Sekitar tahun 1750, Puanna Dekke’ seorang pedagang Bugis asal Wajo Sulawesi Selatan merantau ke Pulau Kalimantan. Sesampainya di suatu daerah hutan belantara hatinya sangat tertarik untuk membuka daerah itu. Puanna Dekke’ diberitahu oleh penduduk asli bahwa kawasan hutan tersebut adalah milik Sultan Banjar, Sultan Tahmidullah atau Sunan Nata Alam. Dengan bakat seorang pedagang, menghadaplah Puanna Dekke’ menemui Sultan Tahmidullah menyampaikan niat ingin membuka lahan hutan tersebut.

Melihat kesungguhan Puanna Dekke’, Sultan Tahmidullah bersimpati dan bersedia meminjamkan kawasan hutan yang dimaksud. Sultan Banjar pun berpendapat perlu adanya sebuah perwakilan untuk mengamankan wilayah laut di tenggara Kesultanan Banjar.

Bermodalkan tanah pinjaman Sultan, maka terbukalah sebuah kawasan baru. Pada saat itu di hutan ini banyak tumbuh pohon rotan dan para penduduk pekerjaannya memotong rotan untuk dikirim ke ibukota Kesultanan Banjar. Puanna Dekke’ saat itu bertanya apa nama daerah ini? Oleh penduduk dijawab, “Pamagatan” maksudnya tempat pemotongan rotan.

Karena Puanna Dekke’ berlogat Bugis maka dia menyebut daerah itu dengan “Pegattang” kemudian seiring waktu berganti menjadi “Pagatan” mengikut logat masyarakat Banjar.

Ketika terjadi konflik keluarga di lingkungan Istana, Pangeran Anom memblokade Muara Banjarmasin sehingga arus kapal dagang terganggu. Puanna Dekke’ yang mendengar hal itu memanggil cucunya La Pangewa (Hasan Pangewa) untuk menggempur armada Pangeran Anom. La Pangewa dengan kemampuan tempur di laut yang handal memukul mundur kapal-kapal pasukan Pangeran Anom hingga terdesak ke Kuala Biyajo (Kuala Kapuas sekarang).

La Pangewa berhasil masuk ibukota Banjarmasin dan menghadap Sultan Banjar. Oleh Sultan Banjar atas jasanya La Pangewa diberi gelar Kapiten Laut Pulo. Kelak La Pangewa cucu dari Puanna Dekke’ inilah yang akan menjadi Raja Pertama Kerajaan Pagatan atas restu Sultan Banjar.

Karena keberhasilannya babat alas membuka hutan dan menjaga keamanan di daerah ini dari gangguan penyamun (bajak laut) serta menghalau pemberontak, Sultan Banjar memberikannya untuk dimiliki bahkan bisa sampai diwariskan pada anak cucu keturunannya. Bisa dipahami jika ia bersama saudaranya Pua Junggo kemudian membentuk kerajaan kecil, kerajaan Pagatan dan mengangkat cucunya La Pangewa semacam raja pertama yang disebut Arung. Beberapa Arung kerajaan Pagatan berikutnya adalah Laut Pulo (1750-1830), La Palebbi (1830-1838), La Palliweng (1838-1855), La Mattunnu (1855-1863), La Makkarau (1863-1871), Abdul Jabbar (1871-1875), Isengong atau Daeng Makkau (1875-1883), Andi Takung (Ratu 1883-1893), Andi Sullo (1893-1908), Andi Genggong (1908-1967) dan Andi Usman (1922-2004).

Ketika masa penjajahan Belanda dalam Staatblaad tahun 1898 no. 178, Pagatan ini merupakan “Leenplichtige Landschappen”, dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Pada masa kemerdekaan Pagatan masuk sebagai bagian wilayah kabupaten Kotabaru. Ketika tahun 2003 terjadi pemekaran Pagatan menjadi bagian wilayah dari kabupaten Tanah Bambu. Kenapa komunitas Bugis ini bisa diterima bahkan dijadikan pimpinan oleh komunitas Banjar dan Dayak di daerah ini? Selama ini para sejarawan Banjar abai atau luput perhatian terhadap proses interaksi etnik di wilayah ini. Adanya hanya Banjar Hulu, Banjar Kuala dan Banjar Batangbanyu yang merupakan hasil interaksi antara etnik Melayu, Dayak dan Jawa, tak ada hasil interaksi etnik Melayu, Dayak dan Bugis. 

Kalau boleh menjawab sebagai asumsi sementara disini telah terjadi proses banjarisasi Bugis atau setidaknya Bugis yang membanjar. Karena bagi Bugis di sini, Di mana Bumi Dipijak, Di situ Langit Dijunjung. Mereka meskipun tetap mempertahankan identitas kebugisannya, tetapi hanya beberapa seperti mempertahankan adat Mappanretasi, Masukkiri, Silelung Botting, Mapanre Dewata. Lebih dari itu, mereka sudah tidak mau lagi disebut sebagai Bugis Sulawesi. Mereka sudah merasa berbeda terutama dalam lugot atau dialek bahasa. Kalau dialek Bugis Sulawesi berirama dan mengalun, sedang Bugis Pagatan lebih tegas dan lugas. Apatah lagi Bugis Pagatan sudah dwibahasa, di samping mereka berbahasa Bugis, juga berbahasa Banjar. Demikian juga mereka yang sudah kawin dengan suku Banjar, akan lebih membanjar.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *