Mengenal sosok KH. Yasin asymuni & berdirinya ponpes hidayatut thullab

Suasana damai dan tentram menaungi Dusun Petuk Desa Puhrubuh Kecamatan Semen Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur mengutamakan kerukunan dan persaudaraan antara sesama warga. Di desa yang terletak di sebelah barat kurang 7 km dari jantung kota Kediri pada tanggal 8 Agustus 1963 lahirlah seorang anak laki-laki dari pasangan K. Asymuni dan Ibu Nyai Hj. Muthmainah yang diberi nama Ahmad Yasin. K. Asymuni adalah seorang tokoh agama yang alim dan mumpuni dalam ilmu agama, jika membaca kitab kuning tanpa makna (kosongan), mengambil bidang ilmu fikih, ilmu falak, ilmu tasawuf, bahkan K. Asymuni hafal buku Alhikam.

Ahmad Yasin pada usia balita dan anak-anak sama seperti teman-teman seusianya, suka bermain, dan seterusnya, tetapi semenjak berumur 6 tahun sampai 12 tahun mulai terlihat tanda-tanda sebagai penerima tongkat estafet papan petunjuk ulama pewaris nabi, ia lebih cerdas dan lebih dewasa “membandingkan” dengan teman-teman seusianya kompilasi bermain / bersama temanya. Ia selalu menjadi pemimpin dan ia bisa mendamai-kan teman-teman yang membantunya berselisih atau bertengkar.

II PENDIDIKAN

Mulai usia 6 tahun, Ahmad Yasin di samping sekolah dasar (SD) pada pagi hari, sakit sekolah di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri), pada malam hari diajar sendiri oleh Ayahnya, saat membaca Alquran, menulis Arab, membahas dasar-dasar qaidah, fiqh, tajwid, dll.

Hari, bulan, dan tahun terus berubah pada tahun 1975 Ahmad Yasin telah lulus SD kemudian melanjutkan sekolah di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo Kota Kediri yang berjarak + 5 km dari dusun Petuk dengan tanpa dorongan semangat. Setiap hari perjalanan (Lirboyo – Petuk) pergi dengan naik sepeda pancal.

Tiga tahun kemudian Ahmad Yasin telah menyelesaikan sekolah tingkat Tsanawiyah, kendati sebagai siswa yang tidak menetap di pondok (nduduk), Ahmad Yasin dinobatkan sebagai siswa tauladan (di pondok pesantren Lirboyo belum pernah menjadi siswa yang nduduk (tidak mukim di pondok) Kecuali Ahmad Yasin) . Supaya bisa lebih meningkatkan aktivitas belajar, mulai tahun pertama masuk sekolah tingkat Aliyah, Ahmad Yasin bermukim di pondok pesantren Lirboyo Kota Kediri.

Tanpa terasa pada tahun 1982 Ahmad Yasin telah menyelesaikan (tamat) pendidikan tingkat Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo yang kemudian menyelesaikan pendidikan Arrabithah di pesantren yang sama.

AKU AKU AKU. DIANGKAT MENJADI USTADZ DAN KEPALA SEKOLAH DI PONDOK PESANTREN LIRBOYO

Setelah Ahmad Yasin tamat sekolah, hari-hari dihabiskan untuk menelaah buku-buku kuning buku-buku fikih, satu persatu dipelajari, diberi makna, dan terdaftar jika ditemukan keterangan-keterangan yang dapat diaplikasikan di masyarakat untuk menjawab masalah-masalah yang berkembang di masyarakat baik yang bersifat kasuistik, insidentil, dan lama masalah yang perlu diperhatikan oleh masyarakat jawaban hukumnya sesuai perkembangan budaya teknologi dan pengaruh global.

Dia adalah orang yang memegang prinsip: “Menuntut ilmu tidak ada batasnya dan tidak mengenal waktu.” Oleh karena itu, ia suka mentelaah kitab-kitab / buku-buku baik dari karya orang dahulu (kutubut turos) atau yang kontemporer (muasarah). Sementara dia tetap gemar membaca, Sementara diangkat menjadi guru, dan diangkat menjadi kepala sekolah (Mudier) dan setelah pulang dari pondok sampai sekarang (tahun 2010 m) masih tetap melakukan.

Pada tahun 1983, Ahmad Yasin diangkat menjadi guru bantu (Munawwib) di kelas 6 Ibtidaiyah, pada tahun 1984 ditunjuk menjadi guru tetap (Mustahiq) kelas 4 Ibtidaiyah Pondok Pesantren Lirboyo, (aturannya sederhana mustahiq, pelajar, dan kelas ke kelas, ke kelas 3 Aliyah). Pada tahun 1989 Ustadz Ahmad Yasin diangkat menjadi Mudier (Kepala Masdrasah) sampai tahun 1993 bersamaan dengan tamat selesainya dipindahkan sebagai Mustahiq kelas 3 Aliyah. (di pondok pesantren Lirboyo belum pernah terjadi mustahiq merangkap menjadi Mudier, kecuali Ustadz Ahmad Yasin)

Ahmad Yasin setelah khatam pelajaran Alfiyah Ibnu Malik kelas II Tsanawiyah tahun 1979 sampai tahun 1988 waktu liburan bulan puasa selalu menerima pengajian kilatan di pondok-pondok pesantren yang dikirim kilatan seperti pondok Batokan Kediri, Sumberkepoh Nganjuk, Suruh Nganjuk, Paculgowang Jombang, dan Ngunut Tulungagung. Setelah itu pada tahun 1989 mulai membaca buku-buku dengan sistem kilatan sampai sekarang (tahun 2009) di pondok Petuk.

Tahun itu Ustadz Ahmad Yasin pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Hidayatut Thullab.

IV. MEMBACA KITAB

Kultur pondok pesantren di Kediri adalah persyaratan mutlak Pengasuh harus ahli membacakan kitab kuning pada santrinya dengan makna (arti) bahasa Jawa. Hal itu tidak mudah dicapai karena orang membaca kitab di samping harus menguasai ilmu syaraf, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan ilmu alat lainnya juga harus piawai membaca, memahami makna dan maksud dalam buku yang dibaca.

Pada tahun 1985 Ustadz Ahmad Yasin mulai membaca kitab kuning. Kitab yang pertama kali dibaca adalah مجموع صرف dan seterusnya beliau selalu membaca kitab dari berbagai macam disiplin ilmu seperti ilmu nahwu, balaghah, fiqh, tafsir, hadits, dan lain sebagainya.

Di pondok Lirboyo, beliau menerima pembaca buku yang paling banyak pesertanya, jika kebiasanya menerima + 50 santri, beliau diikuti 300 – 500 santri.

V. BAHTSUL MASAIL

Pada tahun 1984 Ustadz Ahmad Yasin diangkat menjadi Pengurus Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Lirboyo juga ditunjuk sebagai perintis bahtsul masail di Pondok Pesantren Lirboyo setelah cukup lama fatrah. Di samping beliau sering menjadi delegasi (peserta) dari Pondok Pesantren Lirboyo untuk mengikuti bahtsul masail yang diadakan oleh Pondok – pondok Pesantren, RMI, dan NU. Juga selalu ditunjuk menjadi Tim Perumus baik di Pondok-pondok Pesantren, RMI Pusat, NU Jatim, Munas Alim Ulama dan Muktamar. NU didirikan menjadi Tim Perumus. Muktamar. Dua periode disetujui Ketua LBM NU wilayah Jawa Timur kemudian diangkat menjadi Pengurus Syuriyah NU Jatim, (sesuai ketentuan AD / ART,

VI. KARYA TULIS

Ustadz Ahmad Yasin menyimpulkan tentang berdakwah dan tabligh (menyampaikan ilmu kepada masyarakat) dapat melalui 3 hal, yaitu:

Memberikan contoh prilaku yang baik ( bil hal ) kepada masyarakat.

Melalui lisan dengan mengajar, membaca kitab, ceramah, dialog, seminar, dll.

Melalui karya tulis.

Pada tahun 1989 dia mulai berpikir untuk berdakwah dan tabligh melalui karya tulis. Karya perdananya berjudul تسهيل المضحي (DENGAN using bahasa Jawa) kemudian buku dengan judul تسهيل العوام Yang Berisi tanya jawab masalah agama Yang Berisi 300 Pertanyaan.

Setelah dievaluasi lebih lanjut kemudian Dia mempertimbangkan kitab tersebut di atas kurang diminati masyarakat. Kemudian beliau mecoba menulis dengan bahasa Arab dengan judul رِسَالَةُ الْجَمَاعَةِ , تَحْقِيْقُ الْحَيَوَانِ, dll. Sampai sekarang (tahun 2010) telah mencapai 150-an judul (semua yang membahas Arab) dan lebih kecil dari masyarakat luas, seperti di pondok pesantren di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll. Di seantero Indonesia raya sampai sampai di Malaysia, Timur Tengah, dan Inggris. Banyak masyarakat yang menggunakan atau membantu karya ini, semua yang dapat dibuktikan dengan jumlah orang yang datang langsung ke Pondok Pesantren Petuk untuk meminta ijazah (meminta izin) untuk mengakses buku tersebut, misalnya dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dll. Di perpustakaan PBNU karya beliau juga ditaruh di jajaran karya tokoh – tokoh nasional, seperti KH. A. Shiddiq dari Jember, KH. Sahal Mahfudh dari Kajen Pati Jateng, dll.

Pada tahun 2003, KH. A. Yasin Asymuni menyambut tamu dari Inggris, yaitu Mr. Yakiti meminta izin untuk menginstalnya untuk 100 tokoh Islam dunia karena karya tulisnya telah banyak mempelajari di sana dan lebih banyak muslim di Inggris bermadzhab sama dengan dia, yaitu madzhab Syafi`i. Mr. Yakiti semakin simpati untuk KH. A. Yasin Asymuni,

(1) karena waktu itu Mr. Yakiti membawa foto kopi karya tulis Imam Ghazali yang membahas falsafah dan baru ditemukan di Iran, karena tulisannya banyak yang hilang yang dimisi dimintai tolong untuk diisi yang hilang dan menerangkan maksudnya. Setelah berbicara dengan bahasa Arab, Bpk. Yakiti, manggut – manggut mengiyakan sambil mengatakan: “Ini sudah saya tanyakan kepada ulama Timur Tengah, ulama Malaysia, dan ulama Indonesia baru sekarang saya paham.”

(2) Dia menyampaikan banyak dalil – dalil yang isinya berbicara tentang pergerakan teroris. Dan dia juga membantah bahwa, sekarang sudah tidak ada kafir, Harbi, maksud, tidak ada celah yang dibuat alasan untuk melawan orang kafir, kecuali jika mereka menyerang orang Islam.

Pada tanggal 2 Januari 2011, KH. A. Yasin Asymuni mendapat Piagam Penghargaan dari Kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam atas jasanya di bidang keilmuan / akademik sebagai Penulis Produktif dalam kajian kitab suci di pondok pesantren.

 VII. KITAB BERMAKNA DAN MP3

KH. A. Yasin Asymuni berpegang prinsip: Bagi yang memiliki ilmu agama tidak boleh kitmanul ilmi (menyimpan dan merahasiakan ilmunya), maka ia tidak pernah menentang untuk memperoleh yang meminta ilmunya, baik melalui pengajian, dialog, ceramah, dan seperti buku-buku yang sudah ada diberi makna bahasa Jawa kompilasi difoto kopi, beliau mempersilahkan. Namun setelah banyak yang datang memfoto kopi, beliau berinspirasi untuk mendapatkan buku-buku yang mendukung.

Dia setiap bulan puasa membaca kitab-kitab kuning + 30 kitab pesertanya tidak hanya santri yang menetap di Petuk, tetapi dari pondok-pondok di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dll. Maka, setelah kitab makna dikeluarkan, respons dari pondok-pondok pesantren cepat meluas, bahkan banyak ustadz – ustadz dan Kyai yang meminta makna buku-buku yang lebih banyak dibandingkan kualahan permintaan permintaanya, sampai sekarang masih banyak yang bisa dapat dipesan seperti Iiqaadhul Himam, Rathibul Haddad, Almukaasyafah, dll.

Maknaanya, tetapi sekarang berkembang bagi siswa madrasah yang banyak membaca di madrasah yang pelajarannya banyak / buku-bukunya besar-besar yang ditanyakan cukup untuk membacakan makna dan menerangkan, biasanya tidak bisa khatam, sekarang guru cukup memberi persetujuan besoknya tinggal menyuruh membaca, guru bisa menerangkan, evaluasi dan diskusi.

Pada tahun 2006 M, seorang ustadz meminta kitab yang maknanya lebih komplit lagi, ada yang minta dibuatkan CD MP3 meminta lebih mudah lagi untuk membaca. Untuk memenuhi permintaan tersebut, ia harus mengumpulkan dan mengisi CD MP3, seperti Almahali, Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Bulughul Maram, dll.

VIII. MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN

Pada tahun 1993 M, KH. A. Yasin Asymuni mendirikan pondok pesantren yang diberi nama “Pondok Pesantren Spesialis Fiqh Hidayatut Thullab.” Keistimewaan pondok ini adalah menuju pendalaman fikih, ilmu – ilmu dimulai dengan waktu yang relatif singkat, seperti sharaf 1 tahun, nahwu 2 tahun, balaghah 1 tahun. Setelah itu sudah takhasshus fiqh. Mengapa beliau tidak memilih hadis, dll.? Karena ilmu fikih adalah ilmu tentang semua hukum Allah, sedangkan semua kehidupan manusia tidak lepas dari hukum fikih, maka fikih sangat besar manfaatnya.

Sumber: FB Ade Sulaeman

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *