Tiba-tiba saya kepikiran dengan sebuah diskusi kecil tentang serangan mental illness yang sering menyerang tiba-tiba pada beberapa orang. Rasa depresi, menyesal berkepanjangan hingga keinginan untuk bunuh diri kayaknya marak di kota-kota, mbah. Dan saya pribadi mengkritik orang yang menyuruh penderita mental illness itu untuk berdoa atau disuruh istighfar. Karena ternyata hal itu tidak efektif, malah membuat penderita semakin kalap dan tertekan, mbah.
Sebagai seorang manusia normal, adalah hal wajar bila merasa heran dengan kelakuan beberapa orang yang jiwanya mudah tertekan. Namun perlu diketahui oleh manusia normal, perasaan tertekan hingga ingin bunuh diri itu bisa menyerang tiba-tiba tanpa bisa diduga penderitanya. Bunuh diri bukan hanya dilakukan secara spontan, bahkan ada beberapa kasus orang sudah menyiapkan eksekusi bunuh diri itu jauh-jauh hari tanpa ada perasaan takut atau ragu-ragu. Orang yang belum pernah bergaul dengan orang yang seperti itu mungkin merasa jengah dan jengkel.
Menyuruh penderita mental illness untuk kembali ke agama adalah sia-sia, mbah. Jiwa mereka sedang sakit hingga kehilangan akal sehat. Padahal Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri sudah dawuh bahwa tidak ada agama bagi orang yang kehilangan akal. Ini mengisyaratkan bahwa penderita mental illness itu jangan malah disuruh tobat, karena percuma.
Yang ingin saya kemukakan adalah bahwa yang harus kembali pada agama, bertobat dan sebagainya itu justru orang yang ada di sekelilingnya, teman, tetangga terlebih keluarga si penderita. Karena kadar tekanan psikologis yang diderita penderita mental illness itu karena dipengaruhi orang di sekelilingnya. Dukungan keluarga, terutama untuk bisa lebih peka dan simpati terhadap tekanan psikologis si penderita, sangat dibutuhkan, mbah. Jangan malah ditekan sesuai kehendak kita.
Sekedar berbagi pengalaman keluarga saya, mbah. Ketika kami menghadapi kenyataan putri yang punya kelainan organ vital, hal itu menjadi pukulan yang berat bagi saya sebagai kepala keluarga terutama sang istri. Nah, akhirnya saya sadar kalau saya sendiri sebagai kepala keluarga depresi, istri saya bisa ikut depresi dan keluarga saya hancur.
Saya sadar, bahwa kuncinya ada pada ayah yang peduli dan mau mengambil resiko apapun demi utuhnya keluarga. Maka segala pekerjaan saya tinggalkan dan fokus merawat putri kami. Hingga akhirnya putri kami meninggal, ternyata belum berakhir ancaman depresi tersebut, terutama bagi istri.
Justru ini penentuan, keluarga saya di ujung tanduk karena saya sendiri kolaps, depresi dan tanpa kesibukan, ini bahaya. Saya pun berusaha mengobati diri sendiri dari kesedihan dan depresi dengan belajar hal baru dan bertemu orang baru. Saya belajar tentang kopi dan dunia kuliner. Dan ternyata bagi saya itu efektif karena membuka pikiran saya kepada perspektif baru. Kemudian pengalaman baru itu saya obrolkan dengan istri dan alhamdulillah nyambung, hingga jadi terapi tersendiri bagi saya dan keluarga untuk mengatasi depresi. Semua itu saya lakukan agar saya sebagai kepala keluarga itu tetap waras. Dengan kewarasan diri yang terjaga, saya mampu merawat keluarga saya dari jurang depresi.
Walaupun hingga kini ancaman itu belum usai, namun setidaknya keluarga kami bisa menatap masa depan lagi tanpa meratapi yang sudah-sudah. Visi misi berumah tangga kembali pada jalurnya, istri saya pun mampu melewati masa depresi. Kenangan putri kami itu akhirnya tetap kami kenang, namun kami anggap sebagai rahmat tak terhingga dari Gusti Allah, bukan sebagai nasib buruk.
Jadi intinya jangan pernah kita menekan penderita mental illness, mbah, namun justru kita yang ada di sekitarnya harus mau berubah bila memang simpati dan ingin penderita itu sembuh. Selalu belajar hal baru, bertemu orang baru, ngobrol tentang pengalaman baru itu dengan penderita, banyak sabar dan terus mendoakan si penderita, itu yang saya lakukan untuk menjaga mental keluarga saya.
Sekarang, setiap menyeduh kopi, selalu teringat masa itu dan bersyukur masih diberi kewarasan bagi saya terutama bagi istri saya. Untuk Mawlie Syarifah Ali, Al Faatihah.
Silahkan yang dekat, mampir di Mawli Kopi
No responses yet