Untuk kesekalian kalinya dari genre Kerajaan Kuno Dari Borneo akan memaparkan satu lagi informasi sejarah mengenai satu kerajaan yang diasaskan oleh masyarakat pribumi Borneo. Kali ini kerajaan kuno dayak ini diasaskan oleh suku Dayak Mualang yaitu salah satu sub etnik Iban. Namanya tidaklah segagah kerajaan dayak yang lain seperti Kerajaan Sanggau dan Mempawah namun begitu, ia juga mempunyai pertalian dengan kerajaan-kerajaan ini.
Kerajaan Sekadau merupakan salah satu kerajaan yang diasaskan oleh masyarakat pribumi Borneo dan lahir sekitar pada abad ke 15 M. Lokasinya adalah di Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Keunikan kerajaan yang diasaskan oleh suku dayak Mualang ini adalah dari segi susur galur keturunannya serta pendirinya yaitu Patih Bangi yang juga merupakan pecahan rombongan Dara Nante dan Singa Patih Bardat. Rombongan yang mencari satu tanah suci masyarakat Dayak Borneo yang bernama Tampung Juah adalah susur galur kebanyakan masyarakat Dayak di Borneo.
Konon, Patih Bangi dan rombongan adalah mereka yang mula-mula membuka wilayah Sekadau dan terdapat 2 versi di dalam menceritakan bagaimana Sekadau mendapat namanya. Menurut versi yang tercatat di dalam dokumen sejarah lama menyatakan bahwa Sekadau itu mendapat nama dari sejenis pohon yang tumbuh meliar di sungai dan pohon tersebut dipanggil Batang Adau. Dipertuturkan oleh masyarakat tempatan akhirnya menjadi Sekadau.
Pada versi kedua berdasarkan kepada cerita legenda masyarakat suku Dayak Mualang pula berdasarkan kepada cerita lisan dari satu generasi ke satu generasi yang lain mengisahkan bahwa Sekadau mendapat nama saat Patih Bangi dan rombongannya kali pertama menjejakkan kaki di kawasan Sekadau. Mengikut dialek mereka setiap hal baru mereka akan menyebut “Baru Adau” yang bermaksud baru melihat dan akhirnya ia dipertuturkan berulang-ulang jadilah Sekadau.
Apabila membuat pencerahan mengenai kerajaan kuno ini maka tidak boleh tidak, hampir sama dengan kerajaan-kerajaan kuno yang lain, pada awalnya didirikan oleh masyarakat Dayak Borneo yang mempunyai pengaruh Hindu dan seterusnya dan ketika kedatangan agama Islam di bumi Borneo maka kerajaan yang mengamalkan corak Islam di dalam pemerintahannya yang dikenali dengan nama Kesultanan Sekadau.
Kerajaan Sekadau Di Bawah Pengaruh Hindu
Pendiri awal Kerajaan Sekadau adalah seorang masyarakat pribumi Dayak Borneo yang bernama Patih Bangi. Pada masa itu diceritakan bahwa rombongan Patih Bangi telah meneruskan perjalanan ke hulu Sungai Kapuas setelah berpecah dengan rombongan Dara Nante dan Patih Singa Barbai. Tatkala mereka menemui satu kawasan yang subur dan amat molek untuk dijadikan satu kerajaan di Sungai Sekadau akhirnya mereka membuka satu kerajaan Dayak di situ.
Patih Bangi bukanlah sembarangan orang malah beliau juga diceritakan sebagai seorang pahlawan suku Dayak Mualang yang terkenal jadi tidaklah mengherankan jika kewujudan Sekadau sebagai sebuah kerajaan Dayak kuno suatu yang lazim dan banyak diikuti oleh kerajaan-kerajaan kuno yang lain. Saat beliau meninggal dunia maka dikukuhkan puteranya yang bernama Cuat menggantikan beliau sebagai raja di Kerajaan Sekadau. Cuat memerintah dari tahun 1530 M sampai 1550 M.
Selepas Cuat meninggal dunia, diganti oleh anakandanya, Nang Manlang (1550–1570), Nang Lukis (1570-1600) dan seterusnya Abang Budang yang merupakan pemerintah terakhir Kerajaan Sekadau yang masih di dalam pengaruh Hindu di dalam sistem pemerintahannya. Pada ketika itu, lokasi ibukota bagi Kerajaan Sekadau adalah di Daerah Kematu.
Kerajaan Sekadau Di Bawah Pengaruh Islam
Kerajaan Sekadau benar-benar sebagai sebuah kerajaan yang megah dan makmur saat diperintah oleh Pangeran Engkong. Beliau digambarkan sebagai seorang penguasa yang paling bijak mentadbir sehingga memungkinkan Kerajaan Sekadau itu sebagai satu kerajaan yang kuat. Walaupun beliau sudah memeluk Islam pada ketika itu dikatakan bahwa beliau tetap menghormati mana-mana masyarakat Sekadau yang masih enggan memeluk Islam dan mereka dibenarkan untuk menjalankan ritual agama mereka. Inilah menyebabkan raja Sekadau ini amat disayangi oleh rakyatnya.
Konon, Pangeran Engkong ini dikurniakan dengan 3 orang putera dan seharusnya putera sulungnya, Pangeran Agong yang layak untuk mewarisi raja Sekadau namun begitu sejak dari awal Pangeran Engkong mengetahui bahwa putera keduanya, Pangeran Kadar lebih bijak untuk memerintah Kerajaan Sekadau. Tatkala Pangeran Engkong meninggal dunia yang ditabalkan menjadi Raja Sekadau adalah Pangeran Kadar. Hal ini menyebabkan Pangeran Agong merajuk membawa diri sehingga ke Lawang Kuwari. Di Lawang Kuwari Pangeran Agong hidup sendiri dengan masyarakat pribumi yang lain.
Sebaliknya putera yang bungsu, Pangeran Senarong telah diamanahkan oleh Pangeran Kadar untuk menjadi penguasa di wilayah Belitang, salah satu tanah jajahan Kerajaan Sekadau ketika itu. Dan adik yang bungsu ini merupakan seorang adik yang taat kepada kakaknya dengan lebih menumpukan kemajuan wilayah Belitang yang agak mundur ketika itu menjadi antara daerah yang paling banyak penghasilan upetinya bagi Kerajaan Sekadau.
Perginya Pangeran Kadar menyahut seruan ilahi telah membenarkan Kerajaan Sekadau mempunyai seorang raja yang baru yaitu putera Pangeran Kadar sendiri yang bernama Pangeran Suma. Diceritakan Pangeran Suma ini adalah seorang yang pandai ilmu agama Islam karena sejak di zaman remaja telah dihantar untuk mempelajari seluk beluk agama Islam di Kerajaan Mempawah. Ketika beliau memerintah beliau telah memindahkan lokasi Kerajaan Sekadau ke Sungai Bara dan disanalah beliau telah mendirikan Masjid Sekadau yang menjadi simbol keutuhan agama Islam di bumi Sekadau.
Kerajaan Sekadau Di Bawah Pengaruh Belanda
Di ketika pemerintahan Pangeran Suma ini syiar Islam di bumi Sekadau telah banyak memakmurkan Kerajaan Sekadau dan sekitarnya. Pada saat Belanda datang ke Sekadau untuk berniaga akhirnya mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan Sekadau. Saat Abang Tondong yakni anakanda Pangeran Suma naik tahta dengan gelar Sultan Anum sudah ada suara-suara sumbang dari pemerintah Belanda di Sekadau..
Keadaan semakin rumit saat Abang Ipong dinaikkan menjadi raja Sekadau akibat campurtangan Belanda padahal Abang Ipong bukanlah berasal dari susur galur raja Sekadau. Ini karena putera mahkota yakni Abang Usman masih kecil. Abang Usman adalah putera hasil perkawinan Pangeran Suma dengan seorang puteri ketua adat suku Dayak Sekadau yang amat dihormati. Karena tidak mau anakandanya yang masih kecil diapa-apakan maka dibawalah Abang Usman kembali ke kampungnya di Nanga Taman hidup sebagai rakyat biasa.
Sementara raja Sekadau berikutnya adalah Gusti Mekah yang menggelar dirinya Panembahan Gusti Mekah Kesuma Negara. Karena Gusti Mekah ini mempunyai silsilah sebenarnya raja Sekadau, maka beliau tidak begitu menyukai campurtangan Belanda di dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sekadau. Tatkala Panembahan Gusti Ahmad Sri Negara naik tahta, tidak diterima oleh Belanda. Pada ketika itulah Belanda telah memainkan taktik kotor dengan menangkap kesemua kaum keluarga Panembahan Gusti Mekah tidak kira lelaki dan perempuan, tua ataupun muda dan mereka kesemuanya diasingkan ke Malang, Jawa Timur atas tuduhan menghasut para pembesar dan rakyat Sekadau melawan Belanda di Sekadau.
Sebagai raja boneka Belanda, diangkatlah Panembahan Haji Gusti Abdullah yang bergelar Pangeran Mangku. Namun begitu, saat itu tidak bercorak raja lagi di dalam sistem pemerintahannya, sebaliknya hanya, sebagai Penguasa Sekadau saja. Kemudian diangkat pula Panembahan Gusti Akhmad dan seterusnya Gusti Hamid. Kesemua mereka ini hanyalah “raja boneka” Belanda tanpa ada apa-apa kuasapun terhadap Sekadau tidak pada tempatnya.
Kerajaan Sekadau Sewaktu Penaklukan Jepun di Borneo
Apabila Perang Dunia kedua meletus, Sekadau juga turut sama jatuh dibawah penaklukan Jepang. Pada masa itu Gusti Kelip menjadi penguasa Sekadau namun begitu diceritakan Gusti Kelip tidak boleh menerima pendudukan Jepang di Sekadau. Gusti Kelip dengan beberapa pembesar serta rakyat jelata yang menyokongnya coba menentang Jepang di Sekadau namun begitu akhirnya beliau ditangkap pada tahun 1944 dan dihukum pancung oleh pemerintahan Jepang.
Jepang yang coba memainkan peranannya di Sekadau telah mengangkat Gusti Adnan, seorang pembesar Kerajaan Sekadau sebagai Raja Sekadau. Gusti Adnan bukanlah orang asal Sekadau sebaliknya beliau adalah rakyat di wilayah Belitang yang dikuasai oleh Gusti Kolen. Setelah Jepang menyerah kalah, Sekadau kekal diperintah oleh Gusti Adnan dengan dibantu oleh Gusti Kolen sebagai penasihatnya.
Pembubaran Kerajaan Sekadau
Di ketika banyak kerajaan-kerajaan di Kalimantan, yang dihapus sistem pemerintahan berajanya pada awal tahun 1949 karena saat itu, bagi membenarkan sebuah republik yang bernama Republik Indonesia ditubuhkan, Kerajaan Sekadau masih lagi utuh sebagai sebuah kerajaan bercorak raja. Pada awal Juni 1952, barulah Kerajaan Sekadau dihapuskan dan Sekadau kekal sebagai sebuah wilayah Republik Indonesia sampai sekarang.
Inilah sejarah panjang sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sekadau, Kalimantan Barat, yang didirikan oleh masyarakat pribumi Borneo bernama Patih Bangi. Dari sebuah kerajaan Dayak berkonsepkan Hindu pada awal pemerintahannya kemudian berkonsepkan Islam dan akhirnya dibubarkan lalu menjadi Kabupaten Sekadau sekarang. Banyak sejarah tamaddun Dayak Borneo yang tidak diketahui kita dan ternyata masyarakat Dayak Borneo telah awal-awal lagi mempunyai ketamadunannya sendiri baik dari segi pemerintahan kerajaan maupun dari segi ke bahasanya.
No responses yet