Tlatah Tegalsari menjadi saksi sejarah kebesaran ulama Nusantara bernama Kiai Ageng Muhammad Besari. Masjid Tegalsari dengan arsitektur jawa memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo. Masjid Tegalsari berada di RT. 01, RW. 01, Dukuh Gendol, Desa Tegalsari Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tepatnya, terletak 10 km arah tenggara dari pusat kota (Searah dengan jalur Pondok Pesantren Walisongo, Desa Ngabar, Kecamatan Siman dan Al-Mawadah, Desa Coper, Kecamatan Jetis). Menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga mengajarkan berbagai macam ilmu Kejawen dan ilmu Kesaktian. Dalam laporan yang disampaikannya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan: “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah masa transisi Islam di Jawa”. Hal tersebut diatas, juga selaras dengan pandangan Simuh, seorang penulis buku-buku tentang Ronggowarsito. Ia mengatakan bahwa disamping memiliki perpustakaan yang berisi buku-buku agama Islam, Pesantren Tegalsari juga memiliki perpustakaan Kejawen.


Perjuanganannya dalam perlawanan melawan kolonial juga menjadi torehan sejarah para santri dan trah Tegalsari. Keberadaan Kiai Murma Besari dan Kiai Imam Rozi mungkin tidak terdeteksi oleh Peter Carey, sehingga menurutnya meskipun Ponorogo dan wilayah se-Karesidenan Madiun turut menjadi kawasan Perang Jawa (1825-1830), terutama di kawasan Ronggo Prawirodirjo di Madiun, namun tidak diperoleh bukti bahwa ada keterlibatan Pesantren Tegalsari, baik sebagai sebuah lembaga maupun personil di dalamnya, dalam perang tersebut. Namun demikian, setelah perang, banyak bekas pasukan Diponegoro yang kemudian menyebar di pesantren-pesantren dan masjid-masjid di sepanjang Jawa bagian selatan, termasuk juga di Ponorogo.

Meskipun Pesantren Tegalsari tidak terbukti secara langsung terlibat sebagai bagian dalam gerakan perlawanan terhadap penjajah, bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, namun kiprah Pesantren Tegalsari mencetak para santri-santri yang menyebar di berbagai daerah tidak dapat diabaikan, jejaring santrinya, apalagi Diponegoro juga pernah nyantri di sana, turut mensolidkan dukungan kalangan santri dalam Perang Jawa. Diantara santrinya terdapat Kiai Imam Rozi dan Kiai Murna Besari (cucu Kiai Hasan Besari) yang keduanya aktif mendampingi Diponegoro. Di Pesantren Tegalsari inilah selain para orang awam juga terdapat para pangeran atau bangsawan (ksatria) yang menjadi santri, sehingga bisa dikatakan di pesantren inilah terjadi konsolidasi dan kedekatan santri dan para ksatria yang di kemudian hari bersama-sama dalam Perang Jawa.
Seperti pesantren pendukung Diponegoro lainnya, di halaman Masjid Tegalsari juga terdapat tengara dua pohon sawo di halaman masjid. Bahkan, di salah satu pesantren di Ponorogo, yakni Pesantren Durisawo, terdapat informasi tentang keberadaan anggota Burjumungah, divisi elit pasukan Diponegoro (Dawam), yaitu Kiai Tabbri. Karena kekritisannya, ia diincar Kololial Belanda, seingga Kiai Tabbri meninggalkan Tegalsari bersama keluarganya di antara tahun 1840-1860 an. Ia adalah putra ketujuh Kiai Kasan Kalipah bin Kiai Ageng Muhammad Besari.

Semangat anti-kolonial tersebut nampaknya diwariskan oleh para leluhurnya sejak perlawanan Kajoran. Karenanya, keberadaan Pesantren tegalsari ini menjadikankan jejaring ulama santri anti kolonial dalam Perang Jawa khususnya di mancanegara wetan dengan cepat tergalang. Pangeran Kajoran dari trah Sunan Bayat itu sendiri meneruskan semangat anti kolonial Sultan Agung yang juga mertuanya. Pangeran Kajoran dari wangsa Kajoran yang merupakan keturunan Sunan Bayat Klaten. Tentang Wangsa Kajoran sebagai penerus Sunan Bayat ini akan di bahas pada buku berikutnya. Salah satu keturunan Sunan Tembayat adalah Pangeran Sumendhe Ragil yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kadipaten Ponorogo dan setelah meninggal dimakamkan di lahan rintisannya tersebut, Setono (saat ini menjadi salah satu dusun di dalam Desa Tegalsari), sekitar 10 km di selatan kota dan terletak di dekat Sungai Keyang, Kecamatan Jetis.

