Nun jauh di pinggiran Kota Wali Demak di tahun 1908, terdengar teriakan jabang bayi dari bilik rumah sederhana. Sesosok manusia telah lahir ke dunia fana dari rahim ibu yang begitu mulia akhlaknya. Sosok manusia yang kelak akan menjadi ulama besar penyebar Kalimah Illahi. Calon pejuang yang akan mempertahankan kemerdekaan bumi pertiwinya. Seorang yang kelak akan menjadi mahaguru bagi para ulama di tanah Jawa, beliaulah KH. Muslih Abdurrahman.
Kiai Muslih Abdurrahman dilahirkan di Desa Suburan Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, pada tahun 1908, dari pasangan KH Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah. Kyai Abdurrahman adalah ulama besar yang mendirikan Pesantren Suburan Mranggen Demak pada tahun 1901 dari sebuah langgar serbaguna untuk kegiatan pengajian, pendidikan pesantren dan musholla.
Dalam buku sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen disebutkan bahwa dari jalur ayah, silsilah Kyai Muslih bersambung dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Syahid atau Raden Lokajaya ini adalah putra Tumenggung Wilatikta yang masih terhitung keturunan dari Syeikh Al-Jali Al-Khowaji yang dikenal dengan sebutan Ronggolawe, Adipati Tuban pada masa kerajaan Majapahit. Nama Ronggolawe berasal dari kata Ronggo yang berati Raden dan Golawe dari kata Kholawy (orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat dan perilaku tercela). Beliau merupakan bagian dari Keluarga Bani Abbasiyyah, Baghdad yang masih memiliki garis keturunan sampai Sayyidina Abbas RA paman Nabi Muhammad saw.
Sedangkan ibunya masih keturunan dari Sunan Ampel. Dalam buku sejarah seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah kembali disebutkan bahwa ibunda Mbah Muslih yakni Shofiyyah memiliki garis keturunan langsung dengan Ratu Kalinyamat bin Sultan Trenggono bin Raden Patah Pendiri Kerajaan Demak yang merupakan menantu dari Sunan Ampel.
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga bersama Nyai Shofiyah binti Kyai Abu Mi’roj, Sapen, Penggaron (sekarang Semarang Timur), beliau dikarunia tujuh keturunan, diantaranya: Kyai Usman, Kyai Muslih, Kyai Murodi, Kyai Fathan, Kyai Ahmad Mutohar, Nyai Rohmah, dan Nyai Tasbihah.
Masa Belajar
Sejak kecil Muslih sudah gemar ngaji. Tercatat, ia pernah berguru mulai dari ayahnya, KH. Abdurrahman bin Qosidil Haq, hingga kepada para Masyayikh yang ada di Haromain, diantaranya Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky. Kiai Muslih juga pernah menimba ilmu kepada Kyai Ibrohim Yahya, Brumbung Mranggen dan, Kyai Ihsan.
Kemudian beliau mondok di Sarang yang saat itu diasuh oleh KH Zubair Dahlan (Abah dari KH.Maimun Zubair) dan Syekh Imam selama 9 tahun. Selama di Sarang beliau juga sempat menjadi “santri kalong” kepada Kyai Maksum, Lasem (ayahanda KH. Ali Ma’shum).
Beliau berbai’at Thariqah TQN kepada KH. Abdurrahman Menur Mranggen, salah seorang khalifah KH. Yahya Brumbung Mranggen. Setelah itu beliau bersama KH. Masruhan Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Maghfur, Mranggen, Demak) dibai’at menjadi khalifah atau mursyid oleh Syeikh Abdul Latif Al- Bantani. Sedangkan kapan semua itu terjadi. Wallahu a’lam.
Selain itu, Kiai Muslih juga pernah belajar di Perguruan Islam Termas Pacitan di bawah asuhan KH. Dimyati, adik dari Syekh Mahfudz Termas.
