Legalitas Mengajar
Ijazah diberikan guru kepada sang murid ketika dia sudah menempuh perjalanan pendidikannya, dan dianggap sudah selesai dan menguasai. Walaupun sekarang sebenarnya Ijazah ini tidak bisa menjamin bahwa dia selesai dan menguasai. Kalau di zaman dulu, seorang murid jika diberi ijazah dari guru itu menunjukkan bahwa dia sudah final dan tuntas. Boleh baginya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Seperti halnya di zaman Hadrotusy Syaikh Hasyim Asy’ari di saat khatam suatu kitab, beliau memberikan Ijazah dan Sanad kitab tersebut hingga Muallif. Ini adalah salah satu tradisi keilmuan khazanah Islam. Tradisi ini diteruskan oleh santri-santri Hadrotusy Syaikh. Kyai Idris termasuk yang menjaga tradisi Ijazah dan Sanad. Ada Kyai yang tasahul (mudah) dalam memberi sanad, ada Kyai yang Tasyaddud (ketat) dalam memberi Ijazah. Kyai Idris termasuk golongan yang ke-dua, tasyadud. Beliau tidak akan memberikan sanad kepada muridnya, sehingga muridnya menguasai dan tuntas.
Kyai Habib, salah satu santri istimewanya Kyai Idris. Beliau mendapatkan hal yang sempurna dan istimewa. Yaitu mendapatkan semua Ijazah dan sanad semua kitab. Jarang santri yang mendapatkan hal seperti ini. Dan ini adalah salah satu anugerah terindah dari Allah. “Ajaztukum kulla al-Kutub mutlaqon, kama Ajazani Syaikhina”, Kyai Idris berkata kepada beliau. Hanya beberapa kalimat saja yang diungkapkan oleh sang guru. Tapi beberapa kalimat itulah sebagai legalitas keilmuan yang telah diperoleh selama belajar kepada Kyai Idris.
Memberikan Ijazah dan sanad Itulah cara ulama dulu dalam mengapresiasi muridnya. Murid-murid kyai Idris yang lain juga begitu, diberi legalitas atau Ijazah dari sang Madinatul ilmi. Dan termasuk karomah kyai Idris, semua santri-nya menjadi tokoh semua. Mungkin itu salah satu berkah ngaji di Masjid. Mungkin benar kata ulama, “Dulu kami mencari ilmu di masjid-masjid, kemudian dibukalah madrasah. Sejak belajar berpindah di madrasah saat itulah berkurang barokahnya ilmu. Dulu kami belajar dengan lesehan, sejak diberikan bangku dan kursi, maka berkuranglah rasa tawadhu’. Dulu kami belajar tanpa ijasah, sejak belajar diberikan ijasah, maka berkuranglah keikhlasan”.
Isyarah Akan Menggantikan Gurunya
“Seseorang yang selalu belajar bersama gurunya dia pasti akan menggantikan kedudukannya di saat gurunya wafat” itulah salah satu filosofi Alfiyah bait ke 413. Seorang guru biasanya menyiapkan kader yang akan meneruskan perjuangannya. Kaderisasi ini merupakan salah satu cara untuk menjaga otentisitas agama Islam dari kelompok yang merusak Islam.
Kyai Habib adalah merupakan salah satu kader terbaik kyai Idris. Beliau sekian tahun ada di kawah candradimuka; dididik, digembleng, dan dilatih. Setiap guru pasti memiliki cara tersendiri dalam mendidik kadernya, begitu pula dengan Kyai Idris. Beliau memiliki cara-cara khusus yang berbeda dengan yang lain.
Kyai Idris itu termasuk kyai yang telaten merawat santrinya, beliau jarang sekali keluar dari pondok. Hanya fokus mendidik santri-santrinya di Masjid Tebuireng. Sekalipun ada pejabat negara hadir di Tebuireng, beliau enggan meliburkan pengajiannya. Hidupnya hanya untuk ilmu dan ilmu saja. Ibarat induk hewan di saat mengerami telurnya, walaupun dalam keadaan apapun sang induk tetap menjaga telurnya. Agar telurnya bisa menetas dengan baik. Begitu pula yang dianut oleh kyai Idris, tidak mungkin kader-kadernya menjadi orang kalau tidak selalu “di-erami”.
Pernah dalam suatu hari, kyai Habib ditimbali Kyai Idris. “Aku pengen Silaturahim ke rumah mu” Ucap kyai Idris kepada Habib. Beliau kaget bercampur rasa haru, tumben sekali beliau keluar dari pondok, hanya untuk silaturahim ke rumah santrinya. Karena beliau merasa bukan siapa-siapa, hanya orang biasa, anak dari penjual di pasar Cukir. Akhirnya beliau menyiapkan segala hal yang dibutuhkan, dan jamuan yang istimewa untuk menghormati sang guru. Disewalah becak untuk mengantarkan sang guru dari pondok ke rumah, yang mana jaraknya sekitar 4 Km. Disaat sampai di rumah, antusias masyarakat Watu Galuh sungguh luar biasa. Mereka menyambut dengan meriah atas kehadiran tokoh besar dari Tebuireng. Warga kampung berdatangan ke rumah Kyai Habib, demi menyambut sang Kyai. Sambutan yang mereka lakukan melebihi sambutan-sambutan mereka kepada pejabat negara. Penghormatan yang cukup besar hanya untuk mendapatkan siraman barokah dan ilmu dari sang wali, Kyai Idris.
Selain peristiwa bersejarah itu beliau juga pernah mimpi bertemu sang guru, dalam mimpi itu beliau melihat Mbah Idris itu manggilnya “Pak Habib, saya mau datang ke rumah kamu…,”. Dalam firasatnya, hal ini pertanda bahwa beliau bakal menggantikan Yai Idris.
Termasuk juga, Kyai Habib pernah diminta Kyai Syansuri untuk meneruskan pengajian kitab Al-Muhadzab. Dikarenakan kesibukan beliau dakwah melalui politik di DPR. Kitab yang memuat pendapat-pendapatnya Ashab Syafi’i, yang terangkum dalam dua jilid itu beliau kaji “Sam’an wa thoa’atan” terhadap perintah guru.
Hal-hal di atas itu adalah sebagai isyarah bahwa kelak nanti kyai Habib akan menggantikan kedudukan beliau-beliau semua. Juga hal itu adalah pengakuan atau iqror dari guru bahwa reputasi keilmuan beliau dipercaya dan layak untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Wiridan
Dalam diri santri tidak terlepas dari namanya “wiridan”. Belum dikatakan santri yang haqiqi kalau dia belum punya wiridan khusus yang selalu di-istiqomahkan-nya. Dalam pepatah Arab dikatakan, “Barang siapa yang tidak memiliki wiridan, berarti dia adalah monyet”. Para santrinya Kyai Idris memiliki wiridan khusus, dan wiridan ini diwajibkan romo kyai.
Dan memang bacaan yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Tidak akan bosan orang membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Itu salah satu keistimewaan dari Kalam Allah. Semua santri didiknya Kyai Idris diwajibkan untuk membaca Al-Qur’an dengan metode “Fammi Bi Syauqin (فمي بشوق)”. Yaitu sebuah kaidah dalam menargetkan membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an. Minimal seminggu sekali seseorang khatam membaca Al-Qur’an-nya. Itulah salah satu wiridan Kyai Habib dari menjadi santri sampai sepuh.
Bacaan yang selalu diterima oleh Allah adalah membaca Sholawat. Bacaan sholawat di muka bumi ini banyak sekali macamnya. Hingga ada seorang Ulama dari Fes Maroka mengumpulkan Sholawat dalam satu kitab. Kitab itu diberi nama “Dalail Al-Khoirot”. Kitab ini sangat masyhur di Nusantara. Banyak santri dan kyai yang menjadikan kitab itu sebagai wiridan sehari-hari. Termasuk pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Kyai Habib menerima Ijazah Dalail dari Kyai Idris, Sedangkan Kyai Idris sendiri mendapatkan Ijazah langsung dari Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, dari gurunya, Syaikh Mahfudz Termas dengan sanad yang muttasil hingga pengarangnya, Syaikh Sulaiman Jazuli Maroko. Kyai Habib juga selalu mewiridakan kitab ini. (Alhamdulillah penulis dan teman-teman angkatan dari Ma’had Aly telah mendapatkan Ijazah Dalail Al-Khoirot dari beliau)
Pertempuran atau perang besar yang pertama kali dilakukan oleh umat Islam melawan musuh-musuh nya adalah perang Badar. Perang ini terjadi pada tahun ke-dua Hijriyyah. Pasukan umat Islam yang hanya berjumlah 313 bisa menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy yang berjumlah 1000 pasukan. Akhirnya pasukan musuh mundur dalam kekacauan. Semua itu adalah berkat pertolongan Allah SWT. Nama-nama sahabat yang ikut perang Badar atau “Asma’ al-Badr” itu biasanya oleh kalangan Nahdliyyin digunakan juga untuk wiridan, termasuk juga Kyai Habib. Beliau di saat masih nyantri kepada Kyai Idris selalu membaca “Asma’ al-Badr” dan “Dalail Al-Khoirot” sebelum ngaji kepada romo Kyai.
Itulah sekelumit dari wiridan yang selalu di-wiridkan beliau. Mungkin banyak lagi wiridan yang beliau baca. Apapun wiridanya yang terpenting kata beliau itu Istiqomahnya. “Istiqomah gampang di lisan, angel ngelakonine”, kata beliau. Semoga kita semua bisa menjadi manusia yang Istiqomah dalam hal kebaikan.
No responses yet