Tadarrus surat al-Nisa’: ayat 34-35
- Memahami kriteria, karakter pasangan hidup, mengarifi konflik dan tufoksi secara berkeadilan dan berimbang.
بسم الله الرحمن الرحيم
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنففوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (٣٤) وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا (٣٥)
Mari kita belajar hikmah dan kebijaksanaan tentang jalinan keluarga yang bahagia, keluarga yang diberi kebaikan demi kebaikan oleh Allah swt karena disebabkan oleh semangat keimanan, kebersamaan, saling pengertian dan saling menjaga diri,keluarga secara penuh tanggung jawab.
Dari dua ayat pada surat an-Nisa’ ini ayat ke-34-35 sesungguhnya memberikan penjelasan tentang Tiga Hal Utama:
Pertama: Tentang Kepemimpinan dan Manajemen kepemimpinan dalam skala mikro (keluarga)
Kedua: Kiat dan motivasi utama dalam menjaga eksistensi keutuhan keluarga.
Ketiga: Metode dan Mekanisme mengatasi konflik yang terjadi di internal keluarga.
Pembahasan pertama:
Kepemimpinan dan manajemen kepemimpinan.
Ayat ini sering dijadikan hujjah atas hak otoritas kepemimpinan hanya oleh kaum laki-laki saja.
Dalam banyak kajian tafsir memang menjelaskan tentang kepala keluarga adalah laki-laki, yang bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan kehidupan keluarga.
Otoritas kebertanggungjawaban atas kehidupan keluarga itulah yang dititiktekankan pada ayat ini.
Kita lihat redaksi lafazfh dari ayat demi ayat pada surat ini sebagai bahan renungan kita yang kemudian kita dapat mengambil sebuah titik temu dan titik terang atas hikmah ilahiyyah yang Allah ajarkan kepada hamba-Nya.
al-Rijal ( الرجال ):
Kata al-Rijal dalam ayat ini terkandung maksud untuk menjelaskan tentang identitas dan fungsional.
Al-rijal itu bermakna Laki-laki sebagai identitas jenis kelamin yang memiliki tugas dan fungsi sebagai orang yang diberikan amanah dalam menjalankan roda kepemimpinan di tengah keluarga.
Kata Arrijal di ayat ini sangat identik dengan tugas laki-laki sebagai pengayom keluarga. Beda hal dengan sebutan من ذكر وأنثى sebutan laki-laki dan perempuan dalam konteks jati diri sebagai identitas jenis kelamin. Jenis kelamin laki-laki (male) dan jenis kelamin perempuan (famale).
Dimensi arrijal dalam ayat ini bukan menjelaskan tentang otoritas tunggal laki-laki sebagai yang berhak dan lebih pantas menjadi pemimpin. Di sinilah letak perkhilafan ulama bahwa apakah perempuan boleh menjadi pemimpin keluarga atau boleh menjadi pemimpin di ruang publik?
Ulama klasik lebih memilih perempuan tidak bisa menjadi pemimpin di ruang private terlebih di ruang publik. Kebanyakan berdalil dengan ayat ini dan teks hadis, لن يفلح قوم اذا ولوا امرهم إمرأة
Inilah argumentasi ulama yang tak membolehkan perempuan menjadi pemimpin di dua wilayah itu.
Namun dalam perdebatan ulama klasik pun banyak yang kontra terhadap pendapat yang tak membolehkan perempuan menjadi pemimpin disebabkan karena perempuan juga memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi pemimpin baik di ranah private maupun publik.
Sebab di dalam ayat ini Allah menyebutkan potensi laki dan perempuan menjadi pemimpin secara jelas eksplisit dijelaskan oleh Allah,
بما فضل الله بعضهم على بعض
Kelebihan -kapasitas-kapabilitas antara satu dengan yang lain merupakan karunia Allah yang diberikan kepada mereka. Ayat menjelaskan posisi laki-laki sebagai kepala keluarga yang bisa juga perempuan menjadi kepala keluarga selama kedua belah pihak memahami ranah dan domain masing-masing.
Laki-laki ranah enonomi dan tanggung jawab penuh, Perempuan menjadi penanggung jawab keberlangsungan keluarga dan tidak menutup kemungkinan perempuan juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, sebagaimana secara sosiologis terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Qawwaamuuna Ala (قوامون على)
Coba kita cermati lafaz ayat ini, Sungguh bijak Allah dalam menjelaskan posisi laki-laki di tengah keluarganya.
Posisi laki-laki dalam konteks ayat di atas adalah sebagai pengayom,penolong, penjaga, bukan mensubordinasi atas laki-laki kepada perempuan. Makna inilah yang terkandung dalam lafazh Qawwaamuuna ala.
Di mana,
قام على – قام ب – قام من
Memiliki dimensi makna yang berbeda. Jika qoma ala bermakna membantu, menopang, menolong. Jika qoma bii bermakna melaksanakan. Sedangkan qoma min bermakna bangun,bangkit.
Nah, Jelas sekali fungsi laki-laki sebagai penolong dan penjaga bagi pasangan hidupnya yaitu al-Nisa’ (النساء).
Arrijal juga bermakna yang bertugas dan berfungsi tak ubahnya seperti kaki.
Sebab al-Rijal juga terderivasi dari makna
Rijlun-رجل kaki. Artinya laki-laki berfungsi untuk menjaga keutuhan keluarga dengan memperkuat ekonomi keluarganya yang secara normatif telah menjadi fungsinya berjalan dengan rijlunnya untuk mencari nafkah yang nantinya kembali kepada keluarganya sebagai fungsi utamanya sebagai Qawwamuuna alan nisa’.
Al-Nisa’ (النساء)
Penyebutan Allah terhadap kaum perempuan dengan kata annisa’ sesungguhnya memiliki makna sebagai berikut:
- al-Nisa adalah sebuah karakter dan watak perempuan yang lemah-lembut, penyayang, pengasih dan pecinta keluarganya. Kecintaan perempuan terhadap keluarganya itulah makna yang tereksplisit dari kata al-nisa’ itu.
- al-Nisa’ tentu berbeda dimensi makna jika dibandingkan dengan, مرأة, أنثى, زوجة, dan sejenisnya. Dimensi mar’ah sebagai perempuan yang memiliki identitas keperempuanan yang senang berdandan dan senang keindahan dan ini adalah fitrah naluriftif perempuan. Untsa sebagai identitas maskulinitas perempuan. Sedangkan Zaujah sebagai identitas keibuaan perempuan.
- al-Nisa’: sebagai penegasan bahwa yang menjadi penopang keluarga adalah dua sejoli pasangan hidup-al-rijal dan al-nisa’. Yang kedua-keduanya menyatu dalam satu tarikan nafas kehidupan, jika tidak seperti itu mesti akan terjadi konflik internal yang akan menyebabkan kegagalan dalam membangun mahligai keluarga.
Pembahasan kedua:
Kiat dan motivasi utama menjaga eksistensi keluarga.
Dalam ayat ini ada ada tiga kiat dan motivasi utama dalam menjaga keutuhan keluarga.
Assholihat (فالصالحات)
Assholihat adalah sebutan untuk perempuan yang solehah: Solehah karena cocok dengan pasangan hidupnya. Solehah karena seirama dalam menjalankan tugas dan amanah kelurga. Solehah karena perangainya mencerminkan watak kepatuhan dan ketaatan kepada Allah swt dan Rasulnya juga kepada Suaminya.
Assholihat ini juga bukan identik dengan perempuan semata, namun juga untuk laki-laki yang sholihiiin (الصالحين). Keserasian bahkan kesetaraan inilah yang dimaksudkan dalam teks suci ini. Kesetaraan dalam berbagi tugas dan fungsi, kesetaraan dan kebersamaan dalam berbagi keharmonisan keluarga. dst.
Qonitâtun : (قانتات)
Qonitàtun: adalah sifat kepatuhan dan sifat ketaatan bagi perempuan dan juga laki-laki. Qônit itu lebih tinggi maknanya dari thói’ (الطائع)
Karena setiap orang yang bersifat qónit tentu dia thói’ tidak sebaliknya. Ini artinya bahwa keluarga dan segala elemennya sangat ditentukan oleh sosok perempuan tangguh yang selalu bersama dengan suaminya dalam segala dimensi kehidupannya. Susah, senang, suka duka, ada tiada ditanggung bersama. Inilah yang disebut Qonitâtun.
Hâfizâtun (حافظات)
Hâfizâtun dalam ayat ini tertuju pada satu hal, hafizaatun lil ghaib. Menjaga dan memelihara sesuatu yang ghaib, tak terlihat oleh kasat mata panca indra.
Penekanan pada aspek yang ghaib ini maknanya apa?
Hal-hal yang perlu dijaga berupa yang ghaib itu adalah:
- Cinta dan perasaan. Cinta dan perasaan itu harus dipupuk dan disiram selamanya agar terus tumbuh kembang beraroma wangi harum keharmonisan keluarga. Tak ada seorang pun yang mampu melihat wujud nyata benda cinta itu melainkan oleh orang yang mampu menjaga cinta dan rasa itu sendiri. Sebab jika tak mampu menjaga dan memelihara cinta dan rasa itu akan menimbulkan benih konflik di antara kedua cinta yang sebelumnya terajut dengan tali kemesraan dalam bingkai sakinah mawaddah wa rahmah. Suatu kewajiban kedua belah pihak baik laki-laki sebagai qawaamun maupun perempuan sebagai asshólihàt al-qónitât al-hafizhót.
- Hafizhat : menjaga keluarga di saat salah satu diantara mereka tidak berada di rumah. Suami menjaga anak dan harta benda seisi rumahnya manakala sang istri tak sedang berada di rumah karena kerja atau kebutuhan lain yang penting. Istri menjaga dirinya, menjaga anak dan harta suaminya di kala sang suami tak berada di hadapannya karena ia ghaib disebabkan tanggung jawabnya mencari rizki dan nafkah.
Kebersamaan dalam saling menjaga dan memelihara inilah resep utama menghadirkan keluarga yang bahagia zahir dan bathin.
Pembahasan ketiga:
Metode dan Strategi mekanistik dalam mengatasi konflik internal keluarga.
Dalam ayat ini ada empat strategi jitu dalam menghadapi konflik internal keluarga.
Pertama: Menasihati, menegur dengan baik dan bijak.
Kedua: jika step pertama tidak mempan lanjutkan ke step kedua, pisah ranjang, dengan
Harapan ada penyesalan atas kesendiriannya di saat tidur selalu dalam kebersamaan.
Ketiga: jika step kedua gagal, gunakan alternatif terburuk, dengan pukulan yang tidak membuat cedra fisik. Mungkin dengan ini diharapkan ada kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya.
Keempat: jika step ketiga ini gagal, lanjutkan ke langkah terakhir yaitu proses mediasi atas konflik internal yang terjadi.
Itulah Aturan dan ketetapan Allah swt untuk dapat dijadikan inspirasi dan introspeksi bagi kita dalam menggapai kesempurnaan iman dan kebahagiaan keluarga. Amin.
No responses yet