Dari hasil pendidikannya tersebut Kiai Muslih mendapatkan banyak ilmu seperti ilmu kalam Bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist, Ilmu Tasawwuf dan berbagai ilmu lainnya. Selain itu juga mumpuni dalam keilmuan leadership (kepemimpinan), siasah (politik), ilmu hikmah dan ilmu jihad fi sabillah yang didalamnya termasuk ilmu kemilteran. Karena kealimannya tersebut kemudian beliau dibai’at untuk menjadi Kholifah Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyah (TQN) dan menjadi salah satu pendiri dari Rois Jam’iyyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdiyyah (JATMAN), Lembaga Organisasi Thariqah Mu’tabaroh di Seluruh Indonesia.
Membesarkan Pesantren Futuhiyyah
Dikutip dari catatan Ahmad Khoirul di laman NU Online. Pondok Pesantren Futuhiyyah yang diasuh ayahandanya, Kyai Abdurrahman mengalami perubahan pada tahun 1927 M. Saat itu sudah ada puluhan santri yang ikut ngaji, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi terhenti, setelah madrasah tersebut sempat diminta oleh NU cabang Mranggen untuk dikelola.
Karena itulah, kemudian bersama kakaknya, Kyai Usman beliau mendirikan Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di komplek Pesantren Futuhiyyah. Kali ini beliau mengambil sikap, jika NU ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri. Keputusan tersebut diambil karena sebelumnya dua kali Futuhiyyah mendirikan Madrasah, yakni pada tahun 1927 dan 1929 M, dua kali pula diminta oleh NU Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, yakni murid dan gurunya dipindah tempat, yang kemudian dikelola oleh NU Cabang Mranggen.
Nama Futuhiyyah sendiri memang baru muncul sekitar tahun 1927 atas usulan Kyai Muslih saat kakaknya yakni KH. Usman Abdurrohman mendirikan madrasah atas perintah dari ayahandanya, KH. Abdurrohman yang saat itu masih menjadi pengasuh utama. Dinamakan demikian agar para santri dapat dengan cepat terfutuh (terbuka) hati beserta fikirannya. Selain itu nama tersebut juga bertabarruk (mengambil berkah) dari Sultan Abdul Fattah (Raden Patah), Raja Pertama Kerajaan Demak dan para wali songo lainnya
Setelah madrasah baru yang didirikan pada tahun 1930 oleh Kyai Muslih berjalan lancar. Satu tahun kemudian beliau kembali mondok ke Pesantren Termas, Pacitan dan pengelolaan madrasah diserahkan kepada adiknya, Kyai Murodi, yang baru pulang mondok dari Lasem. NU Cabang Mranggen, akhirnya juga dapat mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat bertahan hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Kiai Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh KH Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas Alfiyyah. Semula Kiai Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Namun setelah dibujuk gurunya, dia pun bersedia. Di Termas pula, Kiai Muslih belajar bagaimana cara mengajar yang baik dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal (madrasah).
Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah, pada tahun 1935 M Kiai Muslih pulang dan bermukim kembali di Suburan Mranggen. Dengan tekad untuk mengembangkan Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Pada tahun 1936 M berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah Salafiyyah dan madrasah tsanawiyyah. Madrasah tersebut terus berkembang dan bertahan sampai sekarang.
Ada hal yang menarik pada saat proses penerimaan siswa baru. Pada saat itu meskipun belum ada radio, tidak ada stensil, tidak ada pula mesin tulis apalagi fotocopy, namun info tentang madrasah di Mranggen berkembang luas. Banyak sekali calon santri, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, berdatangan. Hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul seorang tokoh kiai yang alim, siapa lagi kalau bukan Kiai Muslih Abdurrahman.
Menikah
KH. Muslih menikah dengan Nyai Ma’rufah binti Kyai Siroj. Dari istri pertamanya tersebut, kemudian lahir putra-putri diantaranya: Nyai Inayah (istri Kyai Mahdum Zein, Kyai Lutfi Hakim (Pengasuh Pesantren Futuhiyyah sejak 1971) Nyai Faizah (Istri Kyai Muhammad Ridwan), Kyai Muhammad Hanif Muslih (pengasuh pesantren Futuhiyyah 1986 – sekarang) dan putra-putri lainnya yang meninggal sejak kecil.
Setelah Nyai Marfuah wafat pada 1959, belia menikah lagi dengan Nyai Mu’minah bin Kyai Muhsin (ayah KH. Muhibbin, pengasuh Pondok Pesantren Al-Badriyyah, Mranggen, Demak. Dari istri barunya lahirlah Nyai Qoniah (istri Kyai Masyhuri) dan Nyai Masbahah (istri Kyai Abdurrahman Badawi)’. Setelah Nyai Mu’minah wafat tahun 1964, Kyai Muslih menikah lagi dengan Nyai Hj. Sa’adah binti H. Mahmud.
Pejuang Kemerdekaan
Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kyai Muslih Abdurrahman juga berjasa dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Saat itu beliau bersama wakil pemuda dari kelompok laskar Hizbullah Mranggen. Dalam pertempuran melawan Belanda antara tahun 1947-1948, Bapak Suhaemi salah satu teman seperjuangannya syahid dan dimakamkan di belakang Masjid Kauman, Mranggen, Demak.
Kyai Muslih bersama laskar Hizbullah pernah menjalani latihan kemiliteran bersama KH Abdulloh bin KH. Abbas Jamil Buntet Cirebon dalam satu regu di sebuah hutan di Bekasi Jawa Barat. Saat itu pelatihnya adalah Soekarmaji Maridjan Kartosuwiryo yang di kemudian hari menjadi pimpinan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) yang memberontak pada Presiden Soekarno.
Selain itu, Beliau juga ikut bergabung dengan komando pasukan Sabilillah yang beranggotakan para kiai-ulama di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
Mranggen, sendiri dimasa penjajahan sering dibombardir bom dari Semarang. Hal ini dikarenakan Mranggen sempat menjadi front (garis depan) pertahanan rakyat, dimana banyak di rumah-rumah memiliki goa buatan sebagai tempat perlindungan jika ada serangan dari Semarang.
Pada tahun 1947, pada hari Jum’at Wage secara tiba-tiba Belanda menyerang Pasar Mranggen sehingga menimbulkan banyak korban. Sejak kejadian tersebut rakyat banyak yang mengungsi ke luar daerah untuk mencari tempat perlindungan. Dan barulah setahun kemudian bersama pengungsi lainnya beliau kembali ke Mranggen untuk memulai kembali kegiatan belajar dan mengajar.
Memimpin TQN dan JATMAN
Kyai Muslih Abdurrahman selain mengasuh Pesantren Furuhiyyah juga menjadi mursyid Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyah (TQN). Banyak para ulama dan santri yang berbai’at kepada beliau, dari sinilah Kiai Muslih kemudian mendapat julukan Abul Masyayikh (bapaknya para guru) dan Syeikhul Mursyidin (gurunya para mursyid).
Selain dikenal sebagai Mursyid, Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabaiyyah (TQN) beliau juga memiliki andil besar dalam berdirinya Jam’iyah Ahlit Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (JATMAN).
JATMAN sendiri berdiri pada tanggal 10 Oktober 1957 di Asrama Pelajar Islam (API) Tegalrejo, Magelang. Di pesantren yang saat itu masih diasuh oleh KH. Chudlori tersebut, KH. Muslih, KH. Hafidz Rembang, KH Nawawi Purworejo dan para ulama’ lainnya mendirikan organisasi persatuan, pemersatu, pelindung thariqah mu’tabar yang banyak dianut oleh kaum muslimin di tanah air. Turut hadir Rois Aam PBNU KH. Wahab Hasbullah dan Ketua Tanfidziyah PBNU KH. Idham Cholid. Saat Muktamar pertama tersebut Kyai Abdurrahman Muslih didapuk menjadi Rois Aam JATMAN pertama. Jabatan ini diemban beliau sampai tahun 1981.
Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, JATMAN dinyatakan sebagai Badan Otonom NU, setelah sebelumnya terlaksana Musyawaroh Kubro di Pesantren Futuhiyyah tahun 1973 yang menyatakan bahwa ulama ahli thoriqoh ingin bergabung dengan NU. Hal ini dibuktikan dengan penambahan nama An-Nadhiyyah di belakang nama organisasi yang saat ini dipimpin oleh Habib Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Santri-Santri Futuhiyyah
Ada gula ada semut, begitulah pepatah mengatakan. Hal itu pula yang dirasakan oleh Pesantren Futuhiyyah. Kemasyhuran Kyai Abdurrahman dan keturunannya termasuk Kyai Muslih Abdurahman dengan kealimannya, seakan menjadi magnet yang mampu menarik minat para kyai dan masyarakat umum untuk menimba ilmu ke pesantren Futuhiyyah. Seperti Kyai Abdurrahman Chudlori (Pendiri Asrama Pelajar Islam Tegalrejo, Magelang), Kyai Habib Hasbullah (Pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang), Kyai Baidhowi Syamsuri (Kedung Jati, Purwodadi) dan ratusan ulama lainnya. Alumni Futuhiyyah sendiri juga banyak yang menjadi pengusaha, polisi, tentara dosen bahkan rektor. Agus Maftuh Abegebriel, Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia saat ini tercatat sebagai alumni Futuhiyyah, begitulah pengakuan KH. Muhammad Hanif Muslih, Pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah sekarang.
Beberapa ulama juga diangkat oleh Kyai Muslih Abdurrahman untuk menjadi khalifah Thariqah Qadiriyyah Naqsabandiyyah (TQN), seperti Kyai Adnan Ali Jombang, Kyai Turmudzi Taslim Semarang, Kyai Mujahid Malang, KH. Zainal Abdin Mataram, Kyai Muhsin Malang, Kyai Asep Burhanuddin, Bandung dan beberapa ulama lainnya yang tercatat sampai 61 ulama yang beliau bai’at.
Saat ini tak kurang 6000 santri belajar di Pesantren Futuhiyyah, baik yang bermukim di pesantren induk maupun di pesantren cabang yang berada di sekitar Mranggen seperti Pesantren Al-Fatah, Al-Mubarok, Al-Badriyah, Al-Amin, Darul Ma’wa. Maupun cabang lainnya seperti Futuhiyyah 1 dan 2 yang berlokasi di Kemuning, Lampung Utara.
Berbagai lembaga pendidikan formal juga dibuka untuk mengimbangi pendidikan pesantren dari tingkat Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsawiyyah, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menegah Kejuruan sampai tingkat Ma’had Aly.
Kiai Muslih wafat pada tahun 1981 di kota Makkah al-Mukarromah setelah melaksanakan umroh dan berziarah ke makam Rasulullah. Beliau kemudian dimakamkan di Pemakaman Ma’la Makkah bersandingan dengan makam Sayyidatina Asma’ bin Abu Bakar dekat dengan pusara Sayyidatina Khodijah al-Kubra, Istri Rasulullah SAW.
Sebelum wafat, beliau sempat berwasiat agar segenap penerusnya dapat menjaga tradisi luhur pesantren Futuhiyyah yang saat ini telah menapaki usia ke-117 tahun ini. “Apa-apa yang sudah ada di pondok pesantren Futuhiyyah sepeninggalny, termasuk lembaga pendidikan harus tetap seperti apa yang sudah ada sebagaimana asalnya”. Selain itu beliau juga memberikan resep agar cepat ter-futuh adalah dengan rajin memutholaah pelajaran dari bab satu ke bab lainnya, kemudian membuka kitab lain yang sejenis dengan bab yang sama, setelah itu membandingkan antara isi dan redaksinya, barulah kemudian melakukan identifikasi terhadap permasalahannya dan menyerap informasinya.
Semoga segala amal baik Kyai Muslih dan segenap masyayikh Futuhiyyah dapat diterima di sisi-Nya dan semoga kita terciprat berkah keilmuannya dengan terbukanya hati dan pikiran kita. Dan semoga kita senantiasa mampu meneladani kemuliaan akhlak dan kedalaman ilmunya.
No responses yet