Sebuah catatan kecil seorang santri untuk Alm. Abah Kyiai dalam rangka memperingati Haul Masyayikh Cipasung ke-44

Dalam masyarakat Islam di Indonesia, sosok kyai atau ajengan (sunda) merupakan lambang kewahyuan. Karena kemampuannya dalam menjelaskan masalah teologi yang sulit kepada para petani muslim sesuai dengan pandangan atau suara hati mereka. Istilah ini acap kali disandingkan dengan kata ulama. Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam struktur sosial.

Seorang ulama adalah pejabat keagamaan (fungsionaris agama). Pada pranata keulamaan Islam, ia menjabat urusan agama yang secara tradisional telah dilestarikan oleh keluarga kalangan menengah pedesaan dan mengkhususkan diri dalam mencetak kader ulama serta bertanggungjawab dalam  menjaga  ortodoksi  Islam.  Pada  dasarnya  perbedaan  keduanya  itu berkisar pada status dan pengaruh.

Salah seorang tokoh Islam (ulama) lokal yang kurang populer namanya namun turut berperan sebagai penggerak nasionalisme Indonesia adalah KH. Ruhiat atau Abah Ajengan Ruhiat. Nasionalisme Ajengan Ruhiat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai berikut:

Tak lama setelah berita proklamasi kemerdekaan sampai ke Cipasung, Ajengan Ruhiat segera pergi ke kota Tasikmalaya. Dengan menghunus pedang, Ia lalu berpidato di Babancong alun-alun Tasikmalaya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakan pekik merdeka seraya  menghunus  pedangnya  itu. Ajengan  Ruhiat  adalah  tokoh  Islam pertama yang melakukan itu di Tasikmalaya.

Penjara menjadi hal yang biasa bagi Ajengan Ruhiat. Pada 17 Nopember 1941 ia ditangkap dan ditahan pemerintah Hindia Belanda. Ajengan Ruhiat dinilai telah menghasut rakyat untuk bersikap anti-pemerintah kolonial dan dianggap mengganggu stabilitas politik. Di masa pendudukan Jepang ia ditahan selama dua bulan sebagai dampak dari pemberontakan KH. Zainal Mustopa di Sukamanah pada 25 Februari 1944. Agresi Militer kedua di tahun 1948-1949 membuatnya kembali dijebloskan ke penjara selama sembilan bulan. Ini membuktikan bahwa Ajengan Ruhiat seorang kyai yang anti kolonial. (Yahya, 2006: 30).

Hal lain yang menjadi karakter khas Ajengan Ruhiat adalah konsistensinya dalam bidang pendidikan sebagai bentuk pengabdiannya. Berbeda  dengan  KH.  Zainal  Mustofa  (Ajengan  Sukamanah)  yang  lebih memilih mengangkat senjata melawan penjajah. Apa yang dikerjakan Ajengan Ruhiat  pun  tidak  lebih  dari  usaha-usaha  pengembangan  dan  penyebaran wacana-wacana   keagamaan.   Itulah   mengapa   Ajengan   Ruhiat   memiliki semacam diferensiasi gerakan dalam bidang pemikiran dan praksis nasionalisme.

Oleh karena perannya dalam bidang pendidikan lebih menonjol, Ajengan Ruhiat tidak menjadi politisi yang berjuang di parlemen. Meski begitu tidak berarti  Ajengan  Ruhiat  sama  sekali  meninggalkan  dunia  politik.  Karena Ajengan Ruhiat merupakan pendukung setia Partai Nahdlatul Ulama.

Sekalipun peran Ajengan Ruhiat lebih dikenal dalam bidang pendidikan dan keagamaan, namun bukan berarti tidak ada respon darinya terhadap perkembangan sosial-politik yang tengah berlangsung. Sekalipun tidak selalu menjadi   arus  pemikiran   utama,   namun   sikap  Ajengan   Ruhiat   terhadap persoalan-persoalan sosial-politik memperlihatkan konsistensi ideologis yang sama dengan keagamaannya. Hal ini menjadi corak khusus dalam wacana politik pada zamannya. Bila saat itu isu politik yang tengah berkembang adalah tentang nasionalisme sebagai dasar untuk membangun negara mandiri bebas dari kekuasaan bangsa asing, maka Ajengan Ruhiat adalah salah satu yang turut meramaikan wacana politik yang berkembang saat itu.

Konsistensi sikap dan pemikiran nasionalisme Ajengan Ruhiat tampak ketika pemberontakan DI/TII berlangsung. Ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Golongan pemberontak mengintimadasi dan mendekati Ajengan Ruhiat secara halus untuk bergabung dan memberontak kepada pemerintahan. Secara halus, ia pernah ditawari untuk menjadi salah seorang imam DI, tetapi Ajengan Ruhiat menampiknya. Dengan tegas ia menolak perjuangan DI yang disebutnya “mendirikan negara di dalam negara” itu.

Sikap dan pemikiran Ajengan Ruhiat semakin tampak lewat keterlibatannya di Nahdlatul Ulama (NU) sampai tingkat pusat. Ia pernah menjadi a‟wan (anggota pleno) Syuriah PBNU periode 1954-1956 dan 1956-1959,  serta  mengembangkan  NU  di  Tasikmalaya  dan Jawa  Barat  yang ditunjang oleh para alumni Cipasung.

Peran Ajengan Ruhiat di bidang pendidikan, politik maupun keagamaan, ini akan semakin terlihat lagi bila mempertimbangkan aktivitasnya yang hanya terfokus pada pendidikan dan keagamaan di lingkup lokal. Bila memperhatikan hal ini, sangat sulit dimengerti bila Ajengan Ruhiat dipandang dalam wacana nasional  karena  aktivitas  gerakan  sosial  atau  politik  yang  membutuhkan sumber daya banyak. Satu-satunya alasan adalah karena sikap Ajengan Ruhiat ketika Proklamasi kemerdekaan yang diungkapkan Iip D. Yahya di atas.

Meskipun Ajengan Ruhiat bukanlah tokoh yang secara langsung terlibat dalam badan atau lembaga seperti BPUPKI dan PPKI dalam proses pendirian negara Indonesia, namun sebagai salah seorang elit yang berpengaruh di organisasi NU serta di lingkungan masyarakat Tasikmalaya dan Jawa Barat, tentu peran Ajengan Ruhiat dalam menggerakan nasionalisme Indonesia juga cukup besar.

K.H. Ruhiat  merupakan  seorang  ulama  tradisional,  tetapi  memiliki pikiran progresif. Ia memiliki keyakinan bahwa jika santrinya hanya memiliki pengetahuan keagamaan saja, keinginan untuk memberantas kebodohan akan sulit diwujudkan. Oleh karena itu, K. H. Ruhiat memiliki pandangan perlunya para santri diberi bekal ilmu  pengetahuan  umum  yang tentunya harus diselaraskan dengan pengetahuan agamanya. Hal tersebut terlihat dari misi perjuangannya di bidang pendidikan  yakni  keimanan  dan  ketaqwaan,  pengembangan  ilmu  yang bermanfaat, serta pengabdian kepada negara, agama, dan masyarakat.

Untuk mewujudkan misinya itu, K. H. Ruhiat tidak hanya mengembangkan  Pesantren  Cipasung  sebagai  lembaga  pendidikan  keagamaan saja. Sebagai ulama dengan pikiran yang progresif, K. H. Ruhiyat mendirikan lembaga pendidikan yang pada waktu belum begitu populer di kalangan pesantren salafiyah. 

Empat tahun setelah mendirikan Pesantren Cipasung, tepatnya pada 1935, K. H. Ruhiat mendirikan Madrasah Diniyah atau di kalangan masyarakat dikenal dengan istilah sakola agama. Melalui madrasah ini, K. H. Ruhiat menginginkan agar pembinaan keagamaan terhadap anak-anak usia muda dapat dilakukan secara optimal. 

Sementara itu, untuk membina para santrinya agar menjadi seorang mubaligh yang handal, K. H. Ruhiat pun terobasan baru dengan mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawwirin. Kursus yang dibuka pada 1937 ini dijadikan sebagai arena latihan bagi para santri untuk mahir dalam berpidato, berdebat, dan bermusyawarah.

Untuk memberantas kebodohan, K. H. Ruhiat melangkah lebih jauh lagi dengan mendirikan sekolah formal tetapi dengan landasan nilai-nilai keislaman. Pada masa Perang Kemerdekaan, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Pendidikan Islam. Sekolah yang didirikan tahun 1949 ini tidak hanya mengajarkan ilmu kegamaan saja, melainkan juga ilmu pengetahuan umum. 

Tahun 1953, Sekolah Pendidikan Islam diubah namanya menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI). Dengan perkataan lain, Sekolah Pendidikan Islam merupakan sekolah formal  pertama  yang  didirikan  K.  H.  Ruhiat  di  kompleks  Pondok  Pesantren Cipasung.

Pada 1953, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang kemudian  berubah  menjadi  Madrasah  Wajib  Belajar  (MWB).  Madrasah  ini berbeda dengan madrasah diniyah yang didirikan tahun 1935, karena materinya diperkaya dengan pengetahuan umum. Dengan demikian, K. H. Ruhiat menjadi salah seorang ulama pelopor bagi pengembangan madrasah berbasiskan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.

Sehubungan dengan keadaan prasarana pendidikan di Singaparna belum begitu berkembang dengan baik, K. H. Ruhiat memutuskan untuk mejajaki bagi pembukaan sekolah menengah tingkat atas. Hasilnya adalah tahun 1959, ia membuka Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) Cipasung dengan  harapan  kebutuhan masyarakat  terhadap  pendidikan umum dan agama dapat disinergiskan.

Dengan demikian, sampai tahun 1959, lembaga pendidikan yang dikelola oleh K. H. Ruhiat sudah relatif lengkap. Selain ada pesantren salaf sebagai tempat menggodog calon-calon ulama, di kompleks Pesantren Cipasung pun telah berdiri lembaga pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Meskipun demikian, langkah K. H. Ruhiat untuk memajukan pendidikan tidak lantas berhenti. Ia berkeinginan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam yang akan mencetak sarjana dengan tidak meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.

Keinginannya itu berhasil diwujudkan pada tanggal 25 September 1965 seiring dengan pembukaan Perguruan Tinggi Islam Cipasung. Pada awal berdirinya, perguruan tinggi ini hanya membuka satu fakultas yakni Fakultas Tarbiyah. Eksistensi lembaga pendidikan tinggi ini mendapat pengakuan dari pemerintah seiring dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Agama No. 7 Tahun 1969. Untuk mengembangkan kegiatan akademiknya, K. H. Ruhiat melakukan  kerja  sama  dengan  IAIN  Sunan  Gunung  Jati  Bandung.  

Sekarang perguruan tnggi tersebut menjadi IAI Cipasung sehingga melengkapi lembaga pendidikan yang sebelumnya sudah berdiri mulain dari pesantren, TK, sampai pendidikan menengah.

Peranan   K.H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa dengan jelas terlihat bahwa ia memiliki kepeduliaan terhadap pendidikan. Kebodohan yang menjadi salah satu faktor pendorong lamanya penjajahan yang dialami bangsa Indonesia harus dihilangkan dengan memajukan pendidikan.  Selain  itu,  mendikotomikan  pendidikan  agama  dan  pengetahuan umum  secara kaku  tidak  akan  memberikan  hasil  optimal  bagi  pemberantasan kebodohan.  K. H.  Ruhiat  memberikan  contoh  bahwa  dengan  memadukan pendidikan agama dan pendidikan formal, akan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih optimal daripada mengembangkan salah satu bentuk pendidikan saja. Hasilnya perjuangannya berupa satu kompleks pendidikan dengan jenjang pendidikan yang lengkap baik pendidikan pesantren maupun pendidikan formal. 

Sebagai penutup….

Jika syarat seorang pahlawan nasional adalah mendukung kemerdekaan sejak awal mula diproklamasikan, maka Ajengan Ruhiat (AR) memenuhi syarat itu. Tak lama setelah berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Cipasung, AR segera pergi ke kota Tasikmalaya. Dengan menghunus pedang, ia berpidato di babancong, podium terbuka yang tak jauh dari Pendopo Kabupaten. 

Ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Dia tokoh Islam pertama di Tasikmalaya yang melakukan hal itu.

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang imam DI. Ia menampik gerakan yang disebutnya ‘mendirikan negara di dalam negara’ itu, karena melihatnya sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang. Puncaknya ia hampir diculik oleh satu regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya.

Kegigihannya sebagai seorang pejuang dibuktikan dengan pernah dipenjara tak kurang dari empat kali.

Pertama, pada tahun 1941 ia dipenjara di Sukamiskin selama 53 hari bersama pahlawan nasional KH. Zainal Mustafa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat mengganggu stabilitas kolonial. 

Kedua, bersama puluhan kiai ia dijebloskan ke penjara Ciamis. Ia hanya tiga hari di dalamnya karena keburu datang tentara Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942. 

Ketiga, tahun 1944 ia dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak dari pemberontakan KH. Zainal Mustofa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Kecintaan sang Ajengan pada NU sangat mendalam, oleh karena itu pada saat Ajengan Sukamanah berbulat tekad untuk melawan Jepang, keduanya membuat kesepakatan. Ajengan Sukamanah tidak akan melibatkan NU secara organisasi dan perjuangannya bersifat pribadi, agar NU tidak menjadi sasaran tembak tentara Jepang.

Secara organisatoris, Ajengan Sukamanah menyatakan keluar dari NU (Aiko Kurasawa,1993). Dengan kesepakatan ini, jika terjadi akibat buruk dari perlawanannya—sesuatu yang sudah mereka perhitungkan–, organisasi NU tidak akan terbawa-bawa dan AR tetap bisa mengembangkan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Kesepakatan itu dibuktikan oleh Ajengan Ruhiat lewat keterlibatannya di NU sampai ke tingkat pusat.

Kariernya di PBNU dibuktikan dengan menjadi A’wan (pembantu) Syuriah PBNU periode 1954-56 dan 1956-59, serta perkembangan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat yang ditunjang oleh para alumni Cipasung. 

Keempat, ia dijebloskan ke penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan pada aksi polisionil kedua, dan dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan. Ini membuktikan bahwa AR seorang non-kooperatif sehingga sangat dibenci penjajah yang membonceng pasukan NICA itu. 

Sebelum masuk penjara yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pesantren pada waktu ia sedang salat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara Belanda itu memberondongkan peluru ke arah mereka yang sedang salat. AR luput dari tembakan, tetapi dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala.

Mungkin ia tidak disebut sebagai pahlawan karena tidak pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan, sebab konsisten memilih jalur pendidikan pesantren sebagai pengabdiannya, bahkan sebagai tarekat-nya. “Tarekat Cipasung adalah mengajar santri,” ujarnya. 

Atau karena tidak pernah menjadi politisi yang berjuang di parlemen. Sebab katanya, “Biarlah bagian politik itu sudah ada ahlinya, Akang memimpin pesantren saja, jangan sampai semua ke politik. Kalau pesantren ditinggalkan, bagaimana nanti jadinya negara merdeka ini kalau penduduknya tidak berakhlak agama?” Melihat track record-nya di atas, sesungguhnya tidak berlebihan jika ajengan patriot itu mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional. 

#CIPASUNG ADALAH RUMAH KITA BERSAMA, 

Wallahu’alam bisshowab

Sekian

Udin

Alumni Cipasung

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *