KH. Dr. Idham Chalid dikenal pada zamannya sebagai ulama besar bukan saja tingkat lokal, nasional, tapi juga internasional. Bisa dibayangkan beliau Urang Banjar, orang luar Jawa dan bukan dari darah biru NU, bisa malang melintang memimpin NU sampai 28 tahun (1956-1984). Yusuf Kalla menyebut Pak Idham sebagai Ulama yang moderat dan santun, cocok disegala situasi meskipun sedikit terkesan oportunis. Ahmad Muhajir menggambarkan karena berasal dari kota Seribu Sungai (Kalimantan Selatan) yang berlimpah air mungkin beliau penganut dan pelaku filsafat air. “Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Di samping itu, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Lihat, Idham Chalid Guru Politik Orang NU, 2007, h. 55)
Sebenarnya beliau tidak hanya berwajah sebagai politisi saja, tapi juga berwajah pendidik dan berwajah spiritualis (olah batin) yang tak terpisahkan satu sama lain. Tiga hal ini saling bersinergi, berkolaborasi dan berkombinasi pada pikiran dan tindakan beliau. Sayang saat ini baru tergarap serius dari para penulis dan peneliti pada wajah beliau sebagai politisi dan itupun belum sampai menyelam jauh mendalam ke ilmu dan pengalaman politik beliau yang dimiliki. Sebagai seorang NU yang berakidah Aswaja mungkin beliau tidak asing lagi atau bahkan sudah menjadi referensi filsafat politik dan fiqih siasah beliau seperti kitab Al-Madinatul Fadilah karya Al-Farabi, Nashihatul Mulk karya Imam Ghazali, Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, Al-Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Al-Mawardi dan Al-Ahkamus Sulthaniyah karya Ibnu Jamaah.
Sementara, sisi wajah beliau sebagai pendidik masih terbengkalai belum ada tulisan yang memadai. Padahal dalam bidang pendidikan ini sumber dan faktanya tidak kalah mengesankan daripada bidang politik beliau. Umpama beliau sangat berperan penting di Pondok Pesantren Rakha di Amuntai, Kalimantan Selatan, Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta, Darul Qur’an, Cisarua, Bogor, UNU Solo dan Uninus, Bandung. Kemudian, ada sekitar 23 buah publikasi tulisan beliau yang belum dikaji dan diteliti.
Demikian pula, sisi wajah beliau sebagai spiritualis baru sedikit ditulis oleh Ahmad Muhajir pada jejak sunyi beliau mengamalkan kumpulan salawat atau kumpulan hizib kitab Dala’il Khairat karya Syekh Sulaiman Al-Jazuli dari tarekat Syadziliyah. Kita masih tak tau bagaimana pemahaman beliau tentang kitab Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah Al-Askandary atau Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali ? Bagaimana beliau bisa terangkat menjadi Mudlir ‘Am tarikat mu’tabarah di NU yang jumlahnya hampir 50 aliran tarikat yang berbeda-beda ? Apa amaliyah laku batin beliau sehari-hari selain mengamalkan Dalail Khairat ? Apa kira-kira tarekat yang beliau pegang dan tarekat yang sekadar tabarrukan ? Masih banyak lagi misteri beliau sebagai spiritualis, padahal penampakan hasil olah batin beliau sangat banyak seperti beberapa peristiwa irasional atau supranatural yang mengiringi sepanjang perjalanan karir politik beliau dari zaman penjajahan, zaman Orla sampai zaman Orba. Ini menjadi agenda yang perlu menjadi perhatian NU terutama PWNU Kalimantan Selatan dengan sejumlah ilmuwan dan akademisinya. Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamit Thariq.