Salah satu refleksi takwiliah yang bisa ditarik dari Surah Al-‘Ankabut adalah betapa dahsyatnya laba-laba dan bentuk jaringan laba-laba. Jaring itu yang suatu saat, berkat rahmat Allah, menghindarkan Nabi dan Abu Bakar dari kepungan orang Quraisy dalam pelarian Gua Tsur. Mengapa jaring? Mengapa laba-laba? Sedemikian istimewakah ia sampai dijadikan nama surah dalam Al-Qur’an?
Beberapa pemikiran: karena jaring laba-laba menggambarkan bentuk paling alamiah dari struktur yang memberi perlindungan kepada yang di baliknya. Meski jaring ini rapuh — disebut dalam Al-Qur’an sebagai “awhan al-buyuut”, serapuh-rapuhnya rumah –, ia memiliki kelebihan pada elastisitas dan penampakannya yang protektif kepada yang dibaliknya (di belakangnya).
Para biolog menemukan sejak lama bahwa kehidupan biologis dan ekosistem membentuk forma jaringan — “web of life”, jaringan kehidupan. Bentuknya ada yang berupa rerantai, seperti siklus yang berputar dari satu titik lalu kembali ke titik lain. Ada juga yang berupa rangkaian multi-dimensi atau berjenjang, seperti jaring laba-laba.
Jaringan ini memang rapuh, tapi kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan sangat tinggi. Selama tidak dirusak secara sistematis oleh manusia atau virus, jaringan ini mampu membenahi dirinya atau mengobati kerusakan — misalnya akibat bencana alam yang ekstrem. Tapi yang terpenting, forma ini mampu melindungi — berkat pengetahuan dan iradah Tuhan — jutaan spesies di dalamnya, yang berpartisipasi pada salah satu mata-rantai yang ada pada jaringan itu.
Kapitalisme adalah sistem buatan manusia yang belakangan mempretensi-diri meniru forma jaringan alamiah dan biologis ini. Kapital dengan cepat menampilkan diri sebagai jaringan. Kita bisa melihat ini pada model jaringan pemasaran atau pola produksi revolusi kapitalis generasi 4.0 yang memformat dirinya dalam bentuk jaringan. Ini cara kapitalisme menyelamatkan kapital dan kelas kapitalis dari krisis, karena membusuknya uang di bank-bank akibat akumulasi. Muncul istilah “web of capital”, “web of capitalism”, dan lain-lain.
Tapi hakikatnya, ini adalah modus yang gagal, karena sifat kapitalisme yang reduktif terhadap kehidupan dan kompleksitas. Ambil contoh “green capitalism”, kapitalisme korporasi yang berusaha menjadi penyelamat lingkungan dengan jargon “back to nature”. Berjuta milyar mereka investasikan untuk menanam dan menciptakan perusahaan ramah lingkungan. Tapi di sisi lain, sementara korporasi menanam atau melakukan penghijauan, mereka mencaplok lahan petani, menjalankan pabrik berkebutuhan energi kotor (batu bara), melakukan polusi, atau mengalihfungsikan lahan untuk properti, dan lain-lain. Terjadi kontradiksi. Menghijaukan di satu tempat, menghancurkan kehidupan di tempat lain.
Kontradiksi ini lantaran tarik-menarik antara akumulasi dan distribusi. Logika jaringan bekerja dengan pola distribusi aktif dan radikal, di mana setiap elemen mendapat bagian dan haknya — alam tak pernah diskriminatif, karena rahmat Tuhan tidak diskriminatif. Logika jaringan adalah logika Sosialisme pada tataran biologis dan kosmik. Sementara, jaringan tiruan yang dibuat oleh kapitalisme adalah penghancuran aktif yang cepat atau lambat atas kehidupan, karena orientasinya akumulasi. Memakai istilah syaraf, logika jaringan kapitalisme adalah cara menciptakan kanker pada setiap mata-rantai, karena di titik itu terjadi penyumbatan buluh syaraf. Ketika kanker ini terjadi menerus, tinggal menunggu waktu ia akan lumpuh dan memicu “stroke”.
Kapitalisme mengimitasi kehidupan biologis. Kapitalisme belajar sungguh-sungguh dari hikmah Surah Al-‘Ankabut. Walaupun praktiknya ia adalah kekufuran atas pesan surah tersebut. Tugas umat Islam mengkaji kembali pesan ini untuk melawan logika parasitik jaringan yang dibuat oleh Kapital.
No responses yet