Oleh Ust Yusuf Suharto

Keutamaan

Dzulhijjah merupakan bulan kedua belas dalam kalender Hijriah, dan merupakan salah satu dari bulan-bulan yang dimuliakan (al-asyhur al-hurum), yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dinamakan Asyhur Hurum, karena di permulaan Islam kaum muslimin tidak diperbolehkan melakukan peperangan dalam bulan-bulan tersebut. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 217

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…”

Namun akhirnya larangan berperang di empat bulan yang dimuliakan ini dihapus berdasarkan firman Allah dalam Q.S. At-Taubat ayat 36.

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“…dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ قَالَ «الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Rasulullah bersabda: Sesungguhnya masa berputar seperti hari saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, di antaranya ada 4 bulan yang mulia. Yang tiga secara beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang terletak antara Jumada dan Sya’ban” (HR al-Bukhari 5550 dan Muslim 4477).

Syekh Abdul Qadir al-Jilany dalam al-Ghuniyah li Thalibi Thariqil Haqq menukil hadits dari Sa’id Al-Khudry, Rasulullah bersabda:

سَيِّدُ الشُّهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ وَأَعْظَمُهَا حُرْمَةً ذُو الْحِجَّة

“Penghulu bulan-bulan adalah bulan Ramadhan, sedangkan yang paling utama kemuliannya adalah Dzulhijjah.”

Dari Jabir, tentang kumuliaan 10 hari awal Dzulhijjah Rasulullah juga bersabda:

أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ عَشْرِ ذِى الْحِجَّةِ

“Hari-hari di dunia yang paling utama adalah hari-hari sepuluh awal bulan dzulhijjah.”

Dzulhijjah bisa bermakna ‘bulan untuk haji’, karena mayoritas amalan ibadah haji dikerjakan pada bulan ini. Misalnya, wuquf di ‘Arafah, Mabit di Muzdalifah maupun Mina, melempar Jumrah, dan lain-lain.

Dzulhijjah merupakan bulan yang menghimpun beberapa ibadah yang tidak ada di bulan lainnya, yaitu ibadah haji, qurban, shalat idhul adhha. Dalam bulan ini kita diingatkan beberapa peristiwa besar, yaitu pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, dan putranya, Nabi Ismail ‘alayhis salam, peristiwa haji wada’, dan khotbah yang disampaikan Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alayh wasallam.

Amaliah-Amaliah Dzulhijjah

Amal Shaleh

Disunnahkan melaksanakan segala bentuk ketaatan yang disebut sebagai amal shaleh pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah. Amal shaleh itu tidak terbatas pada amalan tertentu saja, sehingga amalan tersebut bisa berupa shalat, sedekah, membaca Qur’an, dzikir, puasa, dan amalan lainnya.

Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad berikut menjelaskan bahwa amal sholeh pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah itu lebih dicintai oleh Allah Ta’ala daripada amal shaleh di hari lainnya.

مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيّاَمِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada satu amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah yang melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya:” Tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya tapi ia tidak kembali/mati syahid (H.R. Ahmad dan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Mengomentari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى فَضْلِ صِيَامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِانْدِرَاجِ

الصَّوْمِ فِي الْعَمَلِ

“Hadis ini dijadikan dalil keutamaan puasa di 10 hari Dzulhijjah, sebab puasa masuk dalam amal ibadah” (Fath al-Bari 3/390)

Syekh Abdul Qadir al-Jilany dalam al-Ghuniyah li Thalibi Thariqil Haqq menukil pendapat yang menyatakan, bahwa barang siapa yang memuliakan 10 hari Dzulhijjah, akan mendapatkan sepuluh kemuliaan, yaitu umurnya berkah; hartanya bertambah; keluarganya mendapat perlindungan; dosa-dosanya diampuni; nilai amal baiknya dilipatgandakan; mendapat kemudahan menjelang kematiannya; mendapat cahaya terang di alam kuburnya; saat ditimbang, amal kebaikannya diberatkan; selamat dari siksa neraka dan mendapat derajat tinggi (surga).

Puasa 9 Hari Dzulhijjah

Telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasulullah menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Dzulhijjah adalah salah satu dari bulan haram.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda:

قَالَ زِدْنِى. قَالَ «صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ «صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ». وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

“…Sahabat berkata: “Tambahkanlah Nabi”. Maka Nabi bersabda: “Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan (diulang tiga kali. Rasulullah menggenggam tangannya lalu melepaskannya)” (HR Ahmad No 20338, Abu Dawud No 2428, Ibnu Majah No 1741, Nasai dalam Sunan al-Kubra No 2743, Thabarani No 18336 dan al Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 3738).

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih Imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari-hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Dzulhijjah terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping Rajab, Muharram dan Sya’ban. Dzulhijjah juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Muharram, dan Rajab.

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram.

Dengan mengecualikan keharaman puasa pada 10 dzulhijjah/Idhul Adha, dan 11-12-13 dzulhijjah/Ayyamut Tasyriq, berpuasa pada bulan dzulhijjah, lebih-lebih pada sembilan hari pertama (tanggal satu hingga sembilan dzulhijjah) hukumnya adalah sunnah muakkad (kesunnahan yang dikukuhkan).

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zein menyatakan bahwa ragam puasa sunnah (shaumut tathawwu’) itu ada banyak, sedangkan yang disunnahkan secara kuat (yusannu mutaakkidan) itu ada lima belas ragam puasa.

Terkait dengan dzulhijjah beliau menyebut puasa ‘Arafah yang dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Puasa ini menempati urutan pertama puasa sunnah, karena sebagaimana diketahui, bahwa hari ‘Arafah adalah hari yang paling utama.

Dalam urutan kedelapan, beliau menyebut puasa delapan hari sebelum puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah (shaum al-tsamaniyah ayyam qabla al-tasi’). Dan dalam urutan kesepuluh, beliau menyebut puasa di bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

Syekh Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Muin menyebut puasa delapan hari awal di bulan Dzulhijjah, dan puasa Arafah denga istilah shaumu tis’i Dzilhijjah (puasa pada Sembilan hari pertama di bulan Dzulhijjah).

Tentang kesunnahannya juga dinyatakan dalam Hasyiah As-Shawy:

وَنُدِبَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ الْأَيَّامِ قَبْلَهُ أَيْ عَرَفَةَ وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ وَتَاسُوعَاءُ وَالثَّمَانِيَةِ قَبْلَهُ أَيْ تَاسُوعَاءَ وَبَقِيَّةِ الْمُحَرَّمِ وَصَوْمُ رَجَبَ وَشَعْبَانَ

“Dan disunahkan puasa 8 hari sebelum Arafah, juga 9-10 Muharram dan 8 hari sebelumnya, sisa bulan Muharram, puasa Rajab dan Sya’ban” (Hasyiyah ash-Shawi 3/251)

Tentang kesunnahan dan keutamaan puasa Tarwiyah dan ‘Arafah, berikut ini hadisnya:

صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ

“Puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) menghapus dosa setahun dan Puasa ‘Arafah (9 dzulhijjah) menghapus dosa dua tahun” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu an-Najjar dari Ibnu Abbas)

Shalat Idul Adha

Shalat Idul Adha adalah shalat sunnah dua rakaat yang dilaksanakan pada hari raya Qurban atau pada 10 Dzulhijah. Hukumnya sunnah mu’akad baik baik lelaki maupun perempuan. Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai zawal (condongnya matahari ke arah barat). Shalat ini lebih utama daripada shalat Idul Fithri, karena landasannya adalah al-Quran. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Kautsar:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ﴿٣

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat (Idul Adha) karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Adapun landasan haditsnya adalah:

كَانَ رَسُوْلُ اللهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُماَ يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar melakukan shalat pada dua hari raya sebelum khotbah dilaksanakan.”(H.R. Muttafaq ‘Alaih).

Berqurban

Qurban secara istilah berarti binatang yang disembelih pada hari raya Idul Adlha dan hari Tasyriq dengan tujuan ibadah kepada Allah. Menurut mazhab Syafi’i, berqurban hukumnya sunnah muakkad (‘alal kifayah). Artinya, bagi muslim, merdeka, baligh, berakal, dan mampu secara finansial dianjurkan untuk menyembelih hewan qurban. Jika salah satu dari anggota keluarga telah melaksanakannya, maka bagi anggota keluarga lainnya tidak ada tuntutan untuk mengerjakan kesunnahan tersebut, dalam makna sudah lepas dari kemakruhan.

Berikut adalah salah satu praktek berqurban Rasulullah bersama para sahabatnya. Dalam sebuah riwayat, Abu Asad as-Sulami berkata:

عَنْ أَبِي اْلأَسَدِ السُّلَمِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كُنْتُ سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ قَالَ فَأَمَرَنَا نَجْمَعُ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنَّا دِرْهَماً فَاشْتَرَينَا أُضْحِيَّةً بِسَبْعِ الدَّرَاهِمِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ لَقَدْ أَغْلَيْنَا بِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنَّ أَفْضَلَ الضَّحَايَا أَغْلاَهَا وَأَسْمَنُهَا

“Saya adalah orang ketujuh bersama Rasulullah Saw, kemudian Beliau memerintahkan agar kami mengumpulkan uang Dirham, kemudian kami membeli hewan Qurban dengan 7 Dirham tadi. Kami berkata: “Ya Rasulallah, kami membeli hewan Qurban termahal”. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya hewan Qurban yang terbaik adalah yang paling mahal dan gemuk” (HR Ahmad no 15533).

(Pernah dimuat Tebuireng Online pada 2017, Denanyar Online pada 2018 dan 2021. Dimuat ulang oleh website dan Buletin Aswaja NU Center PWNU Jatim dengan beberapa penyesuaian).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *