Tema ‘khilafah Islam’ menjadi magnet dan pusaran konflik karena beberapa faksi Islam berusaha saling berebut ‘lapak” ini. Bahkan tidak jarang dalam pusaran tersebut mengalir darah-darah suci yang semestinya dilindungi. Sebut saja ISIS, Al-Qoidah, Hizbut Tahrir, Jabhatun Nusroh dan lain-lain. Belum lagi faksi-faksi yang ada di dalam negeri. Untuk lebih melegitimasi gerakannya, mereka menggunakan “kalimat Tauhed” sebagai bendera dengan embel-embel liwa Rosul, royah Rosul, atau bendera Tauhed (bahasan bendera akan kita khususkan berikutnya). Semua bendera faksi-faksi diatas menjadikan kalimat Tauhed sebagai lambangnya.
Khilafah akar katanya adalah “kholfun”. Dari akar kata ini berkembang menjadi khilafatun, khilafah, khalifah, khala’if, khulafa’, istakhlaf dan seterusnya. Setidak tidaknya terdapat 127 ayat dalam al-qur’an yang menyebut kalimat dengan akar kata “kholfun” ini.
Kata “khalifah” terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 30 juga dalam surat Shod ayat 26.
Surat al-Baqoroh terkait dengan status khalifahnya nabi Adam sedangkan surat Shod terkait dengan kekhalifahan nabi Dawud.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat : sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah diatas dunia” (QS. Al-Baqoroh :30). Sedangkan dalam surat Shod Allah berfirman : “Hai Dawud, Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi” (QS: Shod: 26)
Ada persamaan antara tugas-tugas kekhalifahan Nabi Adam dan Nabi Dawud. Yaitu sama-sama mengemban amanat sebuah pengelolaan. Namun perbedaan antara kedua utusan Allah ini tentu ada.
Coba kita perhatikan dari perspektif bahasa kedua ayat diatas. Dalam surat al-Baqoroh Allah berfirman : Inni Ja’ilun fil ardl kholifah, aku akan menjadikan (Adam AS) sebagai kholifah (di atas dunia). Sedangkan dalam surat as-Shod Allah berfirman : Inna ja’alnaka kholifatan fil ardl, Aku (kami) akan menjadikanmu kholifah di atas bumi. Ketika berbicara kekhalifahan Nabi Adam, Allah menggunakan kata “inni” dan dilanjtukan dengan isim fa’il “Ja’ilun”. Sedangkan untuk Nabi Dawud kata yang dipilih adalah “inna” dilanjutkan dengan kata kerja “ja’alnaka”. Perbedaan ini tentu mengandung makna dan orientasi yang berbeda pula.
Dalam kaidah ilmu tafsir dan kajian ulumul qur’an ketika kata yang dipilih adalah plural (inna bukan inni) berarti dalam tata laksananya melibatkan pihak-pihak lain.
Terkait kekhalifahan Nabi Adam mengandung makna misi suci yang diemban Nabi Adam dan turunannya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Sedangkan kekhalifahan Nabi Dawud terkait pengelolaan sebuah komunitas (masyarakat). Oleh karena itu dalam kekhalifahan ini melibatkan berbagai unsur/pihak seperti masyarakat sebagai obyek yang dikelola dalam hal ini bani Israil (bangsa Yahudi), Nabi Dawud sebagai pemimpin pegelola, dan kerajaan sebagai sarana pengelolaan. Ini substansi penggunaan kata plural (inna) dalam surat as-Shod.
Darisini kita paham bahwa khalifah yang tersemat dalam sosok Nabi Adam berarti pengelolaan yang dilakukan setiap individu dengan bekal potensi dan aksi yang diamanatkan sejak awal. Kekhalifahan ini tidak bersifat politis dan tidak bersentuhan dengan kekuasaan. Modal dasarnya adalah pengetahuan, karena itu Allah menegaskan : “dan (Aku) ajarkan kepada Adam asma’ asma’ yang ada” (wa allama ‘Adamal asma’a kullaha). Maka kita bisa saksikan dari generasi kegenerasi para pewaris kekhalifahan Nabi Adam tidak pernah ditugaskan untuk menyusun sebuah kekuasaan ataupun merebut kekuasaan. Nabi Syst, Nabi Idris, Nabi Nuh adalah pelanjut misi kekhalifahan Nabi Adam. Dan tidak satupun dari para nabi tersebut yang merancang sebuah institusi kekuasaan. Bahkan Nabi Ibrahiem diminta menyadarkan raja Namrudz bukan merebut kekuasaannya. Demikian juga Nabi Musa mendapat tugas berdakwah kepada raja Fir’aun bukan dengan jalan merebut kekuasaannya untuk kemundian menggati sistemnya.
Sedangkan kekhalifahan nabi Dawud memang benar berbentuk kekuasaan politik yaitu sebuah pemerintahan atau kerajaan untuk memimpin bani Israil (Yahudi) yang berpusat di Palestina. Puncak keemasan kerajaan ini ada ditangan putranya nabi Sulaeman as. Karena itulah modal dasar yang diberikan kepada nabi Dawud bukan pengetahuan tentang asma’-asma’ sebagaimana bekal terhadap nabi Adam. Tapi Allah berfirman : “Allah memberinya kekuasaan dan hikmah serta mengajarkan apa yang Dia Kehendaki”
Apakah kekhalifahan nabi Dawud memansukh (nasikh-mansukh dalam ushul fiqh) kekhalifahan nabi Adam?
TIDAK, sama sekali tidak. Hal ini bisa dilihat peran nabi-nabi setelah runtuhnya kerajaan yang dibangun nabi Dawud tersebut. Ada nabi Zakariya, nabi Yahya, nabi Ilyasa dan lain-lainnya yang nota-benenya dari bani Israil (Yahudi) adalah nabi pelanjut misi suci nabi Adam namun tidak ditugasi untuk merebut kekuasaan ataupun mendirikan sebuah kerajaan. Bahkan nabi Isa adalah rosul Allah yang harus berhadapan dengan kekejaman penguasa dan pengkhianatan kaumnya sehingga Allah mengangkatnya.
Jadi, khilafah bukanlah qoth’ie dan satu-satunya model pemerintahan yang disahkan agama Islam. Khilafah adalah model pemerintahan yang bersifat ijtihadi dan masuk ranah kajian Fiqih Siyasah. Kita tahu bahwa fiqih merupakan nilai akhir ijtihad.
Mengapa para aktifis khilafah merasa paling mewakili Allah, paling agamis, paling islami dan berani menganggap yang lain kafir/kufur, toghut dan tidak islami…… naudzubillah
(Bersambung)
Catatan :
Akan dibahas secara berseri (biar seperti senetron) kajian tentang KHILAFAH baik perspektif al-qur’an, sunnah Rosul, maupun fiqih siyasah. Kajian serius tapi kita bikin rileks dan mungkin saja diselingi KARAOKE biar tidak menoton. Ikutin ya agar tidak gagal paham
No responses yet