Saya bukan penggemar film-fim korea. Rasanya baru dua kali saja menonton film sepanjang hidup. Mungkin karena itu, film Keturunan Matahari alias Descendants of the Sun yang bikin heboh pada 2016 baru saya tonton empat tahun kemudian. Itu artinya ini film ketiga yang lihat dengan serius.

Setelah menonton, saya jadi maklum pantas saja banyak orang kesemsem. Alur cerita sering kali membuat orang jengkel dan hendak menonton kisah lanjutnya. Lain waktu dibawa terbang dengan menyaksikan orang yang dibekap kasmaran, bertengkar lagi, lalu berusaha memahami satu sama lain. Film ini melenakan banyak orang sebab menciptakan karakter para tokoh secara jelas: protagonis dan antagonis. Kebanyakan manusia tak suka sesuatu yang kabur. 

Meski dibuat lebih jelas, karakter dari tokoh aktor film dibuat punya banyak sisi yang menunjukkan paradok atau pertentangan alias multifaceted characters. Karakter yang menarik bisa memiliki sisi jahat dalam kebaikannya atau kelemahan dalam kekuatannya. Mereka tak harus menjadi orang yang sempurna. Mereka memiliki kehidupan batin yang rumit dan terkadang kontradiktif. 

Mungkin saja yang membuat para pemuda-pemudi ingin menjadi Kapten Yoo Si-jin dan Dokter Kang Mo-yeon adalah kisah pertemuan yang acuh tak acuh tapi bersemi setelahnya. Mereka dipertemukan karena seorang pencuri yang belakangan menjadi tentara dan anak buah Kapten Yoo Si-jin. Hubungan keduanya diuji oleh kisah dan gagasan-gagasan kepahlawan: tugas negara dan pengabdian pada masyarakat. Saat hendak menonton film bersama,  Kapten Yoo Si harus pergi karena perintah operasi militer. 

Di tengah-tengah masa-masa hubungan yang makin jelas dan membaik, sutradara menjadikan Kapten Yoo Si-jin dan Mayor Seo Dae-young almarhum dalam sebuah operasi militer. Padahal sebelumnya hubungan Kapten Yoo Si-jin dengan Mo-Yeon, seorang dokter rumah sakit, semakin membaik dan memahami perasaan masing-masing. Begitu juga dengan Mayor Seo Dae-young dan Myeong-ju. Hubungan mereka sebelumnya tak mendapat restu orang tua Myeong-ju yang seorang jenderal dan tak mau punya menantu pangkat rendahan.

Kisah paling menggelikan tentu saja bagian ini. Rekamaan tentang perasaannya Kapten Yoo Si-jin secara tidak sengaja tersiar luas dengan pengeras suara rumah sakit. Perasaan itu diungkapkan di ujung ajalnya saat mobil yang ditumpanginya meleset ke pinggir jalan dan nyusruk hingga bibir jurang. Ia merasa itu hari terakhirnya dan karena itu meninggalkan pesan kematian. Kapten Yoo Si-jin tahu dan ia makin menyintainya.

Tetapi tentu saja saya sadar, kisah semacam ini sungguh menyenangkan karena bisa menjadi pelarian dari kenyataan hidup sesungguhnya yang kita hadapi. Kenyataan itu mungkin lebih rumit, bukan hanya bagi mereka yang sedang kasmaran apalagi untuk pasangan dengan usia pernikahan di atas sepuluh tahun. 

Film semacam ini kebanyakan hanya akan menjadi pemanis untuk mengenang masa-masa yang jauh terlewat dan tak akan pernah kembali. Setelah menontonnya kita akan dihempaskan lagi pada kenyataan sesungguhnya. 

Pasangan pemeran Kapten Yoo Si-jin dan Dokter Kang Mo-yeon bahkan katanya benar-benar menikah dalam kehidupan nyata lantas bubar beberapa bulan sesudahnya. Mungkin ini salah satu jawaban mengapa film semacam ini bisa sukses ditonton banyak orang: keindahan hanya ada di film romansa Korea, tidak dalam kenyataan hidup yang sebenar-benarnya.

Kalimulya, 3 Maret 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *