(Study Kasus Ustad DR. Khalid Basalamah Soal Nasionalisme dan Lagu Indonesia Raya)
Viral komentar salah seorang propagandis salafi-wahabi Dr. Khalid Basalah yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran tentang nasionalisme. Ini sama persis dengan komentar viral propagandis HTI, Felix Sau, atau semodel komentar ust. DR. Syafiq Reza Basalamah tentang ucapan Minal Aidin wal Faizin.
Komentar Khalid Basalamah merupakan kelanjutan dari apa yang sebelumnya juga viral terkait anjurannya untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
Bagi sebagian orang, argumen Khalid Basalamah dan propagandis-propagandis seperti dia dianggap tepat. Apalagi disampaikan seorang bergelar ustadz plus doktor. Dengan penampilan jenggot dan celana cingkrang layaknya pasukan pengawal sunnah, bahkan sebagian propagandisnya ditandai dengan jidat yang menghitam. Apalagi yang disoroti adalah sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam al-qur’an dan tidak ada haditsnya. Ini jelas memiliki beberapa kemungkinan ; ini bisa bid’ah dlalalah, bisa juga keyakinan leluhur yang tetap dianut atau sesuatu yang menyalahi norma agama.
Benarkah demikian ?
Bagi kaum muslimin yang benar-benar berpegang teguh pada metode istinbath hukum sesuai manhaj salaf, yang mata rantai sanad keilmuannya bersambung hingga Rosulullah tidaklah demikian.
*Dalil itu apa?* Dalil adalah payung hukum dalam kehidupan sehari-hari yang bersumber dari al-qur’an dan sunnah Rosul. Hukum taklifi sendiri ada lima (wajib, sunat, haram, makruh dan mubah).
Apakah dalil mesti berbentuk ayat hukum (ayatul ahkam) atau ayat yang redaksinya berbicara tentang hukum ? TIDAK
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz dengan 6000 lebih ayat. Sedangkan ayat hukum jumlahnya sangat terbatas. Ibn Arabi menyatakan bahwa ayat hukum sekitar 800 ayat. Al-Ghazaly menuturkan hanya kisaran 500 ayat. Sedangkan bagi as-Shan’ani hanya sekitar 200an ayat. Bahkan Ibnul al-Qayyim menegaskan lebih kurang 150 ayat saja.
Kalau kita ambil yang terbanyak, 800 ayat, padahal ayat al-qur’an lebih dari 6000, lantas mau dikemanakan 5000 ayat al-qur’an. Apakah sudah tidak berlaku? Sudah tidak relevan? Atau hanya hiasan pelengkap? Tentu TIDAK.
Semua ayat al-qur’ah itu petunjuk (hudan) bagi kita. Berlakunya tanpa periode waktu. Tapi berlaku untuk siapapun dan sampai kapanpun atau sampai hari kiamat. Likulli zaman wal makan. Semua ayat yang jumlahnya 6000 lebih itu adalah petunjuk, pedoman dan mengandung aspek hukum.
Hanya saja kalau kita mau bikin klasifikasi maka ada ayat yang qoth’ie-dlilalah yaitu aspek hukum dan obyek hukumnya secara jelas terdapat dalam redaksi ayat. Itulah yang jumalahnya sangat terbatas diatas. Tapi justru sebagian besar ayat al-qur’an, 5000 lebih dari 6000 lebih ayat al-qur’an bersifat-dzanni dlilalah. Artinya untuk bisa menyimpulkan hukum dari ayat tersebut perlu upaya istinbath, penggalian, kajian, analisa. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan belasan disiplin keilmuan (tidak cukup nahwu, shorrof, dan terjemahan/kamus bahasa Arab). Agar apa ? Agar kita bisa menggalinya, menangkap pesan moralnya, merumuskan aspek hukumnya. Makanya tidak semua orang kompeten untuk itu sekalipun punya sederet gelar ustadz dan doktor. Tapi tidak sedikit kyai-kyai yang waro’i, mengabdi untuk umat di pesantren kampung dan jauh dari gemerlap gelar, justru kompeten dengan belasan disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam beristinbath (menggali) hukum dalam ayat dzanni dlilalah tadi.
Untunglah kita punya ulama yang meramu ilmu-ilmu seperti ushul fiqh, ulumul qur’an, mustholah hadits, asbabun nuzul, gharib qur’an, i’jaz qur’an, al-jarh wa ta’dil dan lain-lain sehingga kita tahu :
~Oh ini ayat umum (‘am) sedangkan yang ini khusus (khos) dan spesifik (takhshìs)…….
~Oh ini ayat mafhum (eksplisit) dan yang lainnya mantuq (implisit)…….
~Oh ini ayat yang bahasanya verbal (shorih) sedangkan yang ini berbentuk kiasan (majaz) atau juga metafora (kinayah)…….
~Oh ini ciri-ciri ayat muthlaq (berdiri sendiri) sedabgkan yang ini muqoyyad (untuk pahan implikasi hukumnya mesti dibaca dan dikaitkan dengan ayat lain)…….
Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya….. masih banyak karamteristik ayat lainnya.
Nah, mestinya sekte salafi wahabi memahami ini semua sehingga tidak serampangan memfatwakan hukum hanya karena ketidak pahamannya dengan karakter ayat/hadits.
*****
Apakah lagu kebangsaan bid’ah dan nasionalisme tidak punya landasan dalil?
Dalam ushul fiqh ada metode istinbath maqhosidi (penggalian hukum berdasar tujuan/maksud) karena semua syariat memiliki maqhosid (tujuan, hikmah, dan manfaat syariah)
Ketika Rosulullah ingin bersama-sama menjaga kehormatan ‘negara’ Madinah dan membentengi kota Rosul ini dari rongrongan orang yang ingin merusaknya, apakah ini bukan nilai-nilai nasionalisme. Bahkan untuk maksud tersebut Rosulullah mengikatnya bersama-sama non-muslim (Yahudi, Nasrani, Panganisme) dalam sebuah dokumen bersejarah yaitu Piagam Madinah.
Bukankah ini bagian dari Sunnah Taqririyah (ketetapan) Rosulullah bahkan juga Sunnah Fi’liyah (praktik) Rosul. Mengapa ada orang yang karena kebodohan dan kepongahannya mempertentangkan Sunnah Qouliyah (Hadits) dengan sunnah Rosul yang lain (Taqririyah dan Fi’liyah)
Bukankah Allah bersumpah dengan kehormatan sebuah negeri bahkan menjadi nama surat yaitu surat Al-Balad. Tidak cukupkah sinyalemen-sinyalemen itu menjadi pijakan kita dalam meneguhkan nilai-nilai nasionalisme dan kecintaan pada tanah air. Lagu kebangsaan, bendera, lambang negara adalah simbol, tanda, dan penanda sebuah negara yang kalau kita menjaga kehormatannya sama artinya dengan menjaga kehormatan negara itu sendiri.
Hayu belajar ulumul hadits jangan hanya belajar hadits..
Hayu belajar ushul fiqih jangan puas hanya belajar fiqh…
Hayu dalami ulumul qur’an (asbabun nuzul, gharib, i’jaz, badli’, ma’ani dll) jangan hanya menghafal ayat-ayatnya saja
No responses yet