Kiai Wahab bercerita tentang Ashabul Kahfi, KH. Mukhtar menyahuti, ”Bicara tentang Ashabul kahfi sebenamya berapakah jumlah pemuda pemuda itu? Secara persisnya?”
KH. Wahab menjawab, ”AI Qur’an sendiri dengan tegas mengatakan, yang tahu jumlahnya secara persis hanya Allah. Kita tak usah berselisih mengenai berapa sebenarnya pemuda pemuda Ashabul Kahfi itu.”
KH. Farid Ma’ruf menambahi, “Dalam Al Qur’an cuma disebut bertiga, adapun yang keempatnya adalah anjing mereka, robi’uhum kalbuhum.”
Kiai Wahab melanjutkan, “Tapi ada yang mengatakan, ”Mereka berlima, yang keenamnya adalah anjing mereka, sadisuhum kalbuhum.”
Kiai Wahid Hasyim ikut menimpali, ”Ada Iagi yang mengatakan, Ashabul Kahfi itu tujuh orang, yang kedelapan adalah anjing mereka, wa tsaminuhum kalbuhum.”
Tiba tiba masuklah seorang serdadu Jepang berseragam sersan mayor, pelatih Hizbullah. Kedatangannya sekonyong koder tentu saja cukup mengejutkan.
Tapi Kiai Wahab Chasbullah cepat bereaksi dengan nyaring, “Wa taasi’uhum qirduhum” (yang kesembilan adalah monyetnya). Meledaklah gelak tawa serentak. Orang Jepang itu juga ikut tertawa, sekalipun dia tidak mengerti sama sekali apa yang sedang ditertawakan.
”Itu tepat sekali,” lanjut Kiai Wahab. ”Monyet adalah satu-satunya binatang yang serakah sekali. Hari-harinya cuma buat cari makan, dan kalau sudah memperoleh makanan, ia kuasai sendiri di atas pohon. Hatinya tak pernah tergerak untuk berbuat sosial, berbagi antar sesama kawan. Kalau menggenggam makanan tidak cukup hanya satu tangan, tapi dua tangan, dan itu belum cukup, dua telapak kakinya turut pula beraksi,” Kiai Wahab menjelaskan watak monyet.
Melihat kondisi demikian, Kiai Wahid Hasyim berkata kepada bintara Nippon itu, “Kita sedang bicara tentang monyet ketika tuan datang dan sang bintara pun lalu manggut manggut.
Kisah di atas jelas menunjukkan dalam situasi dijajah dan latihan perang dengan bekal minim dan di hadapan penjajah Jepang saja Mbah Kiai Wahab masih optimis bahkan diselingi guyon untuk menunjukkan kekesalan kepada penjajah sekaligus untuk mencairkan suasana.
***
Tidak berbeda dengan Mbah Wahab, Gus Dur pun dikenal suka guyon di manapun tempat. Saat bersama warga NU, ketika berceramah, mengisi seminar bahkan saat menjadi presiden masih tetap bisa menyelipkan guyon pada waktu pidato kenegaraan. Hingga beberapa orang dekatnya dag dig dug der.
Tidak hanya itu, ketika berjumpa dengan para pemimpin negara di dunia, Gus Dur juga masih sempat guyon, baca:
Tidak hanya hobi guyon, Gus Dur juga dikenal suka membuat beban mental psikologis seseorang menjadi lebih ringan. Hal ini bisa diketahui dari ucapan beliau, “Gitu saja kok repot.” Tentu maksud Gus Dur bukan mengentengkan tapi membuat ringan beban psikologis.
Saat pandemi ini, yang bagi sebagian orang menganggap kayak sedang berada di medan laga peperangan, tentu banyak orang semakin merindukan tokoh tokoh seperti pada kisah di atas yang bisa meringankan beban mental psikologis sebagain rakyat yang tertekan dan terintimidasi dengan realitas saat ini.
Kepada Mbah Wahab dan Gus Dur lahuma Al Fatihah
No responses yet