Hubungan antara Sunan Bayat dengan Adipati Ponorogo, Bathoro Katong cukup dekat karena ada pertalian darah, terutama sama-sama lingkaran inti keluarga Sunan Gresik Ibrahim Asmarakandi. Meskipun Sunan Bayat telah melepaskan jabatan adipatinya di Semarang, namun hubungan dengan Bathoro Katong terus berlangsung, apalagi cucu Sunan Gresik, yaitu Sayyid Kalkum Wotgaleh / Pangeran Tumapel / Pangeran Lamongan bin Sunan Ampel yang menjadi Panembahan Agung Adipati Ponorogo II (menantu Bathoro Katon) adalah ayah dari Panembagan Ageng Kajoran (Menantu Sunan Bayat). Sunan Bayat sendiri dalam silsilah ranji Kajoran juga putra dari Sayyid Kalkum Wotgaleh yang berarti saudara kandung Panembahan Agung Adipati Ponorogo II. Karenanya salah satu cicit Sunan Bayat, Pangeran Sumende Ragil bin Penmabahan Minangkabul bin Panembahan Djiwo berkiprah di Ponorogo. Wangsa Kajoran dalam sejarah abad ke-16 hingga ke-17 cukup konsisten dalam perjuangan anti kolonial.

Pangeran Sumendhe Ragil membangun desa perdikan Setono yang nantinya secara turun-temurun dikelola oleh keturunannya hingga muncul sosok bernama Raden Donopoero atau Kiai Donopuro, yang menjadi kepala perdikan sekaligus guru bagi Kiai Ageng Muhammad Besari. Kiai Donopuro sendiri, berdasarkan silsilah tersebut, merupakan canggah atau generasi keempat setelah Pangeran Sumendhe Ragil. Secara rinci diketahui silsilahnya sebagai berikut: Kiai Donopuro bin Singonojo bin Kiai Raden Nojo bin Raden Wongso bin Pangeran Sumendhe Ragil (Dawam: 2016, 57). Namun dalam sumber lain yang beredar di masyarakat, khususnya di kalangan żurriyyah atau keturunan Sunan Bayat, terdapat sedikit perbedaan nama dan jumlah anak dalam silsilah keturunan Pangeran Sumendhe Ragil tersebut. Menurut ṣāḥibul ḥikāyah, Pangeran Sumendhe Ragil berputra Pangeran Kabu atau Raden Wongsopuro. Pangeran Kabu kemudian berputra Raden Ratmojo, dan Raden Ratmojo memiliki empat putra dan dua putri. Berturut- turut, anak Raden Ratmojo adalah: 1) Kiai Donopuro; 2) Kiai Noyopuro; 3) Nyai Mukminah (kelak menjadi ibu mertua Kiai Ageng Muhammad Besari); 4) Kiai Singonoyo; 5) Raden Abdul Ghoni; dan 6) Nyai Donomijah.

Menurut Guillot, Kiai Donopuro hidup pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Menurut Poernomo, dalam data sejarah Tegalsari, kehidupan Kiai Donopuro cukup bersahaja; hidup tenang dan tenteram didampingi oleh santri-santrinya termasuk dua bersaudara Muhammad Besari dan Nur Shodiq, putra Kiai Anom Besari dari Kuncen, Caruban, Madiun. Menurut berbagai sumber, Kiai Ageng Anom Besari pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai Ki Ageng Nggrabahan, karena sering menyamar sebagai penjual gerabah demi menyiarkan Agama Islam. Kiai Ageng Grabahan memiliki putra, Kiai Kotib Anom Srigading-Kalangbret-Tulungagung, Kiai Mohammad Besari Tegalsari Ponorogo, dan Kiai Noer Sodiq Jetis-Tegalsari.
Dari jalur ayahnya, Kiai Anom Besari Kiai Abdul Mursyad bin Pangeran Demang II/ Raden Irawan bin Pangeran Demang I/ Raden Jalu Adipati Kediri (1585) bin Panembahan Wirasmoro bin Panembahan Prawoto bin Sultan Trenggono bin Raden Patah Sultan Demak Bintoro bin Prabu Brawijaya V. Sedangkan dari jalur ibu, Nyai Anom Besari bin Raden Satmoto/Kiai Ngarobi bin Pangeran Pengampon bin Pangeran Pekik Jenggolo (Adipati Surabaya) bin Raden Panji Jayalengkara (Adipati Surabaya) bin Raden Panji Wirya Krama (Adipati Surabaya) bin Pangeran Trenggana (Adipati Surabaya) bin Sayyid Qosim Syarifuddin/Sunan Drajat bin Raden Rahmat /Sunan Ampel.

Pesantren Tegalsari ini juga sering disebut sebagai Pesantren Zar’u Sari atau popular Pondok Gebang Tinatar. Pada masa Kiai Ageng Muhammad Besari, hubungan pesantren Tegalsari dengan Pesantren Sidoresmo telah terjalin. Hal ini terlihat adanya kisah nyantrinya putra Kiai Sidoresmo yang menyangsikan kefasihan Kiai Ageng Muhammad Besari, namun justru ia terperanjat ketika seekor harimau buas yang tunduk dengan bacaan al Fatihah Kiai Ageng Muhammad Besari, Ia sendiri pernah berguru di Pesantren Sidoresmo, bahkan awal nama Sidoresmo, Ndresmo (sing nderes kabehe limo- yang belajar lima orang), ia termasuk diantara lima santri tersebut yang ikut mengaji kepada Sayyid Ali Akbar bin Sayyid Sulaiman formasi dalam.

Kiai Muhammaad Ageng Besari Tegalsari Ponorogo pernah memberikan suaka saat Paku Buwono II (Mataram-Kartosuro) mendapat serangan dari koalisi Trunojoyo dengan warga keturunan Cina dalam peristiwa yang dikenal Geger Pecinan atau “Kraman Cino”pada tanggal 30 Juni 1742, yang di pimpin oleh Sunan Garendi atau Sunan Kuning. Kiai Ageng Besari berhasil mengembalikan kekuasaan dan tahta Pakubuwono II, sehingga diberi hadiah desa perdikan Sewulan (Madiun) karena tidak berkenan diangkat menjadi seorang tumenggung atau bupati di Madiun. Ia lebih memilih mengembangkan pesantren Tegalsari hingga akhir hayatnya. Pengganti Kyai Ageng Kasan Besari adalah putera ke 7 yang bernama Kiai ILyas yang menyadang gelar Kiai Tegalsari II / Kiai Bagus Kasan Besari II. Selanjutnya digantikan putera pertama Kiai ILyas yaitu Kiai Kasan Yahja dengan gelar Kiai Tegalsari III (wafat 1799) dan putera kedua Kiai Kasan Ilyas bernama Kiai Hasan Besari II / Kiai Bagus Kasan Besari – II / Kanjeng Kiai Tegalsari IV (1799-1862) yang menjadi menantu Paku Buwono III (1800).
‎Kiai Noer Salim /Kiai Ageng Mantub, mertua Kiai Mohammad Besari. Salah satu muridnya adalah Bagus Harun (Basjariyah) putra Kiai Ageng Prongkot Sumoroto (Pangeran Nolojoyo atau Dugel Kesambi- Bupati Sumoroto) bin Kiai Abdul Imam/R. Mas Abdul Imam bin Derpo Sentono bin Raden Bahurekso (Bupati Kendal) bin Aryo Pringgoloyo bin Pangeran Kajoran (keturunan Sunan Bayat). Salah seorang trah Ki Ageng Basyariah adalah Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid (Gus Dur)
(nantikan cerita lengkapnya di buku Masterpiece Islam Nusantara jilid 2 karya Zainul Milal Bizawie)