Sering kali dijumpai pemahaman umum, bahwa Nabi Adam itu durhaka, maksiat, dan dosa. Tidak Maksum (terjaga dari dosa). Ini disebabkan Nabi Adam dan istrinya Hawa terperdaya oleh Syetan, sehingga mereka memakan buah syajarah khuldi yg terlarang itu.

Maka, didapati asumsi bahwa Syetan itu menang dan lebih digjaya dari seorang Nabi, yg merupakan Bapak moyang manusia seluruhnya. Buktinya, ia mampu menggelincirkan Adam dan Hawa hingga terbuang ke Bumi.

Narasi ini tidaklah tepat, untuk seorang Nabi khalifatullah, Bapaknya para Rasul dan Nabi, juga Bapaknya umat manusia.
Juga, narasi tersebut berlawanan dgn Surah An Nisa ayat 76

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطانِ كانَ ضَعِيفاً

Sesungguhnya tipumuslihat Syetan itu lemah.

Begitu pula, telah jamak diyakini bahwa Islam mengajarkan la ‘ishmata illa lil anbiya’ wal mursalin, yg maknanya bhwa anugrah ‘ishmah (terjaga dr dosa) itu hanya diberikan kpd para Nabi dan Rasul. Termasuk diberikan juga kpd Nabi Adam. 

Maka, tidaklah pantas seorang mukmin mengotori lisannya dengan perkataan yg tak pantas dan tak sopan, terhadap Bapaknya tersebut, yakni Nabi Adam. Mulutnya perlu ‘dingajikan’.

Harus diyakini, bahwa Nabi Adam itu sejatinya tidak tertipu, tidak tergoda, dan tidak pula terperdaya, oleh syetan. Karena Allah ta’ala menganugrahi ilmu dan ‘ishmah pada diri Nabi tersebut. 

Akantetapi, oleh sebab Syetan bawa-bawa nama Allah, ia sumpah dgn Nama Allah, maka Nabi Adam pun menghormati Nama Agung tersebut, sambil berbaik sangka bahwa tidak mungkin ada hamba (siapapun) yg berani-berani memelintir Nama Allah demi ego dan dustanya.

Jadi, kata kuncinya ada pada Surah Al A’raaf ayat 21

وَقَاسَمَهُمَاۤ إِنِّی لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

Dan dia (Syetan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu,”

Dalam Kitab Tafsir Ath-Thabari dikatakan;

فحلف لهما بالله حتى خدعهما, وقد يُخْدع المؤمن بالله

Lalu di hadapan Nabi Adam dan istrinya, Syetan bersumpah atas nama Allah, hingga syetan mencapai tujuannya.

Terkadang, seorang mukmin bisa terjerat tipu muslihat, sebab saking hormat dan takdzimnya pd Nama Allah. Padahal itu untuk manipulasi sj.

Senada dengan yg dijelaskan Imam Ath Thabari tersebut, bgitu pula penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, Imam Al Baghawi dalam Kitab Tafsirnya, Imam At Thantawi dalam Tafsirnya, Imam As Sa’diy dalam Tafsirnya, dan lain sebagainya.

Maka, Surah Thaahaa ayat 121

وَعَصَىٰۤ ءَادَمُ رَبَّهُۥ فَغَوَىٰ

Dimaknai, bahwa Adam bersalah terhadap Tuhan-Nya, sehingga saat itu menjadi waktu ia harus turun ke Bumi.

Kata ‘asha’ tidak dipahami secara harfiyah, yakni maksiat, durhaka, bahkan melawan Tuhan. Karena, ini bertentangan dgn Teologi ‘ishmah, dan bertentangan dgn ayat “wa ‘allama Adam” (Allah anugrahi Ilmu kpd Adam).

Maka, yang tepat adalah; ‘asha dimaknai al-khatha’ wan nisyan, yg artinya; salah dan lupa. Karena saking baik dan sholihnya, Nabi Adam lupa (nisyan) bahwa Syetan itu iri dan dengki kepadanya, sehingga enggan sujud hormat padanya sbgaimna titah Allah ta’ala.

Oleh karenanya, Nabi Adam salah (khatha’); karena saking hormat dan takdzim thdp Nama Allah yg dibawa-bawa, pdhal itu plintiran oleh lisannya Syetan, shingga memakan buah syajaratul khuldi.

Maka lanjutannya, Surat Thaahaa ayat 122

ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَىٰ

Kemudian, Tuhannya memilihnya menjadi Nabi di Bumi, mengampuni ‘salah’nya tersebut, dan memberi hidayah berupa syariat kerasulan untuk dijalankan olehnya, keluarga dan keturunannya.

Nasehatnya;

  1. Nabi Adam dianugrahi kecerdasan dan pintar, serta pny anugrah ‘ishmah, sehingga beliau tidak mungkin dikalahkan Syetan dgn godaan dan tipudayanya.
  2. Syetan adalah mahluk pertama yg bawa2 dan nyeret-nyeret nama Allah (al asma al a’dzam) demi hasrat dengki, iri, ego dan dustanya.
  3. Nabi Adam pernah ‘asha, yg berarti salah, sebab berkhusnudzan bahwa Nama Allah gak mungkin ada hamba siapapun yang berani-berani menyeretnya untuk berlaku dusta dan tipumuslihat. Maka, hal ini harus menjadi pelajaran, agar tidak jatuh ke dalam kesalahan yg serupa.
  4. Seyogyanya, kita menjaga lisan kita, dari berkata-kata yg tidak pantas dan tak sopan terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul kekasih Allah ta’ala.

Semoga bermanfaat dan barokahi.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *