Kisah asal mula suku ini bermula dari cerita rakyat yang disebut “bulongan” (bambu dan telur). Dalam kisah itu disebutkan, seorang petani yang sekaligus kepala suku di kawasan Long Sungai Kayan, Ku Anyi, menemukan sebatang bambu dan telur yang sedang digonggongi anjing di hutan. Ku Anyi dan istri merasa ada yang istimewa dengan bambu dan telur tersebut. Mereka pun membawanya pulang. Di rumah, ternyata bambu dan telur itu berubah dan menjelma menjadi dua manusia yang kemudian mereka namakan Jau Iru dan Lemlaisuri. Setelah dewasa, keduanya menikah dan memiliki anak bernama Jau Anyi. Tampuk kepemimpinan suku diturunkan Ku Anyi kepada Jau Iru, kemudian Jau Anyi, Paren Jau, Paren Anyi, Wan Paren, Lahai Bara, Sibarau, Simun Luwan, hingga Sadang (1548-1555M).
Saat kepemimpunan Sadang, suku Kenyah dari Serawak menyerang. Kepala Suku gugur, tetapi saudari kandungnya, Asung Luwan, berhasil lolos dan lari ke pesisir Baratan. Di sana, Asung menikah dengan Datuk Mancang (Datuk Lancang) dari Brunei. Datuk Mancang bersama Asung Luwan memerintah di Baratan dan Busang Arau (Kuala Sungai Pengian) hingga 1595M. Pernikahan tersebut mengakhiri pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku.
Posisi pimpinan diambil alih oleh Kenawai Lumu. Setelah itu, nama-nama Kayan (suku di sekitar sungai Kayan) tidak muncul lagi dalam silsilah raja-raja. Inilah akhir dari periode pertama Bulungan.
Di periode kedua, nama-nama raja disebut Wira. Secara berturut-turut, penguasa suku Bulungan adalah Wira Kelana, Wira Keranda, dan Wira Digendung. Periode kedua berakhir di sini.
Istana Kesultanan Bulungan pada abad 20
Di periode ketiga, masyarakat Bulungan menggunakan sistem kesultanan. Pada masa ini, Islam mulai berkembang lantaran hubungan dekat penguasanya dengan para perantau Arab dari Hadramaut, melewati Demak terus Gresik hingga ke Bulungan.
Sultan Bulungan I bernama Wira Amir (1731-1777M) dengan gelar Amiril Mukminin setelah dislamkan oleh Sayyid Abdurrahman Bilfaqih sekaligus lepas secara otonom dari kesultanan Berau. Ia kemudian diganti oleh anaknya, Sultan Bulungan II, Aji Ali (1777-1817M), yang bergelar Sultan Alimudin. Suksesor Aji Ali adalah Sultan Bulungan III, Aji Muhammad (1817-1861M) yang bergelar Sultan Muhammad Kaharudin. Kemudian diteruskan oleh anaknya, Sultan Bulungan IV Si Kidding (1862-1866M), dengan gelar Sultan Muhammad Jalaludin. Tidak lama kemudian, Si Kidding meninggal, dan digantikan Sultan Bulungan V Muhammad Kaharudin (1866-1973M). Penerus mahkota berikutnya adalah Sultan Bulungan VI, Datu Alam (1873-1875M) dengan gelar Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil. Namun karena dianggap melanggar perjanjian dengan Belanda, ia diracun dalam sebuah jamuan di istana Bulungan pada 1875M.
Penggantinya adalah Sultan Bulungan VII, Ali Kahar (1875-1889M) yang bergelar Sultan Kaharudin II. Pada masa ini, Belanda begitu kuat menanamkan pengaruhnya, sehingga pada Juni 1878M, ditandatanganilah sebuah perjanjian yang memberi wewenang kepada penjajah itu untuk menentukan kebijakan sultan Bulungan, termasuk urusan pajak. Sebagai imbalannya, keamanan sultan dijamin oleh Kerajaan Belanda.
Kekuasaan Sultan Kaharudin II diteruskan oleh menantunya, Sultan Bulungan VIII Si Gieng (1889-1899M) yang bergelar Sultan Adzimudin. Setelah meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Puteri Sibut didampingi oleh Datu Mansyur (1899-1901M) sebagai penguasa sementara.
Sultan yang memerintah berikutnya adalah Datu Belembung, putra sulung Sultan Adzimudin yakni Sultan Bulungan IX yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al Din (Sultan Kasimudin). Ia mengambil kebijakan dan langkah-langkah anti-Belanda, seperti mendukung penghapusan upeti dan penghilangan penjemputan tamu-tamu Belanda ke kapal sebelum merapat di pelabuhan. Sultan ke-9 itu juga menentukan kebijakan politik bisnis bagi kepentingan Kesultanan Bulungan dengan memanfaatkan hasil hutan dan perikanan. Setelah ditemukannya sumber minyak di Pulau Tarakan tahun 1902M, Kesultanan Bulungan makin mencapai puncak keemasannya. Rakyat bangga dengan sultan muda ini. Sayang, ia meninggal terkena peluru nyasar sewaktu berburu pada 1925M.
Penggantinya adalah Sultan Bulungan X Datu Mansyur (1925-1930M). Sesudah itu, putra Sultan Kasimudin bernama Achmad Sulaiman menjadi Sultan Bulungan XI setelah kembali dari tugas belajar di Sumatra, Datu Mansyur menyerahkan kekuasaan kepadanya. Tetapi sultan ke-11 itu tidak lama berkuasa karena mendadak meninggal pada 1931M.
Ia digantikan oleh Sultan Bulungan XII, Muhammad Jalaludin II (1931-1958M). Inilah sultan yang terakhir di Bulungan. Pada periode ini, dibangun istana ketiga di Tanjung Palas, pemberian pangkat Letnan Kolonel Tituler oleh Ratu Wilhelmina kepada sultan, pelaksanaan upacara Birau pertama selama 40 hari 40 malam, pembumihangusan Tarakan oleh tentara Jepang untuk mengusir Belanda, dan pendaratan tentara sekutu (NICA).
Pemerintah Indonesia mengangkat Bulungan menjadi Daerah Istimewa pada 1948M, dengan Sultan Muhammad Jalaludin sebagai kepala daerah istimewa pertamanya. Sang saka merah putih untuk pertama kalinya berkibar pada 17 Agustus 1949M di sana. Kemudian, pada 1958M, sultan terakhir Bulungan itu meninggal.
Kesultanan Bulungan ini, pernah mempunyai sejarah kejayaan secara ekonomi politik. Kesultanan Bulungan adalah kesultanan yang kaya, mempunyai tambang minyak, perkebunan lada dan rempah-rempah yang luas hingga termasuk memiliki pelabuhan perdagangan antar negara. Wilayah kekuasaannya pernah sangat luas meliputi seluruh Kalimantan Utara (Bulungan, Malinau, Nunukan, Tarakan dan Tana Tidung), sebagian Sabah, Pulau Sipadan, Pulau Ligitan bahkan sebagian Filipina, dengan ibukotanya Tanjung Palas.
Sebaliknya juga, ia mempunyai sejarah kelam, pada tanggal 24 Juli 1964M, terjadi peristiwa hitam di Bulungan yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung dan Kenyah) yakni pembakaran istana kesultanan Bulungan yang megah oleh tentara Republik Indonesia yang diiringi dengan penjarahan dan pembantaian keluarga sultan dan kaum bangsawan Bulungan. Ada 87 orang yang ditangkap dan 37 orang dieksekusi di dalam perahu yang mayatnya kemudian langsung dibuang ke laut. Belum jelas motif dari tentara atas kejadian hitam tersebut karena sampai sekarang memang belum diusut tuntas oleh negara, sejak era Presiden Soeharto sampai Presiden Jokowi tetap masih misteri. Ada sebagian kecil keluarga kesultanan yang menyelamatkan diri ke negara tetangga Malaysia. Pada tahun 1998M, Sultan Bulungan XIII, Muhammad Al-Makmun berniat pulang kembali ke Indonesia alias ke Bulungan setelah tinggal lama, lebih 50 tahun di Sabah, Malaysia bersama dua permaisurinya Pengian Aminah dan Pengian Siti Hawa serta Putera Mahkota Abdul Jalal. Namun pada tahun 2002 niat itu baru terealisir dan benar-benar sudah kembali ke Bulungan.
Semasa kerajaan atau Kesultanan Bulungan, pusat atau ibukots kerajaan berada di Tanjung Palas. Namun kini, Setelah jadi Kabupaten, pusat pemerintahan ada di Tanjung Selor, kota yang hanya terpisah oleh Sungai Kayan.
Sekarang, Bulungan adalah salah satu Kabupaten terluas di Indonesia. Karena itu, pada tahun 1999, Bulungan dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Bulungan sendiri, Malinau, dan Nunukan. Kemudian, belakangan bertambah lagi satu Kabupaten yaitu Tana Tidung.
Pada tahun 2013, keempat wilayah otonom tersebut beserta Kabupaten Tana Tidung dan Tarakan memisahkan diri dari Kalimantan Timur dan menjadi wilayah provinsi baru Kalimantan Utara dengan ibukotanya Tanjung Selor yang juga ibukota kabupaten Bulungan.
No responses yet