Pagi ini saya baca tulisan menarik dari ananda Itqon Hakim, berisi pesan Habib Luthfi bin Yahya berisi al: Sebagian habaib yang berasal dari Hadramaut janganlah petentang- petenteng ngandalkan marganya.
Karena sebelum mereka sudah terlebih dahulu datang Mubaligh Sebelumnya (yg dikirim Sultan Turki, angkatan pertama Syekh Subakir cs dan angkatan kedua Syekh Maulana Malik Ibrahim cs).
Banyak petilasan yang menandai kehadiran wali angkatan pertama berupa maqam yg umumnya disebut maqam Maulana Maghribi (ulama dari Barat), tersebar dari ujung Barat hingga Ujung Timur Nusantara.
Adapun para wali angkatan kedua, berperan pada akhir Majapahit dan pada masa kerajaan Demak, populer disebut Wali Sembilan, bukan jumlahnya hanya sembilan tetapi para wali diorganisir menjadi lembaga penasehat Sultan yang jumlahnya 9 orang.
Setahu saya, secara turun temurun mrk oleh leluhurnya dilarang menyebutkan nama marga. Misalnya keturunan Sunan Kudus atau Sunan Muria tidak ada yang mencantumkan marganya. Mungkin untuk membangun keakraban, ukhuwah Islamiyah dg kaum pribumi.
Adapun para wali berikutnya, semisal Wali Luar Batang dan lain-lain berasal dari Hadramaut.
Para wali angkatan (ketiga) ini, datang setelah perdagangan laut mulai ramai dengan ditemukannya teknologi kapal layar ukuran besar, memanfaatkan angin barat dan timur.
Dalam buku karangan saya “Pergolakan di Jantung Tradisi NU yang Saya Amati“ kehadiran para mubaligh dari hadramaut ini sy singgung dan kemudian berdasarkan laporan teman yg tinggal di Hadramaut, cuplikan ttg wali angkatan terakhir ini dibahas di televisi Yaman, mungkin untuk menunjukkan kuatnya hubungan Indonesia – Yaman.
Banyak kritik terhadap perilaku para habaib muda akhir-akhir ini, bukan hanya dari kalangan di luar habaib, tetapi juga di kalangan habaib sendiri yg kebetulan saya kenal.
Bahkan mereka rindu untuk aktif di NU.
Sebaiknya para habaib muda, jangan hanya menonjolkan budaya abah saja, tapi juga budaya ummi yang berbudi halus, berbahasa lembut, beradat sopan santun.
Salam ukhuwah untuk para Habaib.