Sanggau adalah salah satu kabupaten yang terletak di Kalimantan Barat, tepatnya tidaklah berapa jauh lokasinya dari Pontianak. Sanggau juga adalah salah satu kabupaten yang mana penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Dayak Bidayuh, Dayak Keramabi, Dayak Mali, Dayak Desa, Dayak Pandu, Dayak Ribun, Dayak Iban serta kaum Tionghoa dan Melayu yang mendiami setiap daerah di kabupaten Sanggau itu sendiri.  

Umum juga mengetahui betapa dekatnya masyarakat Dayak Sarawak dengan Dayak di Kalimantan Barat yang sejak dahulu memang terbukti mempunyai susurgalur yang sama dengan mereka yang mendiami keseluruhan Pulau Borneo sekarang. Karena itulah banyak sejarah masyarakat Dayak Sarawak dan Melayu  berkait rapat dengan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di bumi Borneo dahulu.  

Mungkin, banyak yang tak mengetahui, dahulu pernah wujud satu kerajaan yang disebut sebagai Kerajaan Sanggau yang didirikan oleh masyarakat Dayak di Borneo dahulu.  Malah nama Sanggau itu sendiri menurut ceritanya adalah berasal dari salah satu suku Dayak yang dipanggil Dayak Sanggau, berasal dari keturunan Babai Cinga, suami Dara Nante yang menjadi pendiri Kerajaan Sanggau ini.

Untuk memperingati sejarah tersebut maka tiap tahun 7 April di Kabupaten Sanggau sekarang selalu dirayakan sebagai Hari Sanggau yang mana kesemua penduduk di Kabupaten Sanggau baik Dayak, Melayu maupun Arab dan Tionghua akan berpadu tenaga menceriakan hari tersebut dengan pelbagai acara dan tradisi perayaan. Mereka percaya bahwa Kerajaan Sanggau itu berdiri pada 7 April 1310M oleh Dara Nante, pendiri Kerajaan Sanggau sekaligus juga merupakan kerajaan yang unik karena mempunyai raja perempuan sebagai pemegang tampuk pemerintahannya.  

Sejarah Awal Kerajaan Sanggau

Berdirinya Kerajaan Sanggau ini,  bertitik tolak dari pengembaraan seorang puteri dari Sukadana yang bernama Dara Nante.  Dara Nante menyusuri Sungai Sekayam di dalam wilayah Entikong sekarang dan rombongan yang diiringi oleh suku Dayak Mualang.  Mereka bergabung di dalam pelayaran ini untuk   mengarungi Sungai Sekayam yang terkenal agak deras aliran harusnya. Ketika sampai di dua percabangan anak sungai yang harus Dara Nante dan rombongan besarnya memilih cabang sungai yang bernama Sungai Entabai dan akhirnya mereka menemui satu tempat yang bernama Tampun Juah dan di Tampun Juah inilah Dara Nante menemui jodohnya, seorang anak Dayak yang bernama Babai Cinga.  

Dara Nante dan suaminya Babai Cinga tidak mendiami lama di Tampun Juah sebaliknya Dara Nante ingin membawa suami pulang ke Sukadana bertemu keluarganya.  Akhirnya dipersiapkan segala persediaan untuk belayar menyusuri Sungai Sekayam kembali.  Di dalam perjalanan pulang ke Sukadana itulah Dara Nante dan Babai Cinga beristirahat di satu kawasan yang bernama Labai Lawai dan karena keletihan Dara Nante tertidur di satu kawasan yang redup.  Apabila dia bangun dari tidur itulah dia menyuarakan keinginannya untuk membina sebuah kerajaan kecil di Labai Lawai itu sebab dia mendapat firasat di dalam mimpi menyuruhnya berbuat demikian. 

Pada tanggal 7 April 1310  berdiri Kerajaan Sanggau dengan dinamakan Sanggau mengambil kenangan suatu nama dari suku Dayak Babai Cinga, suami Dara Nante yang berketurunan Dayak Sanggau. Pada hari itu juga Dara Nante dinobatkan sebagai raja perempuan yang pertama untuk Kerajaan Sanggau. Kemudian secara otomatis Babai Cinga diangkat menjadi Temenggung.  Maka makmurlah Kerajaan Sanggau pada masa itu dibawah pemerintahan seorang raja perempuan yang bernama Dara Nante, salah satu golongan bangsawan dari Kerajaan Sukadana.  

Sekitar tahun 1400 M, Dara Nante berangkat pulang ke Sukadana untuk menziarahi keluarganya sekaligus menyerahkan tampuk pemerintahan kepada orang kepercayaannya  Dakkudak.  Namun, ternyata Dakkudak bukanlah seorang pemimpin yang sebaik Dara Nante, Dakkudak dikatakan seorang pemimpin yang kejam terhadap rakyat yang bernaung di bawah Kerajaan Sanggau.  Apabila situasi semakin memburuk akhirnya Dakkudak melarikan diri dari Kerajaan Sanggau dan menuju ke Semboja dan Segarong menyamar diri menjadi rakyat biasa.  

Setelah kepergian Dakkudak ini, Kerajaan Sanggau terus mengalami zaman kemundurannya dan akhirnya puteri-puteri Dara Nante hasil perkawinannya dengan Babai Cinga menjadi pengganti.  Dara Nante dan Babai Cinga mempunyai 5 puteri yang hebat-hebat dikenal dengan nama Dara Mas Ratena, Dara Juanti, Dara Hitam, Dara Nandung dan Dara Junjung Buih.  Empat dari adik puteri Dara Mas Ratena telah dikawin oleh putera-putera dari beberapa kerajaan kuno di Kalimantan seperti Dara Juanti (Kerajaan Sintang), Dara Hitam (Kerajaan Landak), Dara Nandung (Kerajaan Sambas) dan Dara Junjung Buih (Kerajaan Ketapang).  Maka tinggallah Dara Mas Ratena meneruskan Kerajaan Sanggau untuk kesinambungan trah Dara Nante dan juga ayahandanya Babai Cinga.  

Kerajaan Sanggau Di Bawah Pengaruh Islam

Pada tahun 1485 M, maka diangkatlah Dara Mas Ratena menjadi raja perempuan kedua bagi Kerajaan Sanggau. Dikala itu pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau di Labai Lawai dipindahkan ke Mengkiang, tepatnya di muara Sungai Sekayam.  Dara Mas Ratena pada saat yang sama bertemu jodoh dengan suaminya seorang pendakwah agama Islam yang berasal dari Banten mempunyai susur keturunan Kyai Kerang yang bernama Abdurrahman.  Pada saat itu Kerajaan Sanggau dimakmurkan dengan menjadi salah sebuah kerajaan kuno dibawah pengaruh Islam di bumi Kalimantan. 

Walaupun sudah dibawah pengaruh Islam, namun Kerajaan Sanggau pada masa itu masih belum lagi mengangkat Islam sebagai satu agama resmi Kerajaan Sanggau tetap berdiri sebagai sebuah kerajaan yang bebas, masih mengamalkan beberapa ritual dari kepercayaan nenek-moyang suku Dayak di Borneo. Setelah Dara Mas Ratena mangkat maka diangkat puterinya, Dayang Puasa untuk menjadi raja Kerajaan Sanggau.  Dayang Puasa menggelar dirinya sebagai Nyai Sura yang memegang tampuk pemerintahan dari 1528 hingga 1569. Di zaman ini hubungan antara Kerajaan Sanggau dengan kerajaan-kerajaan yang lain, mengalami tingkat terbaik hingga membuat Kerajaan Sanggau semakin makmur dan kuat.  

Setelah mangkatnya Nyai Sura, maka diangkatlah untuk kali pertama seorang raja lelaki di dalam Kerajaan Sanggau, tersebab Nyai Sura tidak dikurniakan puteri, maka dilantiklah Abang Gani, putera mahkota sebagai raja Kerajaan Sanggau dengan menggelar dirinya sebagai Pangeran Adipati Kusumanegara Gani yang memerintah dari tahun 1569 hingga 1614.  Kemudian Kerajaan Sanggau dipimpin pula oleh Abang Basun, putera kepada Abang Gani yang menggelar dirinya sebagai Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658) dan dikatakan ketika inilah Kerajaan Sanggau berada di puncak kegemilangannya dengan adanya pengaruh Islam yang kuat serta ketaatan saudara kandung Pangeran Mangkubumi Pakunegara yang membantu kakandanya menguruskan Kerajaan Sanggau yakni Abang Abon yang digelar Pangeran Sumabaya dan juga adinda sepupunya yakni Abang Guneng yang amat pakar di dalam strategi perang darat. 

Sanggau sebagai Kesultanan Sanggau

Setelah kemangkatan Pangeran Mangkubumi Pakunegara, maka naik takhta Abang Bungsu yang merupakan raja pertama Kerajaan Sanggau yang menggelar dirinya Sultan Mohammad Jamaludin Kusumanegara.  Baginda memerintah dari tahun 1658 sehingga 1690 dan ketika inilah beliau telah mengubah Kerajaan Sanggau menjadi Kesultanan Sanggau yang mengamalkan pentadbiran agama Islam sepenuhnya.  Baginda juga telah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau dari Mengkiang ke Kota Sanggau sekarang.  

Pada tahun 1690, anakanda Abang Kamarudin diangkat menjadi sultan di Kesultanan Sanggau dengan gelaran Sultan Ahmad Kamaruddin yang memerintah dari tahun 1690 sehingga 1722. Baginda dibantu oleh adindanya yakni Panembahan Ratu Surya Negara.  Di ketika itu Sultan Ahmad Kamaruddin menjadi ketua pemerintahan manakala adindanya menjadi penasihat Kesultanan Sanggau yang menguasai semua wilayah persisir laut Kesultanan Sanggau.  Di ketika Sultan Ahmad Kamarudin sakit, maka diangkatlah Panembahan Ratu Surya Negara menjadi Sultan dengan bergelar Sultan Zainuddin yang memerintah dari tahun 1722 hingga 1741. Selepas mangkatnya Sultan Zainuddin pada tahun 1741.  Selepas kemangkatannya, anakandanya Abang Tabrani diangkat menjadi Sultan Sanggau dengan gelaran Pangeran Ratu Surya Negara dan bertahta di Istana Beringin.  Manakala generasi daripada Sultan Ahmad Kamaruddin pula bertakhta di Istana Kuta.  

Pada ketika inilah Kesultanan Sanggau mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Kesultanan Kadriah Pontianak yang didirikab oleh Syarif dari Arab yang dikenali dengan keluarga Alkadrie. Namun rupanya sekitar tahun 1778 hubungan akrab ini mulai retak sehingga membenarkan Kesultanan Kadriah Pontianak menguasai beberapa wilayah perniagaan bagi Kesultanan Sanggau di Sungai Kapuas.  Malahan Kesultanan Kadriah Pontianak juga, mengukuhkan perluasan kuasanya dengan membina sebuah kota yang dinamakan Jambu Basra di Pulau Simpang Labi yang merupakan antara jajahan pulau hakmilik Kesultanan Sanggau.  

Pada 1762, Kesultanan Sanggau diperintah pula oleh keturunan dari Sultan Ahmad Kamarudin yakni Panembahan Mohamamad Thahir yang memerintah hingga 1785.  Baginda telah berusaha untuk mendapatkan jajahan takluk Kesultanan Sanggau yang terlepas kepada Kesultanan Kadriah Pontianak tetapi tidak berhasil. Baru pada tahun 1812, selepas Kesultanan Sanggau diperintah oleh Pangeran Usman Paku Negara, Kesultanan Sanggau mendapat kembali jajahannya di Sungai Kapuas, lantaran adanya campurtangan dari ayah mentuanya yakni raja Dayak Mualang yang merupakan ketua Kerajaan Sekadau, sebuah kerajaan Dayak Mualang yang kuat di Kalimantan saat itu. 

Pada tahun 1812-1823, Panembahan Mohamad Ali Mangku Negara dari trah keturunan Sultan Zainudin memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian pada tahun 1823 hingga 1828 berpindah pula kepada trah Sultan Ahmad Kamaruddin yakni Sultan Ayub Paku Negara.  Tatkala wafatnya Sultan Ayub Paku, takhta Kesultanan Sanggau masih lagi diperwariskan kepada trah Sultan Ahmad Kamaruddin kerana putera yang seharusnya diangkat menjadi sultan dari trah Sultan Zainuddin terlalu kecil maka naik tahta Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Baru pada tahun 1860, tahta diserahkan kembali kepada trah Sultan Ahmad Kamaruddin yakni Panembahan Mohammad Thahir II yang memerintah dari 1860 hingga 1876.  

Campurtangan Belanda di dalam Kesultanan Sanggau 

Pada masa pemerintahan Panembahan Mohamad Thahir II ini, Belanda sudah mula mencampuri urusan pentadbiran Kesultanan Sanggau, selepas wafatnya Panembahan Mohamad Thahir II pada tahun 1876, Belanda mendukung dinaikkan Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara yang sebenarnya hanya boneka, tidak diinginkan oleh kesultanan.

Sekitar tahun 1877, telah berlaku satu perjanjian yang ditandatangani antara Sultan Sanggau dengan Belanda yang membenarkan beberapa wilayah Kesultanan Sanggau dikuasakan kepada Belanda.  Perjanjian secara rasmi ini merupakan titik hitam di dalam sejarah Kesultanan Sanggau. Di sinilah bermulanya secara resmi Kesultanan Sanggau menjadi pentadbiran boneka Belanda dan akhirnya Gusti Mohammad Arif Paku Negara diangkat menjadi Sultan Sanggau pada tahun 1941. Seterusnya kemudian seluruh Borneo menghadapi Perang Dunia Kedua yang dilancarkan oleh Jepang.  Pada tahun itu pula, Gusti Mohammad Arif Paku Negara kemudian menghadapi hukuman bunuh oleh pihak tentara Jepang, karena dianggap melancarkan kegiatan subversive atas penaklukan Jepang di Sanggau.  Melalui campurtangan tentara Jepang diangkat pula Ade Marhaban Saleh menggantikan baginda dan kemudian sebelum Jepang menyerah kalah di Borneo, pihak tentara Jepang sempat mengangkat Panembahan Gusti Ali Akhbar pada tahun 1944.  

Selesai Perang Dunia Kedua berlangsung, Belanda telah kembali ke bumi Borneo dan sekali lagi mereka masih mencampuri urusan pentadbiran Kesultanan Sanggau maka Belanda menghantar bala tentaranya sekaligus mengancam Gusti Ali Akhbar untuk turun tahta dan Belanda menabalkan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai Sultan Sanggau dan baginda merupakan Sultan Sanggau yang terakhir karena pada waktu itu Sanggau bukanlah sebuah kerajaan lagi, melainkan hanya pentadbiran yang digelar Daerah Swapraja.  Pada tanggal 2 Mei 1960 seterusnya pemerintahan Swapraja telah dibubarkan di seluruh bumi Kalimantan bagi negara bercorak republik ditubuhkan yang dikenal sebagai Republik Indonesia dan Kalimantan, Borneo adalah salah satu bagian wilayahnya.  

Inilah suatu babak sejarah panjang sebuah kerajaan kuno di bumi Borneo yang dikenali sebagai Kerajaan Sanggau yang sebenarnya didirikan oleh masyarakat Dayak Borneo melalui perkawinan dengan puteri Sukadana.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *