Categories:

Oleh: Muhammad Ngafifudin Yahya, santri yang juga menyukai desain grafis.

Segala ilmu pasti memiliki tujuan yang kembali ke sosial masyarakat. Entah itu
langsung ataupun perantara. Bahkan ilmu-ilmu sains pun juga seperti itu. Misalnya saja
ilmu matematika, meskipun tidak semua rumus bisa diterapkan setidaknya logika
menghitung kita telah diasah. Kadar manfaat sebuah ilmu bisa bermacam-macam.
Tergantung kebutuhan besar kecil di masyarakat tentunya.


Namun siapa sangka kalau masyarakat umum entah itu yang di desa atau yang di
kota akan selalu membutuhkan ilmu sains. Menurut saya ada tapi lingkup kebutuhan
hanya sebatas circle (lingkar sosial) tertentu. Misalnya saja petani jamur, maka biologi
akan menjadi kebutuhan bagi mereka saja. Tukang mekanik juga demikian, ilmu
enginering akan dibahas hanya dalam circle tertentu saja. Dan apakah ada yang berfikir
tentang hukum rekayasa genetik tumbuhan dalam pandangan fikih? Atau bagaimana
hukumnya mengembangkan teknologi sehingga menjadi inovasi baru?. Ini akan menjadi
menarik jika dilihat dari pandangan fikih, dan jelas menyangkut semua kehidupan
sosial.


Nilai-nilai fikih dan akhlaq


Masyarakat sekarang tengah digempur dengan ekonomi dan teknologi. Nilai-nilai
fikih yang sempat dibangun oleh leluhur sedang menghadapi gempuran itu. Ada yang
bisa mempertahankan nilai fikihnya ada yang sebaliknya. Contohnya kalimat salam yang
dirubah dengan kalimat sapaan lain bagi orang ‘ajam (bukan orang arab). Yang pada
intinya untuk tanda penghormatan dan keakraban. Meski sebenarnya tidak semudah itu
untuk memperbolehkannya, perlu pertimbangan. Atau yang sering terjadi juga adalah
menyelesaikan konflik (rekonsiliasi). Dua contoh itu termasuk pembahasan fikih.
Terlihat sepele namun perlu dimengerti bersama.


Saya masih ingat maqolah yang ada dalam kitab ta’lim. Kurang lebih isinya
seperti ini, “sebaik-baik ilmu adalah tentang perilaku, dan sebaik-baik amal adalah
menjaga perilaku itu sendiri”. Maka bisa dilihat bahwa keberadaan ilmu yang dimaksud
adalah adab berperilaku. Nilai-nilai fikih juga bagian dari akhlaq. Keberadaanya
mencakup segala aktiftas masyarakat umum. Contoh kecil yaitu wajib memenuhi
undangan resepsi sebagai upaya idkholus surur (mendatangkan kebahagiaan) bagi tuan
rumah. Pengetahuan dan penerapan fikih perlu dilestarikan sebagai undang-undang yang mengatur segala aktifitas. Karena akhir-akhir ini ketertiban sosial terbangun
bukan karena kesadaran tapi karena aturan tertulis.


Keotentinkan Fikih
Sewaktu saya masih belajar di instansi, saya telah melaksanakan kegiatan KKN
dua kali. Kok bisa? karena KKN yang pertama saya lakukan dengan instansi kampus.
KKN tahun setelahnya saya lakukan dengan instansi lembaga pesantren. Penyebutan
KKN di pesantren tidak menyesuaikan singkatan (Kuliah Kerja Nyata), namun
menyesuaikan kesamaan kegiatan. Ini juga merupakan contoh penyesuaian pesantren
terhadap gempuran ekonomi dan teknologi seperti diatas tadi. Saya rasa KKN pesantren
ini adalah kesempatan unik. Jarang saya menemui program pesantren seperti ini,
bahkan termasuk pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur.


KKN Pesantren yang saya jalani ada di sebuah dusun dekat dengan Kapanewon
Dlingo Kabupaten Bantul. Selama bulan puasa 1444 H tahun 2023 ini saya merasakan
KKN yang berbeda dengan KKN kampus sebelumnya. Santri harus bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Jelas itu adalah tentang
pertanyaan fiqih. Pertanyaan yang ada sama sekali beda dengan pertanyaan-pertanyaan
yang dimusyawarohkan atau di bahtsul masail-kan di pesantren.


Beberapa pertanyaannya adalah lebih didahulukan yang mana antara berqurban
dengan mengaqiqohkan diri sendiri? bagaimana menyikapi penetapan hari raya idul
fitri yang berbeda? dan pertanyaan-pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan fikih ini
sesuai dengan pengalaman yang masyarakat hadapi. Mungkin orang lain bisa
menemukan jawabannya lewat esai di website pesantren, namun jika yang diminta
adalah penjelasan dalam kitab kuning maka hanya santri yang bisa menjelaskan itu. Dan
keberadaan kitab kuning yang menjelaskan hasil ijma’ para ulama, penting kaitannya
sebelum mempelajari ilmu hadis dan tafsir. Karena hadis dan tafsir merupakan ilmu
tingkat lanjut. Sangat rawan terjadi kesalahan jika belum mempunyai bekal ilmu yang
cukup.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *